"Hah? Penguntit?" Lee menyandarkan tubuh pada penyangga kursi. "Ge-er banget lo. Gue cuman masih inget aja."

"Yah, padahal lupain aja. Gak penting buat nyimpen nama plus muka gue di otak lo," ucapnya dengan nafas gusar. 

"Tetap aja penting bagi gue," ucapnya seraya memalingkan pandangan. Menghindari tatapan Myscha.

"Hah? Apa?" Myscha mencodongkan tubuh. Pendengarannya sedikit kurang jelas alias pura-pura gak jelas.

"Nggak, lupain aja." Lee menghela nafas.

Myscha ber-oh ria. Menegakkan tubuh. Salah satu pelayan mendekat ke meja mereka. Menanyakan pesanan.

"Lo dulu," kata Myscha.

"Lo dulu aja,"

"Lo,"

Masalah tak akan selesai jika salah seorang tak ada yang mengalah. "Ya udah, gue dulu." Lee mengalah.

"Kwetiau goreng solarianya satu mbak." ujar mereka bersamaan.

"Ih, lo ngikutin gue ya?" Myscha menunjuk Lee. Seolah-olah menuduh sebagai pelaku.

"Apaan? Siapa juga yang ngikutin lo!?" 

"Lo kan?!"

"Kan lo bilang gue dulu yang pesen duluan."

Myscha menelan saliva. Benar. Tapi, bagaimana bisa pesanan mereka satu server?

"Ya udah, mbak saya pesen minumnya green tea aja deh." 

Pelayan itu menuliskan pesanan Myscha. Bertanya pada Lee.

"Cappucino aja mbak."

"Jadi pesanannya green tea satu, cappucino satu, kwetiau goreng solaria dua." Pelayan itu melanjutkan menulis pesanan.

Ada jeda sesaat disana. Lantas keduanya mengiyakan. Pelayan itu pergi.

Keduanya saling memalingkan wajah.

𝓀𝒽𝒶𝓃𝓏𝒶

Ranz membawa Khanza keluar kafe. Menetralkan debaran jantung terlebih dahulu sebelum menatap ke dalam netra istrinya.

"Zay," panggil Ranz. Keduanya canggung.

"Iya?!" Enggan Khanza menatap balik Ranz. Canggung. Ia merasa semalam itu bukanlah dirinya saat ini.

"Gimana? Semalam ada yang sakit gak?" Ranz mencoba mencairkan suasana.

Sontak, pertanyaan itu membuat Khanza menoleh.  Rona di kedua pipinya muncul. "Apa sih kak? Malu dilihat banyak orang."

Tentu saja saat ini Ranz memakai topi dan kacamata hitam.

"Ada yang sakit?" tanyanya memastikan.

"Hal yang wajar kok kalau sakit tidak sakitnya." Khanza menghindari kontak mata.

"Ohh," Ranz menghela nafas sejenak. Menarik nafas dalam.

"Ranz minta maaf ya," ucapnya seraya menggaruk tengkuk tak gatal.

"Minta maaf soal apa kak?"

"Tadi malam." Ranz tersenyum. Menunduk. Tak mampu menatap netra Khanza.

"Eh?"

"Iya. Takutnya nyakitin kamu."

"Eh gak pa-pa kak. Itu kan emang udah kewajiban seorang istri untuk patuh pada suami. Toh, itu memang hak kak Ranz kan?"

"Takutnya kamu belum siap Zay. Makanya Ranz takut nyakitin kamu."

Khanza terkekeh. Ia benci keadaan canggung seperti ini. "Lagian semua sudah berlalu kak,"

"Maaf yaa." Ranz menatap manik mata Khanza. Mencari kejujuran disana. Atas rasa sakitnya.

"Ga-"

Tiba-tiba, ponsel Ranz berdering di saku celana. Ranz mengambil, mengangkatnya. Nomor tanpa nama.

"Hal-"

"Ranz, pulanglah nak. Papa ingin sekali bertemu denganmu."

Papa? Ranz mengerutkan kening. 

Bukankah papa-nya masih berada di luar negeri?

"Papa tunggu malam ini di rumah. Kamu harus pulang nak."

Ponsel dimatikan sepihak. 

Jika begini, tandanya perintah penting.

Ranz terkejut. Mengingat fakta bahwa saat ini ia sudah menikahi gadis. Jelas, tanpa sepengetahuan papa-nya itu. 

Bagaimana ini?

Apa ia perlu mengenalkan Khanza pada keluarganya?

"Kenapa kak?"

"Zay lapar gak?" tanya Ranz mengalihkan pembicaraan. Hal ini tak bisa dibicarakan dalam kondisi berdiri diantara lalu-lalang orang pejalan kaki begini.

"Belum kak. Jadi, mau pulang sekarang?"

"Oh syukurlah. Masih ada es kelapa sisa kemarin lhoh di mobil. Ranz ambil dari kulkas. Mau gak?" Ranz memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana.

"Boleh kak." 

Ranz melangkahkan kaki. Khanza ikut menyusul disampingnya.

"Oh ya. Kalau sisa pakaian semalam tadi ditinggal dihotel bukan?" Khanza mengingat seprai hasil pembukaan dirinya. Jelas mengeluarkan darah.

"Oh. Sudah Ranz bereskan sebelum kesini. Termasuk, pakaian kita juga. Nanti sama manajer Ranz dibawa ke rumah. Santai aja," Ranz mengangkat alis kanannya. Khanza tersenyum.

Khanza memakai sabuk pengaman. Sebelum sesaat bertanya. "Oh ya kak, Myscha gimana?"

"Tenang aja. Ada Lee yang bakal jagain."

"Tapi dia habis-"

"Dia paling paham soal wanita kok. Gak usah khawatir." Ranz mengusap kepala Khanza. Menenangkan.

Semoga Lee menjadi pengganti gue hari ini ya Myscha. Disaat Al gak ada, mungkin saja dia yang akan membahagiakanmu.

𝓀𝒽𝒶𝓃𝓏𝒶

Lokasi terdeksi. Ia melangkah cepat. Memasuki mobilnya. Melaju cepat menuju lokasi seseorang yang kini sudah terpatri dalam lubuk hatinya. Kaos hitam oblong dipadukan dengan celana jeans senada sudah cukup untuk outfit hari ini. Bagaimanapun, ia harus bertemu dengan seseorang yang selalu menghantui pikirannya setiap saat akibat rasa bersalahnya.

Tepatnya, dia kehilangan seseorang itu.

Setibanya di lokasi, kepalanya berputar. Mencari sosok yang ia rindukan plus dihindari sosok itu. Ia mengerti. Kesalahannya cukup fatal. Namun, tak adakah kesempatan kedua bagi dirinya.

Dilihatnya wanita itu tengah menangis pada gadis didepannya. Ia tahu, sosok itu telah bersahabat lama dengan gadis yang kini mendekapnya dari samping.

Hatinya perih, teriris, pedih. Melihat sosok yang ia rindukan tak berdaya. Mungkinkah karena dirinya yang terus mengemis cinta. Memohon. Melakukan banyak hal selama beberapa hari ke belakang untuk mendapatkan hatinya kembali?

Atau, luka yang ia torehkan masih tersimpan dalam lubuk hati sosok itu?

Lantas, apa yang terjadi?

Serasa ada ribuan jarum menusuk dada. Hatinya pilu, terluka. Hanya ia tak memerhatikan sosok itu sekejap, untuk mengecek ponsel.

Sudah ada lelaki di hadapannya.

Jazakumullah Khoir 🖐

RITME; Married with SelebritiWhere stories live. Discover now