Prolog I

410 242 54
                                    

Segala peristiwa masa lalu memberikan efek pada sifat emosionalnya yang sering kali bergejolak. Namun, dia tidak bisa melampiaskan perasaan tersebut.

Ketika emosi yang berada di dalam dirinya memuncak, dia hanya mampu mengepalkan tangan dengan menahan sangat kuat atas reaksinya, terkadang terlihat urat-urat yang memiliki warna kehijauan samar-samar dari kulitnya, tangan tersebut mengepal dengan kuat, tetapi tidak ada pukulan yang terjadi, tidak ada dinding yang mengalami keretakan, tidak ada orang yang tersakiti. Hanya saja, jiwa, pikiran dan hatinya yang mengalami kehancuran secara perlahan.

Emosi yang tidak terkontrol dan tidak terlampiaskan membuat komponen tubuhnya mengalami kerusakan perlahan, kepalanya sering mengalami vertigo layaknya badai Katrina yang menghancurkan segala bangunan di sekitarnya. Namun, kerusakan hanya terjadi di dalam kepala, bagian-bagian lainnya mengalami kehancuran yang tidak terlihat, tapi terasa.

Ketika keluarganya mengalami kehancuran, dia menganggap bahwa setiap kegagalan selalu terdapat kecacatan dalam prosesnya. Namun, setiap manusia selalu memiliki sifat mendambakan sebuah kesempurnaan. Keluarganya sudah tidak bisa kembali seperti sediakala, mereka bagaikan abu yang berada di dalam impresi kepalanya, menghilang-lenyap dan tidak terasa dalam jiwa, perasaan ataupun pikiran.

Muspra berasal dari pinggiran kota Armos, dia pindah ke kota Eleanor yang berdekatan dengan posisi laut, suatu wilayah yang menyuguhkan panorama pemandangan tidak akan pernah bosan ketika dilihat oleh siapa pun.

Kota penuh dengan kebisingan oleh suara deru ombak yang bergulir, serta iringan angin kencang yang terkadang membawa embun-embun air laut, terlebih ketika sang surya mulai menampakkan dirinya perlahan-lahan. Terkadang pula burung-burung berterbangan di atas cakrawala dengan bebasnya melintasi sebuah batasan horizon yang terbentang luas.

Suara-suara kapal yang selalu menggelegar hampir dua kali dalam sehari, keadaan itu menjadi pengingat batasan waktu oleh masyarakat setempat untuk memulai-mengakhiri.

Segala kemegahan itu selalu didapatkan dengan mudah oleh setiap orang yang menempati kota Eleanor. Namun, Muspra sama sekali tidak merasakan segala kekayaan itu. Dia selalu menjadi manusia yang terus merasakan keresahan, sekaligus kegusaran terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam dunia ini.

Pikirannya seperti rantai yang terus berputar, terlebih ketika indra penglihatannya mengamati keadaan sekitar. Pikiran yang selalu penuh dengan rasa skeptis terhadap segalanya, kondisi itu selalu menjadikan dia tampak depresi terhadap kehidupan yang sedang berjalan.

Dia bagaikan manusia yang ingin menyelesaikan segala puzzle kehidupan. Namun, semakin dia mempertanyakan segala hal ataupun ketika dia menemukan sebuah jawaban, seketika membuatnya langsung mengalami kekosongan dan putus asa untuk kembali menjalani kehidupannya.

Puzzle yang selalu dia rangkai pasti berakhir dengan kebingungan yang menjemukan. Teka-teki kehidupan memiliki fragmennya sendiri, semakin dia menemukan sebuah jawaban justru membuatnya semakin kebingungan, dilema ketidakpastian akibat dari fragmen-fragmen yang dia percayai selalu bertabrakan.

Dia bagaikan manusia muda yang telah mati sebelum waktunya tiba.

Hatinya terus bergetar akibat ketidakterimaan atas mitos-mitos yang dikembangkan oleh masyarakat, sebuah cerita yang hanya menebar ketakutan pribadi mereka agar selalu menilai seseorang tanpa mengetahui, maupun mencari tahu cerita dibaliknya.

Dia mempercayai jika seseorang yang termakan mitos memiliki watak keras kepala terhadap kebenaran dan kesalahan, bahkan menjadi seperti kultus pribadi. Segala yang berbeda dari kepercayaan mereka akan selalu dihakimi.

Hal yang tidak sependapat akan selalu dikatakan salah, seolah-olah kesalahan sebagai gambaran bahwa manusia berada di jalur yang buruk dan tidak bisa dirubah. Setiap manusia memiliki pertimbangannya masing-masing untuk menjalani kehidupan. Namun, kesalahan tidak bisa ditoleransi dalam dunia ini.

Kegusaran yang dia miliki tidak hanya sekecil lingkup mitos. Kondisi perebutan kekuasaan selalu terdengar membosankan, harapan-harapan penuh dengan kontradiksi antara dilakukan ataupun tidak. Perkataan yang penuh dengan kekosongan, bualan sebagai jualan utama yang disajikan kepada para pengikutnya, tindakan-tindakan yang berarti hanya terjadi di awal. Setelah itu, semua akan kembali ke dalam permainannya.

Permainan perebutan kekuasaan dalam pikirannya, hanyalah menginginkan masyarakat untuk patuh, peduli sekaligus tunduk terhadap suatu hal yang diinginkan oleh mereka. Dalam anggapannya, para pemain itu akan selalu mendengarkan pendapat rakyatnya dengan sebuah syarat, ketika mereka membutuhkan pertolongan.

Hingga pada akhirnya, dia membuang jauh-jauh kamus perebutan kekuasaan dari kosa kata pemikirannya.

Keresahan yang terus menumpuk di dalam kepala membuat dia jatuh ke dalam lubang depresi, sebuah lorong yang penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian. Di sisi lain, ruangan gelap itu seperti tempat bagi setiap makhluk hidup untuk terus berkembang di dalamnya, yaitu sebuah tempat yang bernama kehidupan.

Problematika simpang siur antara yang dia pikirkan dan dipercayai benar, selalu menjadi kontradiksi di mata orang banyak. Begitu pula dengan mitos-mitos yang bertaburan, mereka melahirkan kultus hingga tindakan yang berangsur-angsur menggerus jiwa.

Dia tumbuh sebagai anak yang memiliki sifat dominan introvert, kondisi yang membuat dirinya kesusahan untuk beradaptasi dalam lingkup keramaian. Pekikan suara yang saling membalas hingga berlomba-lomba untuk bernafas membuat dirinya menjadi jenuh-letih, sekaligus tampak membosankan.

Keresahan yang dia miliki tidak pernah tersalurkan dengan sifat emosionalitas pantas, semua menghuni menjadi satu di dalam brankas otaknya.

Manusia Yang Telah Mati Sebelum Waktunya Tiba (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang