Naka terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas pelan, ia menatap mata Kara yang sibuk memainkan ponselnya lalu kemudian tersenyum tipis.

Tangannya naik menyelipkan sejumput rambut Kara ke belakang daun telinga gadis itu.

"Gak kenapa-kenapa."

Ia akhirnya kembali membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan kelas. Ia melirik sekilah ke arah Nilam yang fokus menatap ke depan sebelum akhirnya menghela napas lelah.

"Baik, tidak perlu berlama-lama ibu akan langsung menjelaskan tentang mekanisme seleksi peserta olimpiade tahun ini terkhusus di bidang Biologi." Dinda membuka buku yang berisi catatan penuh tentang mekanisme seleksi.

"Jadi masing-masing peserta akan di tugaskan untuk membuat sebuah essay, tema essay-nya adalah 'Aplikasi Medis dari Stem Cell'."

"Yang terpenting, silahkan essay-nya di tulis tangan."

"Kalian harus benar-benar mengerjakannya dengan baik karena itu yang akan menjadi penentu terbesar peluang kalian untuk lolos atau tidak."

"Ingat hanya beberapa yang akan lolos seleksi, jangan sia-siakan kesempatan kalian. Sampai sini paham?" tanya Dinda setelah memberi penjelasan panjang.

"Paham, Bu!" jawab semua siswa serentak.

Dinda kemudian keluar dari ruangan setelah menyampaikan seluruh ketentuan dan syarat yang wajib dilakukan.

Kara tanpa sadar menghela napas panjang, seleksi kali ini akan jadi pembuktian terhadap kedua orang tuanya, benar ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kali ini.

Kalau ia berhasil mengalahkan Nilam kali ini, maka Erik dan Nina tidak akan menyiksanya lagi. Jadi ia harus lolos dengan cara apapun.

Cara apapun.

Nilam yang duduk di samping Naka, memperhatikan gerak gerik Naka yang sedari tadi menatap Kara dengan raut wajah khawatir.

Melihat raut wajah khawatir milik laki-laki itu membuat Nilam mendengus geli. Tangannya dengan segera meraih wajah Naka, membuat cowok yang tadi menatap Kara kini ganti menatap wajahnya.

Aktifitas keduanya dapat dilihat dengan jelas oleh Kara.

"Gak usah takut, Ka," ucap Nilam sambil tersenyum miring. Sementara Naka hanya bisa terdiam sambil menatap pasrah gadis di hadapannya.

Prima yang kesal melihat Kara yang tidak mengambil tindakan apapun terhadap dua orang gila itu segera berdiri dari tempat duduknya, membuat semua siswa di ruangan itu menoleh ke arahnya.

Dengan segera Prima maju mendekat ke arah keduanya lalu menghempas tangan Nilam yang berada di wajah Naka.

Tangan Nilam terpentok di atas meja membuat gadis itu memekik kesakitan.

"Heh! Cabe-cabean ngapain lo?" serang Nilam.

Prima menatap Nilam tak percaya lalu kemudian tertawa keras.

"Kalau gue cabe-cabean lo apa sinting? Tante girang?"

Bisik-bisik serta tawa siswa lain terdengar jelas di ruangan itu.

"Prim!" tegur Naka, ia menatap tajam gadis itu.

"Apa, hah?" tanya Prima menantang. Sementara Kara yang duduk di antara keduanya hanya bisa diam dan menatap ke depan kelas.

"Gak usah sentuh-sentuh Nilam!" peringat Naka.

"Emang Nilam siapa lo? Kok peduli banget? Pacar lo?" sembur Prima, membuat beberapa siswa kembali berbisik-bisik pelan mendengar ucapan gadis itu.

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang