BAB 12

7 1 0
                                    


Bel istirahat berbunyi

"Wa kantin?" Tanya aul seperti biasa.

"Lu ke kantin sendiri dulu ya ul, gua mau ke perpus." Ucapku buru-buru keluar kelas.

"Ada apa sih ko buru-buru banget." ucap aul sambil mengikuti ku. aku menggeleng dan berbelok ke arah yang berbeda dari aul.

Sesampainya di perpustakaan aku langsung menuju rak kesehatan. Perpustakaan sekolahku cukup lengkap bukunya dari sejarah sampai kesehatan pun ada disini. Ingin mencari komik Doraemon dari awal sampai akhir pun disini ada.

............................................................................................

Brukk ... Jatuhnya buku diringi dengan tersungkurnya aku di lantai.

Terdiam sejenak, termenung. Ya tuhan sakit sekali, nyeri menyebar di seluruh tubuh. Kenapa baru sekarang aku mengetahui semua?

Ku ambil handphone, belum terlaksana suara tak asing datang memanggil namaku dengan sedikit berteriak.

Aku menengok, kulihat kekhawatiran terpampang nyata di wajah nya.

"Wa kenapa?! Awa nafas!! Awaa!!" ucapnya sambil mencoba untuk mengembalikan kesadaranku yang sudah cukup hilang.

Aku mengambil nafas dalam-dalam sesuai perintahnya dan menghembuskan nya perlahan. Sepertinya asma ku kambuh.

............................................................................................

"Ada apa wa?" ucapnya sambil memberi air mineral

Aku mengambilnya tanpa memedulikan pertanyaannya dan terlarut di dalam lautan pikiranku sendiri. Dia mengambil botol nya kembali dan membuka tutup botol, kemudian ia menyodorkan kepada ku lagi.

"Makasih." Ucapku singkat.

Dia memperhatikan setiap gerak gerik dari ku. dan aku tidak mengetahui itu, terlarut dalam pikiranku sampai akhirnya aul sudah ada disini.

"Awa lu kenapa sih, obat lu ketinggalan di dalam tas tadi. Panik tau ga sih ya allah nashwaa ... " Ucapnya yang tidak kalah khawatir hampir menangis. Aku masih memikirkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, menakutkan. Sangat.

Tess...

Bukan hujan, ini dari mata ku. menangis ... Ya, sesak sekali dada ini. Ibarat bumi dijatuhkan tepat di atas ubun-ubun ku. Setetes dua tetes kemudian deras, tetapi tidak ada suara tangis pecah. Itulah hebatnya aku, menangis di tengah heningnya hidup ini.

Tidak ada yang berani bersuara, aul sudah memeluk ku tanpa kusadari. Ikut menangis. Lelaki itu? Dia hanya membisu seakan ingin ikut memeluk ku namun itu semua tidak bisa ia lakukan. Aku menjauhkan tubuh aul perlahan, mencoba menarik nafas sampai diriku sedikit lebih tenang.

"Gua gapapa ... " ucap ku.

Aul menggeleng tidak percaya.

"Beneran ul, gua gapapa ... Ga enak badan aja." ucapku lagi sambil tersenyum kearahnya.

"Gua mau izin balik aja ul." ucap ku lagi, kali ini aul langsung mengiyakan.

"Aku anter." ucapnya langsung, ya daffa.

Dengan cepat aku menggeleng, dan dengan cepat pula ia sudah menarik ku pergi meninggalkan aul.

............................................................................................

Tidak ada percakapan di jalan, dia mengendarai motor seakan mengetahui tujuan. Yang realitasnya dia mengendarai motor ke segala arah, tidak berani bertanya. Karna aku disini hanya melihat kedepan dengan tatapan kosong. Dia berhenti dan aku pun menyadarinya.

"Kita mau kemana wa?" tanya nya lembut.

Dengan spontan aku menyebut "Rumah Sakit."

Tanpa banyak tanya seperti biasa ia langsung melajukan motornya ke tempat yang baru saja ku sebut. Sesampainya disana aku langsung turun dan berlari menuju lantai 4 ke ruang tulip no.3 entah daffa mengikuti atau tidak, aku tak peduli. Menunggu lift, lalu ada yang memanggilku

Awaa!

Seperti suara bang ray, aku mencari sumber suara dan dia ada di depan sebuah ruangan, seperti ruang dokter. Dan benar, spesialis jantung. Aku menatap bang ray penuh dengan tanda tanya, bang ray hanya menarik tanganku lalu memeluk tubuh mungil ini jika dibandingkan dengan nya. tangisan ku pun pecah untuk yang kedua kalinya di hari ini.

"Kamu kenapa di sini awa?" tanya nya sambil mendekapku.

Aku yang masih sesenggukan melepaskan pelukannya, mencoba mengendalikan nafas.

"Sekarang bang ray jelasin semuanya ke naswa". Ucapku menuntut.

Bang ray menatapku sambil mengangguk.

Di taman rumah sakit.

"Sekarang awa udah tau penyakit papah, gausah ngerengek lagi kalo lagi jenguk yah. Janji sama abang." ucap bang ray sambil mengangkat jari kelilingkingnya.

Aku mengangguk lalu menautkan jari kelingking seolah membuat janji dengan jari bang ray, lalu ia tersenyum.

"Bang, tapi papah bisa sembuh kan?" tanya ku dengan pelan.

Bang ray tersenyum dengan lembut sambil memegang bahuku.

"Kita berdoa aja wa, untuk masalah sembuh nggaknya urusan tuhan." ucapnya menenangkan, namun sama sekali tidak membuatku tenang.

Aku terdiam kembali.

"Kamu cabut sekolah wa? Jam segini belum waktunya pulang loh." Tanya bang ray yang akhirnya menyadarinya.

Aku menggeleng.

"Awa izin pulang bang." Jawabku singkat.

"Loh terus kesini naik apa?" tanyanya lagi.

"Naik motor". Jawabku lagi.

"Sama aul? aulnya mana?" bang ray banyak tanya.

Aku hanya menggeleng, tak lama seseorang menghampiri ku dan bang ray dengan nafas yang tidak teratur seakan habis lari marathon ratusan kilo.

"Assalamualaikum bang". Ucapnya dan menyalami bang ray.

Bang ray kaget.

——————————————————
Hallooo...
Welcome to my first story
I hope you're enjoy to reading it
Dont forget to like, comment, and vote.
HAPPY READING!

TentangnyaWhere stories live. Discover now