Part 5 'Undangan Ulang Tahun yang Tak Terduga'

Start from the beginning
                                        

Aku hanya bisa pasrah mengikuti langkahnya, melewati meja-meja pelanggan yang semua tatapannya terasa menusuk. Perutku mual, kakiku lemas, dan rasanya seluruh tubuhku ingin menghilang begitu saja.

Dia membawaku masuk ke ruangannya yang sunyi, menutup pintu di belakang kami.

“Kamu ini bisa kerja yang bener enggak sih?!” suara pemilik kafe meledak begitu pintu ruangannya tertutup. Sorot matanya tajam, membuatku otomatis menunduk.

“Maafin saya, Pak… saya benar-benar nggak sengaja,” ucapku terbata, suaraku bergetar. “Tadi ada yang mendorong saya dari belakang. Saya ngerasain jelas, tapi saya enggak tahu siapa yang ngelakuin itu.”

Aku mencoba mempertahankan suaraku tetap stabil, walaupun tenggorokanku terasa sesak. Yang bisa kulakukan hanya berharap beliau percaya padaku—sekecil apa pun harapan itu.

Karena kalau aku sampai dipecat… aku nggak tahu harus bagaimana.

Bagaimana aku bisa melunasi semua utang yang justru bukan aku yang membuatnya?
Aku hanya anak sekolah yang baru 17 tahun. Mana ada tempat yang mau menerima pekerja seusiaku untuk pekerjaan tetap? Bahkan orang dewasa saja masih banyak yang susah mencari kerja.

Aku menggigit bibirku keras-keras.
Jika aku kehilangan pekerjaan ini… habislah aku.

Aku menatap lantai, mencoba menahan mata yang sudah mulai panas.
“Pak, tolong… jangan pecat saya,” bisikku, hampir tidak terdengar.
“Saya janji saya bakal kerja lebih hati-hati.”

Ruangan kecil itu tiba-tiba terasa sangat sempit, seolah-olah dindingnya bergerak mendekat dan menekan dadaku. Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan selain memohon.

“Hari ini saya maafkan,” ucap pemilik kafe akhirnya, suaranya mulai mereda meski masih terdengar kesal. “Tapi lain kali kerja yang benar. Saya nggak mau ada kejadian kayak tadi lagi.”

Aku mengangguk cepat, napasku terasa lega bercampur takut.
“Makasih, Pak… beneran makasih,” ucapku pelan.

Begitu keluar dari ruangan itu, rasanya lututku hampir lemas. Udara luar ruangan terasa jauh lebih ringan, seolah aku baru saja muncul dari bawah air setelah terlalu lama menahan napas.

Lyla yang sejak tadi menunggu di dekat meja kasir langsung menghampiri.
“Lo baik-baik aja, Nay?” tanyanya dengan suara penuh khawatir.

Aku memaksakan senyum tipis sambil mengangguk pelan.
“Iya, aku nggak apa-apa, Kak,” jawabku—meski jelas wajahku masih pucat.

Lyla menatapku lebih lama, seolah membaca bahwa aku sebenarnya masih gemetar. Tapi dia tidak memaksa.
“Kalau butuh bantuan, bilang aja, ya,” katanya lembut.

Aku hanya tersenyum lagi, kecil sekali, sekadar memastikan dia tahu aku menghargai perhatian itu.

•¶¶•

Malam di Jakarta selalu punya cara sendiri untuk menenangkan hatiku. Lampu-lampu kota berkilau seperti bintang yang jatuh ke bumi, dan angin malam yang lembut membuat langkahku sedikit lebih ringan. Meski begitu, di balik keindahan itu, ada satu rasa yang terus mengikuti—takut. Takut kalau tante nanti marah lagi karena aku pulang terlalu malam.

Aku berjalan di trotoar sambil memegang tas erat-erat, berharap perjalanan pulang kali ini tidak menambah masalah baru.
Setibanya di depan rumah, aku menarik napas panjang. Tanganku sedikit bergetar ketika memutar gagang pintu, berusaha membukanya tanpa suara.

Lost Between Names (REVISI)Where stories live. Discover now