BAB 10a

68.5K 2.8K 87
                                    

Hohoho.... Maafin daku kalau minggu ini lelet updatenya. Maklum, sibuk sama dunia nyata biar dapur Si Emak tetep ngepul hehe...

Daku sempet mumet lho sama part 10 ini. Bolak-balik-bolak, entah berapa kali ngubah plot, sampe rasanya pengen jedotin jari ke tembok. Dari scene acara kejar2an di kebun teh sambil bawa selendang si emak, sampe adegan ketusuk beling bekas makanannya di kuda lumping. Eh, tiba2 semalam pas kerja sambil ngayal dapat ilham dari Mbah Marwon. Berhubung part ini rada panjang, daku potong jadi dua bagian ya. Dan part keduanya itu klimaks sebelum ke acara yang resmi2 hahaha...

PERINGATAN : Part ini garing, bosenin plus lebih banyak diksi ngawurnya. Yang kurang puas, silahkan menyingkir teratur, tapi saya nggak akan marah kok kalau ada krisan yang membangun, jangan cuman lanjut lanjut aja komennya, ntr klw lanjut saya nebrak tiang listrik kan bencana ^^^ hehe...

***

"Kamu sedang ada masalah, Nduk? Ibu perhatikan sudah hampir seminggu ini hobi lamamu kambuh lagi."

Aku menggeleng lemas," nggak ada masalah apa-apa kok, Bu. Iris cuma lagi nggak enak badan aja," kilahku untuk mengecoh ibu. Bukannya aku tidak percaya dengan ibuku sendiri. Hanya saja, masalah Banyu adalah satu-satunya hal yang tidak ingin aku bagi dengan siapapun, termasuk keluargaku.

"Tapi belakangan ini ibu sering lihat kamu melamun terus. Mbok ya kalau punya masalah itu jangan disimpan sendiri. Cerita. Siapa tahu ibu bisa bantu."

"Beneran Bu, Iris nggak bohong. Lagian kalau ada masalah sekecil apapun kan biasanya Iris selalu cerita."

Sudah seminggu ini aku lebih memilih pulang ke rumah kedua orangtuaku, bahkan semua PR yang masih teronggok manis di atas meja kerja ku ungsikan kesini. Hal itu semata-mata ku lakukan hanya untuk menghindari kemungkinan terburuk yang pernah ada, yaitu bersitatap langsung dengan seorang Banyu Biru. Aku takut. Takut kalau usahaku akan berakhir sia-sia sekali kami diberi peluang untuk berdiri di tempat yang sama.

Mungkin di mata Banyu ada perubahan yang begitu kentara dalam diriku. Sudah berapa banyak pesan singkat darinya yang ku abaikan. Telepon yang ku reject begitu namanya terpampang jelas di layar smartphone-ku. Untuk saat ini, aku tidak ingin memikirkan apapun yang berhubungan dengan bedebah itu. Aku muak, jengah, dan lelah dengan permainan takdir yang seolah sedang menertawakan kebodohanku.

"Benar? Kamu nggak lagi bohongin ibu, kan?"

Sambil menggeleng aku tersenyum merespon pertanyaan ibu. Tanganku masih bergerak-gerak sembari memegang pisau dapur yang nampak runcing dibagian ujungnya, aku tengah mengupas wortel yang dibeli ibu kemarin siang di pasar tradisional dekat sini sehingga bentuk fisiknya belum layu, masih terlihat segar dan dingin karena baru ku keluarkan dari kulkas.

"Oh iya, Nduk. Tadi malam Bapakmu pesen, besok pagi kita sekeluarga mau diajak sowan ke rumah teman lama beliau yang ada di Wonosobo. Nginep sehari katanya."

"Memangnya ada acara apa disana?"

"Katanya acara syukuran panen atau apa gitu, ibu kurang tahu. Coba nanti kamu tanya sendiri ke bapak biar lebih jelas," ibu menghidupkan kompor, lantas menaruh wajan yang sudah diisi minyak goreng sampai setengah bagian untuk menggoreng bakwan sayur sebagai salah satu menu sarapan pagi kami.

Berkumpul kembali dengan keluargaku, rupanya bisa dijadikan alternatif paling jitu untuk mengobati rasa sakit yang masih menyisakan ngilu di hati. Guyonan bapak dan Rega yang selalu memenuhi ruang tamu saat kita berkumpul di waktu senggang membuat hidupku kembali bergairah, sejenak bisa mengenyahkan pernyataan Banyu tentang rasa cintanya yang tidak pernah surut dan tergerus oleh waktu untuk Liana.

"Emang harus ya pake acara nginep segala? Gimana kalau Iris nggak ikut," menyampaikan pikiranku pada ibu yang masih berdiri dengan posisi memunggungiku. Beliau memutar tubuhnya sebentar, lalu memandangku dengan senyuman yang terlihat begitu adem.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang