2

21.5K 2.4K 11
                                    

Di dalam mobil, gue hanya bisa mendengar dengkuran halus dari Fino. Mungkin karena sudah terlalu lelah nangis jadilah anak itu tumbang dengan cepat.

"Tidur?"

"Iya tante."

Gue gendong Fino menuju kamarnya setelah dibantu Tante susan untuk melepas sepatunya.

Saat gue hendak membaringkan Fino keatas kasur yang super empuk nan hangatnya itu, tiba-tiba dia bangun. Tak sepenuhnya, mungkin saja mengigau. Buktinya Fino hanya berguman tak jelas seraya menangis.
Gue kesel setengah mati, mungkin ini sudah menjadi tangisan yang sekian kalinya dalam hari ini.

Fino meluk gue erat sambil terus nangis, tante susan pun yang merasa gak enak karena gue gak bisa bergerak bebas akhirnya mulai beraksi juga.

"Fino... Udah sayang, sini tidurnya sama Bunda."

Wanita itu berusaha menarik tubuh Fino, meski hasilnya sia-sia karena Fino semakin mengeratkan pelukannya.

Tante Susan menatap gue dengan pandangan yang gak enak. Sebelum wanita baik hati itu mengucapkan kata-kata merendah, gue segera berucap.

"Gak papa tante. Reka nginep saja disini."

Barulah pandangan Tante Susan terlihat lebih lega. Namun masih sarat akan rasa sungkan.

"Maaf ya ngerepotin kamu terus."

"Nggak kok Tante. Tenang aja."

"Kalau gitu, istirahat ya. Tante telepon mama kamu."

"Iya tante."

Tante Susan pergi dari kamar ini. Menyisakan gue yang masih aja dipeluk koala mungil yang pulas tertidur.

"Mh.. hiks.. rekaa."

Hah. Padahal gue cuma benerin posisi tidur gue supaya lebih nyaman. Fino lo rese banget sih.

"Sttt.. ini gue."

Gue peluk lagi Fino setelah menemukan posisi yang nyaman. Mulai memejamkan mata walau kini gue sedikit terganggu dengan bau jeruk yang menguar dari rambut si Fino.

Ahh... Kayaknya malam ini bakalan kerasa panjang.













***

"Fin... Fino, bangun udah siang. Sekolah."

Gue, udah berasa jadi bapaknya Fino aja. Anak ini mau main gue temenin, mau tidur gue kelonin dan pagi pun gue bangunin.

Akhirnya dengan segala kepretan dan tepukan keras dipantatnya, Fino bangun. Sesekali mengerang lalu menguap lebar. Matanya mengerjap, menyesuaikan cahaya yang kini masuk karena jendela kamar gue buka.

"Reka..."

"Udah jangan banyak maunya. Sana mandi terus sarapan. Gue mau pulang."

Gue tolak mentah mentah tangan yang sedang merentang itu. Kode minta pelukan atau gendongan. Ogah, gue males. Gue juga harus buru-buru pulang.

Alhasil, Fino manyun tapi juga beranjak menuju kamar mandi. Gue beresin lah kasur itu anak seraya ngambil dompet dan kunci mobil yang semalem gue simpan di atas meja belajar Fino. Barulah setelah itu gue beranjak pulang setelah pamit kepada Tante Susan.

Gue pulang cuman jalan kaki. Mobil sengaja gue parkirin di depan halaman rumah si Fino. Lagian jarak rumah gue sama dia cuma dipisah jalan raya doang. Gue tinggal nyebrang aja.

"Wah... Bang Reka pulang juga. Udah kenyang ngapel sama kak Fino nya?"

Gue jitak kepala adek gue yang nakalnya kebangetan. Dia mengaduh kesakitan dengan mata yang berkaca-kaca. Haha rasain.

"Udah jangan berantem mulu ah."

Sampai Mama ngelerai dan gue pun segera beranjak menuju kamar dan mulai bersiap ke sekolah.




***

"Reka... Pulang sekolah ke taman yu." Kini kita berdua sedang menuju sekolah. Selesai bersiap-siap dan sarapan, gue hampiri lagi si Fino yang udah anteng nunggu didepan mobil gue.

Gue lirik Fino yang sekarang sedang menatap penuh harap kearah gue. Pengen sih nongkrong di taman, tapi gue ada kegiatan lain.

"Sorry, gak bisa Fin.. gue ada latihan voli."

"Lo kan udah jago Ka main volinya. Gak perlu latihan lagi kan..."

Cicitnya sambil menunduk. Aduh, kalau gini pasti susah. Gue pun berinisiatif buat menepikan mobil gue. Lalu menatap Fino yang kini malah menengok kearah luar jendela.

"Harus Fin. Lo masih inget kan bulan depan tim gue ada tanding disekolah lain?" Fino menoleh kearah gue lalu mengangguk pelan. Pasti dia ingat, karena orang pertama yang gue kasih tahu soal pertandingan itu adalah Fino.

"Gue tungguin deh sampai Reka beres latihan." Jawabnya yang masih betah menunduk. Gue heran, nada bicaranya sudah beda.

"Eh! Kok malah nangis?"

Ahh sialan. Fino, gak ada angin gak ada hujan malah nangis sesenggukan. Gue yang gak paham cuma membiarkan dia aja buat nangis sampai puas. Biarin, supaya dia malu.

"Ada apa?" Gue mencoba nanya Fino yang masih sesenggukan. Tapi syukurlah tangisannya sudah berhenti.

"Gue berantem sama Bunda."

Sebanyak pengetahuan gue tentang keluarga ini, gak mungkin mereka berantem. Tante Susan itu paling sayang sama Fino, pasti anak ini saja yang salah paham dan bebal.

"Kenapa emangnya?" Gue menatapnya malas. Tapi sayangnya Fino gak menjawab, dia malah menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jadi lo gak mau pulang?"

"... Iya."

Gue mencoba menghela nafas lalu menutup mata untuk sejenak. Berusaha mengatur emosi yang kini mulai singgah.

"Gue bakalan telepon Bunda lo. Kalau emang lo yang salah, gak ada toleransi. Tapi kalau beneran ada masalah serius, lo boleh nginep dulu di rumah gue."

Mata Fino kembali berkaca-kaca. Tapi gue gak mempedulikan itu. Biasanya jika begini, Fino hanya sedang kesal dan marah karena keinginannya tak terpenuhi. Bukan sepenuhnya punya masalah berat yang bisa membuat stress.

Gue kembali menghidupkan mesin mobil lalu mulai melaju lagi menuju sekolah sebelum hari sudah semakin siang.

"Udah jangan nangis terus, nanti lo ngantuk."

Dengan susah payah gue tahu bahwa Fino berusaha buat nahan tangisan itu. Tapi ya namanya Fino, cengeng.





#Reka Pov End

.
.
.

.
.
.


.
.
.

Tbc

My Boyfriend has a Little Space [1]Where stories live. Discover now