Kejutan

65.8K 2.3K 138
                                    


"Ai?


"He'em... Kamu dapat ide dari mana manggil aku Ai?"


Ia menjawil hidungku. "Jadi kamu benar-benar mau tahu dari mana asal panggilan sayang aku ke kamu?" tanyanya.


"Iya. Ihhh... banyak tanya ya ini mulut. Jawab saja kenapa, sih?" aku setengah berteriak gemas.


Ia terbahak keras. Tangannya mengelus rambutku yang terjuntai melewati dadanya yang tidak tertutup oleh selimut yang membungkus tubuh kami. Aku masih meletakkan daguku di sana. Di atas dada yang ditumbuhi rambut halus berwarna sedikit kecoklatan.


"Di negara Jepang, kata cinta itu memiliki beberapa tingkatan, Sayang. Nggak hanya merujuk pada satu bahasa saja sebagai kalimat pernyataan cinta yang ditujukan dalam setiap jenjang hubungan berbeda. Tapi diantara semuanya. Hanya aishiteru yang memiliki makna nggak sembarangan, karena lebih merujuk pada cinta yang sesungguhnya. Cinta yang selalu ingin memberi, bukan memiliki semata sebagai sikap yang egois. Itulah sebabnya aishiteru lebih banyak digunakan oleh pasangan yang sudah menikah. Karena kamu itu istri aku. Dan kamu cinta mati aku. Aku memberimu panggilan sayang Ai yang artinya cinta."


Untuk beberapa saat aku mengambil jeda waktu agar bisa mencerna kalimatnya yang begitu panjang. Ada yang menghentak-hentak dalam ruangan hatiku. Ada suara degup jantung yang bunyinya seindah irama piano yang mengalunkan lagu cinta. Ia tak pernah sebegitu gamblangnya menyatakan perasaan di hadapanku. Tapi saat ini. Ketika kami sudah memutuskan untuk saling memaafkan dan kembali bersama, ia membuat kebahagiaanku semakin tak terbendung. Derasnya aliran darah yang berpacu dengan rasa cinta yang tak pernah habis untuknya, sanggup melibas kesalahan-kesalahan maupun kekeliruan yang menjadi awan kelabu dalam hubungan kami.


Aku merangkak, duduk di atas pahanya lalu mengalungkan tanganku pada lehernya. Dari jarak seintim ini, aku bisa melihat matanya yang teduh. Mata yang memancarkan begitu banyak rasa cinta dan pemujaan hanya untukku. Kini aku tahu. Bahwa ia tak pernah melupakanku selama enam tahun perpisahan kami hanya dari cara bagaimana ia menatapku. Desiran-desiran aneh yang dulu tak mampu kuartikan, terjawab sudah.


"Kamu tahu nggak? Aku senang banget dengar kamu ngomong kayak gini. Ini bukan seperti Banyu yang aku kenal. Banyu yang bisanya cuma membuatku menangis karena menyaksikan wanita datang silih berganti dalam hidupnya. Dulu, mengharapkan cinta kamu itu seperti aku yang terus berjalan mendaki gunung tapi nggak sampai-sampai ke puncaknya. Yang aku dapatkan hanya rasa lelah dan putus asa sampai akhirnya memutuskan untuk menyerah. Tapi setiap kali melihat wajah kamu, perasaan cintaku nggak bisa benar-benar aku musnahkan," ingatanku berjalan mundur ke belakang. Mengingat kembali rasa getir saat diam-diam mencintainya.


Ia mengulurkan tangan. Mengelus pipiku dengan binar mata yang tak secerah tadi. Ada pancaran rasa bersalah dan penyesalan yang kali ini mampu kutafsirkan dengan sangat baik.


"Maafkan aku, Ai," ia tersenyum lemah.


Aku menggeleng, meletakkan jariku di depan bibirnya. Lalu, memberinya sebuah kecupan singkat sebagai upaya untuk menenangkannya.


"Kamu nggak salah. Andai kita tahu kalau kita sama-sama memiliki perasaan. Mungkin kita nggak akan punya kisah panjang seperti ini, Bay. Kisah yang hanya akan jadi milik kita berdua sampai tua. Sampai anak-anak nanti membesar dan membuat kita menjadi opa dan oma yang nggak akan pernah bosan membagi kisah kita pada mereka."


"Kamu benar, Ai," ia menarik pinggangku, membuatku semakin merapat padanya. Tanpa disuruh, aku memeluknya erat. Menjatuhkan kepalaku di atas dadanya sehingga suara detak jantungnya bisa kudengarkan dengan jelas.


"Janji sama aku, ya. Setelah jatuh bangunnya kita, kamu nggak akan ninggalin aku dan bikin aku jadi wanita paling jahat sedunia karena punya niat buat ngebiri kamu, biar kemanapun kamu pergi nggak akan laku di pasaran banyak wanita."


Ia terbahak keras."Astaga sayang! Aku nggak tahu kalau kamu bisa berubah jadi semengerikan ini."


Ia masih saja menertawakanku. Tawa mengejek yang membuatku kesal dan menghadiahinya sebuah cubitan keras.


"Bayyy...," aku merengek manja.


"Oke...oke...aku janji bakal jadi suami yang baik buat kamu, Sayang. Suami yang selalu on time di atas ranjang buat transaksi bisnis kita demi kelangsungan keturunan Dharmawangsa, dan bikin kamu berpikir ratusan kali tiap mau ngebiri aku. Tanpa aset berharga milik aku itu, kamu kayak vampire wanita yang kehausan darah. Berubah jadi beringas dan...auwww...," ia tersenyum jahil padaku.


"Bayyyyy!!! Jangan mulai lagi, ya! Kayaknya mulai sekarang kamu harus berhenti bergaul sama kumpulan pria-pria sinting itu biar cara kerja otak kamu nggak semakin parah."


Masih dalam sisa tawanya, dagunya yang berada di atas puncak kepalaku mengangguk tanpa perlawanan. Aku pikir, saat Dewo menjemputku, aku bisa membelot nuraniku mati-matian untuk tetap berada pada pendirianku. Tapi logikaku kali ini kalah. Ia kalah saat hati mengambil alih segalanya.




Bagian ending yang disembunyikan

Makplo

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang