07. Menghabiskan waktu

Mulai dari awal
                                    

Entah ada apa dengan wanita itu, tetapi Acha merasakan ada perbedaan dalam diri Bi Ina. Perasaannya pun tidak enak. Seperti akan ada terjadi sesuatu. Maybe?

Selesai dengan acara makan siang, Bi Ina tiba-tiba mengajaknya berfoto bersama. Lantas Acha mempertanyakannya. Bukan kenapa-kenapa. Hari ini Bi Ina benar-benar berbeda dari biasa-biasanya.

"Buat kenang-kenangan aja."

"Kok Bibi ngomong gitu kaya yang mau pergi, ya? Firasat Acha gak enak, nih, Bii!" Rengeknya menakuti suatu hal.

Bi Ina terkekeh. "Nggaklah," sanggahnya sempat ada jeda. "Ayo! pokoknya kita harus foto-foto yang banyak," tukasnya.

"Hmm. Iya. Iya. Ayo." Acha memposisikan duduknya di samping Bi Ina.

Setelah waktu 20 menit berfoto-foto, Bi Ina mengajukkan lagi keinginannya. Yaitu, bermain balon gelembung yang tidak diketahui dari mana dan sejak kapan Bi Ina membelinya.

Mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Sesekali berlari kesana-kemari layaknya anak kecil yang sedang bermain gelembung balon. Mereka juga sesekali saling bersaing siapa yang paling besar membuat balon gelembung, kemudian tertawa bersama.

Kebahagiaan mereka cukup sederhana. Terlebih melihat Acha bisa tertawa lepas, membuat hati Bi Ina sangat bahagia.

Setelah itu, mereka bermain ayun-ayunan yang berada di danau tersebut secara bergantian.

Ternyata Bi Ina membawa alat lukis, dan wanita itu mengajak Acha agar melukis hingga hari petang mendatang.

"Ah, cape!" Acha membantingkan tubuhnya di atas rerumputan. Membiarkan hasil lukisan wajah Bi Ina di atas kanvas atas permintaan wanita itu tertiup angin.

"Yaudah, istirahat dulu aja. Nanti kalo mau pulang Bibi bangunin."

Acha menoleh, menatap Bi Ina yang duduk di sampingnya sejenak. "Awas, ya, kalo ninggalin."

Kekehan keluar dari bibir Bi Ina. "Iya nggak dong. Masa Acha ditinggalin di sini sendirian."

Acha mengangguk menurut. Matanya terpejam merasakan angin sejuk menerpa wajahnya. Hingga sampai akhirnya, ia terlelap nyenyak hanyut dalam suasana yang menenangkan.

Bi Ina menatap wajah Acha dengan sendu yang sudah terlelap tenang. Melirik hasil lukisan Acha dan kembali menatap wajah gadis—yang selama ini ia rawat sejak kecil.

Perlahan-lahan air mata mulai menetes ke pipinya, hingga berakhir mengalir deras.

Sebelah tangannya terangkat menutupi bibirnya yang bergetar menimbulkan isakan pelan. Sebelah tangan yang bergetar merogoh saku bajunya membawa selembar kertas berisikan pesan surat untuk Acha.

Menatap Acha lagi cukup lama. Rasa sedih dan sesak semakin terasa meraungi perasaannya. Ini terlalu berat baginya. Mungkin setelah ini Acha akan sangat kecewa.

Ia mengingkari janjinya.

Menghapus air matanya yang mengalir di pipi, meski sangat berat dan tak rela, Bi Ina meletakkan surat di sisi Acha dengan tindihan batu kecil agar tidak terbang karena tertiup angin.

"Maafin Bibi, Achaa..."

•••

Kafe Gordi HQ menyediakan tempat di luar ruangan dengan di fasilitasi karpet panjang di tengah ada meja. Ditambah pemandangan di sore hari pada cuaca cerah ini yang menyejukkan, membuat para pengunjung nyaman di ruang terbuka seperti ini.

Life Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang