Dia melirikku. "Kanaya?"

"Iya, Gus?"

"Kamu kan sudah di Semarang, kuliah kamu bagaimana? Mau tetap lanjut di Surabaya? Saya tidak ingin kamu berhenti mencari ilmu hanya karena kamu menikah dengan saya. Jika kamu ingin tetap kuliah di Surabaya, insyaallah setiap satu Minggu sekali saya akan ke sana. Bagaimanapun juga di sini saya ada amanah yang harus dijalankan. Selain jadi pengurus pesantren, saya juga ada jam perkuliahan."

Aku terdiam, aku hampir lupa jika aku masih ada kewajiban menuntut ilmu. Sangking sibuknya mengurus acara pernikahan hingga lupa akan kuliahku yang terbengkalai. Bukan terbengkalai sebenarnya karena aku mengambil cuti.

"Saya ikut bagaimana baiknya saja, kalau njenengan wira-wiri Semarang Surabaya mending saya pindah ke Semarang. Tidak masalah saya ulangi dari semester awal, daripada njenengan repot nanti." Gus Aqmal mengangguk singkat. Ia mulai memegang tanganku, menggenggamnya hangat.

"Maaf, ya? Jika menikah dengan saya kamu harus pindah universitas. Tapi saya akan usahakan cari universitas yang terbaik dan kamu tidak perlu mengulang lagi. Nanti saya bicarakan dengan dosen yang saya kenal. Semoga saja ada. Kamu tidak perlu khawatir, biar saya yang urus," ujarnya menenangkan.

"Iya, Gus. Kalaupun harus mengulang saya gak masalah."

"Sudah kamu tenang saja, biar saya yang urus." 

-o0o-

Siang ini aku tengah membantu Ummi membuat makan siang. Sudah wacana dari lama dan baru sekarang bisa terwujudkan. Memang dasarnya Manusia itu sok sibuk.

"Ini udah matang kan, Nay?"

Aku mengambil sedikit kuah opor yang masih panas itu, lalu mencicipinya.

"Gimana?" tanya Ummi dengan mata berbinar.

"Alhamdulillah. Enak banget, Mi." Aku mengacungkan jempol membuat Ummi tertawa.

"Kamu ini bisa aja nyenengin ummi." Aku ikut tertawa, tapi memang kenyataannya opor buatan ummi sangat enak. Bahkan sudah terkenal di kalangan pesantren.

Sambil membereskan peralatan dapur, Ummi sedikit membahas masa kecil Gus Aqmal yang terbilang cukup lucu. Aku tidak berhenti tertawa mendengarnya.

"Aqmal dulu kalau mewarnai, pasti warna hitam."

"Loh, kenapa kok gitu, Mi?"

"Ndak tau, tapi kalau ditanya sama Abah, le kok semua warnanya hitam tho? Pasti dia jawabnya, kan gosong, Bah, jadi warnanya hitam." Aku tertawa membayangkan bagaimana sosok Gus Aqmal kecil. Pasti begitu menggemaskan.

"Lalu kalau disuruh ngaji sama kakeknya, dulu zamannya MI, dia pasti ngumpet di bawah kasur. Ada saja alasannya biar gak ngaji. Yang perutnya sakit, sakit kepala, masuk angin, ngantuk sampai alasan laper dibawa-bawa," jelas Ummi.

Aku tertawa lagi. "Alasan utamanya apa kok Gus Aqmal gak mau ngaji?"

"Gak bisa maknai Pegon." Ummi sudah tertawa kencang, mungkin beliau sedang bernostalgia.

"Astaghfirullah, bisa-bisanya loh."

"Kayaknya ummi masih nyimpen kitabnya dulu, pas MI. Ada di lemari depan." Aku terkejut, wah keren, jika masih ada kitabnya maka harus diabadikan.

Jawaban Sepertiga Malam [Re-publish]Where stories live. Discover now