BAB 19

83.6K 3.4K 156
                                    

***

"Puas nyuap mami buat ngorek informasi tentang saya?"

Suara beratnya yang bermain di cuping telingaku sukses menghadirkan percampuran sensasi seperti permen nano-nano.

"Banget. Puas banget."

Dia masih belum mau menggeser tubuhnya yang menempel di punggungku. Bau segar aroma shampoo yang dipakainya untuk keramas masih meninggalkan sisa hingga aku bisa menghidunya sesuka hati. Ada debar aneh menpermainkan irama jantungku. Dan aku tidak bisa memerintahnya agar lekas berhenti menimbulkan suara yang sewaktu-waktu bisa mampir ke telinganya karena ritme hentakan yang mirip mesin generator.

"Kenapa kamu nggak bangunin aku sih Ai? Kalau telat gimana? Tender kali ini itu bukan sekedar proyek kelas teri yang bisa digarap sambil main layang-layang," dia mulai bercicit.

Pria ini sepertinya tidak peka. Saat aku mati-matian menyembunyikan kegugupanku, dia malah berlaku seolah-olah pembicaraanku dengan mami tidak ubahnya seperti kentutnya Rega yang cepat melebur bersama udara saat ia terserang diare. Tapi ngomong-ngomong soal mami, kenapa dari tadi aku tidak mendengar suaranya ya?

"Kalau lihat anak sama mantu mami mesra gini, kayaknya lobi mami bakalan sukses."

Dia menelengkan kepalanya beberapa derajat, menyipitkan mata ke arah mami yang berdiri tidak jauh dari kami. Senyum tidak henti-hentinya dipamerkan mertuaku, sedang alisnya bergerak naik turun. Beliau menggoda kami, seakan usiaku dan Banyu baru menginjak usia remaja yang sedang asyik-asyiknya terserang syndrom cinta monyet.

"Satu, dua, selusin, dua lusin....ngomong aja pengen dibikinin berapa. Ntar biar Banyu sama calon emaknya kerja rodi tiap malam buat ngegolin lobi mami. Nyenengin orangtua kan ibadah. Bener nggak Ai?" Mulut Si Kampret ini sekali waktu perlu disumpal dengan popok bayi. Apa-apaan maksudnya dengan kerja rodi?

"Busyet! Banyak amat. Emang kamu nggak kasihan sama Iris kalau harus ngelahirin banyak anak?"

"Bukannya kata Mami banyak anak banyak rejeki?" Dia bertanya.

"Itu kata orangtua jaman dulu. Kalau mami pribadi sih nggak setuju. Gimana mau banyak rejeki kalau buat ngasih makan anaknya yang selusin aja harus banting tulang mati-matian. Logikanya kan begitu, Bay," aku memilih diam dan menyimak keduanya sambil menyelesaikan nasi gorengku yang sudah hampir matang.

Membahas masalah anak sebenarnya ada sedikit kekhawatiran yang kurasakan. Apakah hanya dengan satu kali hubungan intim fetus bisa tumbuh dan berkembang dalam rahimku? Bagaimana kalau tidak? Apakah itu artinya kami harus mengulangi percintaan sesi kedua demi menghadirkan seorang keturunan?

Tiba-tiba bayangan kelam masa laluku kembali bergulir di kepala. Aku tidak bisa membayangkan kalau seandainya dia mengambil tindakan yang sama dengan yang dilakukan Reza. Melepaskan Banyu untuk yang kedua kalinya, sama saja dengan menyuruhku memutus urat nadiku sendiri.

"Gimana Ai? Setuju nggak kalau kita punya banyak anak?" Pertanyaannya membuyarkan lamunanku. Tangan kirinya kali ini merangkul bahuku, sedang satu tangannya lagi yang bebas ia gunakan untuk menarik daguku hingga membuat pandangan kami bertumbur.

Kucari kesungguhan dalam manik matanya. Apakah ucapannya ini hanya sebagai akal bulus untuk mengecoh mami, atau dia memang benar-benar menginginkan anak tanpa didasari alasan tertentu. Setidaknya kalau ada alasan, itu karena dia ingin mempertahankanku. Menginginkanku sama halnya aku yang tidak pernah putus menginginkannya. Itu akan menjadi pertimbangan tersendiri mengingat awal mula tujuan kami menikah dulu karena terdesaknya Banyu soal keturunan laki-laki untuk mempertahankan aset keluarganya.

"Kamu pikir aku kucing Persia yang perlu dibudidayakan sampai harus ngelahirin banyak anak? Kamu sih enak, tinggal modal nyoblos doang, giliran yang dicoblos bawa perut besar kemana-mana kamunya malah jelalatan nyari yang dadanya gede di pinggir jalan,"dari balik punggungnya kudengar tawa mami berderai. Entah bagian mana yang lucu dari omonganku.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang