BAB 17

65.1K 3K 93
                                    

Halloo.... Akhirnya, dikasih kesempatan buat melanjutkannya meski dengan modal waktu pas2an. Selamat membaca, kawan ^^ dan jangan nanya kapan lanjutannya.

***

Aku masih enggan buka suara sejak pertengkaran kami beberapa jam lalu. Bahkan dia juga tidak mau repot-repot menjelaskan perihal pesan singkat tentang rencana pertemuannya dengan Liana. Ku ambil sebuah kemeja Madewell dari gantungan yang ada di dalam lemari lalu memakainya. Setelah keluar dari kamar mandi, aku tidak menemukan batang hidungnya sama sekali. Yang ada hanya sebuah pesan yang dituliskannya pada selembar kertas yang diletakkan di atas meja.

~ Aku keluar sebentar ~

Ku hela nafas panjang, seolah dengan melakukannya semua pikiran yang bertumpuk didalam kepala lumer seketika. Apakah sisa-sisa perasaan diantara keduanya tengah disemai agar tumbuh kembali? Lantas, kenapa Liana harus bersusah payah mengajukan syarat yang secara tidak langsung ikut menyeretku kedalam lingkaran kisah percintaannya dengan si bedebah itu? Tidakkah aku terlihat seperti seekor keledai tolol yang jatuh ke dalam lubang yang sama karena mau-mau saja ambil bagian dalam permainannya padahal sudah sangat jelas tidak ada keuntungan yang bisa ku ambil?

Ku putuskan untuk menyudahi analisis seputar hubungan mantan suami istri tersebut. Mengisi waktu sambil memilih beberapa souvenir untuk orang rumah kurasa bisa sedikit menghiburku yang tengah kalut. Di atas meja rias ada beberapa gincu beraneka warna. Dan pilihanku jatuh pada warna merah darah. Jika kata orang polesan warna ini sanggup menonjolkan sisi sensual, maka aku tidak ambil peduli dengan persepsi tersebut. Toh, baju yang ku kenakan tidak mengindikasikan bahwa aku tipe-tipe wanita malam yang suka meliuk erotis di tempat-tempat prostitusi. Aku wanita bersuami, setidaknya begitulah status yang tertulis didalam hukum.

Suara pintu berderit, dan aku melihatnya memasuki kamar dengan langkah tidak bersemangat. Dari balik pantulan kaca di depanku, mataku bisa menangkap gurat wajahnya semuram langit mendung. Aku tidak bertanya apapun meski ada tanda tanya besar di dalam kepala. Aku masih berjibaku dengan kegiatanku sendiri, mengoleskan gincu dengan sesekali mencuri pandang ke arahnya yang terlihat bingung. Dia mengusap tengkuk, lalu mengelus ujung pelipisnya dengan sentuhan reguler. Apa, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan? Yah, siapa tahu ingin menjelaskan sejauh mana duduk persoalan tentang pesan singkat Liana untuk menjaga perasaanku sebagai pasangan hidupnya yang sah.

"Sore ini kita harus balik ke Jogja."

Pertama, Gerakan tanganku yang semula tengah membersihkan sisa-sisa gincu dengan selembar tissue pada akhirnya menggantung di udara.

Kedua, dia baru saja menuangkan bensin ke atas bara api yang baru padam. Panas! Dadaku rasa-rasanya seperti dimasukkan ke dalam oven dengan suhu panggang paling tinggi. Aku menggertakkan gigi, menahan emosi agar tidak keluar saat ini juga dan menyerangnya dengan sumpah serapah.

"Kenapa?" Tanyaku dengan nada suara ku buat senormal mungkin.

"Ada pekerjaan yang harus segera ku selesaikan. Ini...menyangkut bisnis properti di Semarang."

Oke! Dia tidak jujur. Dan ini sangat melukaiku. Dia berusaha menuntunku berjalan di tengah sungai dengan arus yang begitu deras. Genggaman tangannya yang kokoh seolah menjanjikan sesuatu, bahwa aku akan selamat sampai ke hilir hanya dengan bermodalkan hal sederhana, yaitu kepercayaan. Percaya bahwa dia tidak akan melepaskan jari-jemari kami yang saling bertaut erat. Tapi siapa sangka, ketika kepercayaan itu ku letakkan diatas segalanya dia malah menarik paksa tangannya hingga membuat tubuhku hanyut terbawa arus sungai yang deras sampai jarak bermil-mil.

"Memangnya harus kamu yang maju? Lalu apa gunanya papi kalau semua pekerjaan hanya butuh kehadiran kamu?"

Ku mainkan ujung rambut dengan sisir. Aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang tengah dia tunjukkan. Apakah ada kerutan di sekitar dahinya, atau malah menanggapi pertanyaanku dengan santai. Sebenarnya aku ingin sekali menatapnya walau hanya lewat pantulan kaca. Tapi semakin aku masuk ke dalam sorot matanya yang bening, hanya semakin membuatku ingin memilikinya. Aku takut, hal ini pada akhirnya akan menjadi bomerang yang menyerangku balik.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang