BAB 16

60.2K 2.7K 129
                                    

# Ada yang minta sebelum hiatus beberapa minggu upload dulu 1 part. Ini saya penuhi meski pendek itung2 buat permintaan maaf dan rasa terima kasih atas dukungan anda semuanya. Jangan kangenin Babang Banyu ya. Dan.... Dilarang galau abis baca ini hihihi.... See U next part, Dear^^

Oh iya.... Saya sertain lagu " Happen Ending " Epik High yang jadi BM waktu ngetik ini. Saya lagi mabok lagu2nya Babenya Lee Haru hihihi...

***

Ku kerjapkan mata beberapa kali agar terbuka sempurna. Rasanya berat sekali hanya untuk mengangkat kelopaknya agar bisa membiasakan penglihatan dari sorot cahaya yang sudah masuk ke dalam kamar. Butuh beberapa menit sampai mataku mampu memperjelas langit-langit kamar yang tadinya hanya berupa bayangan buram. Ku raba sebelah sisi ranjang, tapi tidak ku temukan sosoknya. Apa, dia bangun lebih awal saat aku masih terlelap dalam tidurku?

Ada yang aneh saat tubuhku mulai bergerak tidak nyaman dibawah selimut tebal yang membungkusku layaknya udang gulung. Rasa nyeri itu tidak terhindarkan. Mulai dari pinggul, lalu berakhir pada organ kewanitaanku yang rasanya luar biasa perih. Tapi itu masih bisa ku tahan saat ku putuskan untuk menyudahi malas-malasan ini. Sebelum turun dari ranjang, mataku mencari-cari sesuatu yang bisa ku pakai. Ada beberapa potong baju berserakan di atas lantai. Sampai ingatanku dibawa kembali untuk berjalan mundur mengingat potongan-potongan adegan yang dipenuhi dengan gairah yang saling memburu.

Hujamannya terkadang pelan, tapi sesaat kemudian berubah menjadi liar saat organ intimku mulai terbiasa dengan kehadirannya sampai-sampai aku harus menggigit bahunya untuk mengantisipasi teriakan yang menggema memenuhi ruang kamar yang hanya didominasi suara deritan ranjang juga erangan kami. Atau dia yang secara refleks mencengkeram rambutku saat kami sama-sama mencapai puncak permainannya. Aku tidak mungkin melupakan malam biru itu. Malam yang menjadi saksi untuk menghadirkan "dia" diantara kami.

Ku sambar kemeja biru langitnya yang teronggok di dekat pintu balkon, mengenakan pakaian itu tanpa bra yang membungkus buah dadaku yang penuh dengan bercak berwarna kemerahan. Dia yang melakukannya, mengeksplorasi tiap inci tubuhku dengan mata berkabut mempertontonkan gairah melatup-letup seperti magma di puncak merapi. Berpisah dengan Liana, apa mengubahnya menjadi seliar itu saat bercinta di atas ranjang? Apa masa dua tahun yang dilaluinya dengan status single tidak membuatnya berniat "jajan" meski hanya sekali saat dia butuh seseorang untuk menyalurankan hasratnya? Ah! Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari anggapan yang sering disebut konyol, membuatku dadaku seperti dibakar. Panas!

Gemericik suara air yang berasal dari shower menghentikan langkahku yang setengah tertatih menahan rasa sakit diantara kedua selangkangan. Dia sedang mandi, jadi ku putuskan untuk menunggunya di depan televisi. Ku raih remote, menyalakan tombol power hingga layar yang awalnya tidak bergambar kini menampilkan iklan sebuah produk susu kehamilan. Seperti ada yang menuntunnya, tanganku menepuk-nepuk ringan perutku sendiri sembari berkata dalam hati," Dek, semoga kamu benar-benar hadir untuk menyempurnakan kebahagiaan ayah dan bunda ya sayang," lantas bibirku terulas, tersenyum seperti orang tidak waras hanya dengan melafalkan satu mantra yang sangat sederhana "Dedek", panggilan yang sudah tidak sabar ingin ku ucapkan sepanjang hari seumur hidupku untuk kehidupan yang tumbuh dan berkembang di dalam rahimku.

Benda persegi itu berkedip beberapa kali tanpa suara panggilan, rupanya dia hanya menyalakan mode getar. Aku mengabaikannya lantas kembali menikmati acara tv. Belum juga satu menit mati, ponsel yang tergeletak di atas meja kembali bergetar. Dengan setengah hati, akhirnya ku raih benda tersebut. Dadaku rasa-rasanya tengah dihantam dengan sebongkah balok kayu berukuran besar. Tanganku bergetar, berulang kali mengeja nama yang menjadi dalang dari terwujudnya pernikahan ini.

Liana calling....

Aku tidak sepantasnya marah. Tidak menyimpulkan segala sesuatunya secara mentah-mentah tanpa bertanya terlebih dulu pada seseorang yang belum tentu menjadi tersangkanya. Tapi hati kecilku memberontak, menelusuri jejak-jejak masa lalu itu untuk mencari benang merah yang masih saling berkaitan.

Ping!!!

Sebuah pesan lewat aplikasi BBM masuk. Sempat menimbang-nimbang sejenak sebelum bertindak gegabah dengan menyabotase privasi oranglain sekalipun dia "hubby-ku" sendiri, tetap saja aku tidak mampu mencegah tanganku yang terulur kedepan meraih benda itu. Dengan jantung berdetak keras dan menahan nafas, jariku menari-nari di atas layar.

~ Lusa aku balik ke Jakarta. Kita ketemuan di Jogja aja ~

Hampir saja aku melempar ponselnya ke dinding. Lidahku terasa kelu. Bahkan kebahagiaan yang baru ku teguk belum sampai seperempatnya harus berubah menjadi empedu pahit. Tatapanku buram. Mataku sudah dipenuhi dengan airmata yang tiba-tiba sudah menganak sungai. Ketakutanku melampaui batas. Aku menggigil membayangkan pertemuan keduanya di belakangku akan jadi seperti apa. Apa penuh dengan romansa yang bisa membangkitkan sisa-sisa rasa diantara keduanya? Atau justru kembali menautkan ikatan dua hati yang sempat mengendur?

Ku seret langkah menuju balkon. Menyingkap gorden berwarna putih gading, lalu membuka pintunya yang masih tertutup rapat. Kurapatkan kedua tangan, memeluk lenganku dengan tatapan menerawang kosong sekalipun di bawah sana bibir pantai sudah dipenuhi banyak kerumunan orang yang larut dalam aktivitasnya masing-masing. Sesekali ku seka airmata yang mati-matian ingin ku cegah, tapi isakankulah yang justru keluar. Dadaku seperti diremas-remas.

"Nggak mandi?"

Suara yang berasal dari belakang membuat isakanku terhenti mendadak. Aku tidak menyahuti. Mungkin rasa kecewa yang masih bergelayut tak tahu malu yang menjadi alasan utamanya.

"Ngek, kamu baik-baik aja kan?"

"Heemm....," hanya mengangguk.

"Ngek...,"

Aku tetap bungkam.

"Sayang, kamu....apa, kamu marah?"

Aku setengah menoleh tanpa membalikkan badan. Saat dia bergerak maju ingin meraih lenganku, justru aku bergerak lebih cepat menghindarinya. Tanpa menatap sepasang bola matanya yang bening, aku berjalan begitu saja melewatinya sembari berkata," aku mandi dulu."

"Kamu nyesel, Ris?"

Ini bukan pertanyaan, tapi lebih mengacu pada pernyataan yang ditujukan langsung padaku.

"Kamu nyesel karena aku jadi yang pertama?"

"Kalau aku nyesel, aku nggak bakal milih opsi untuk menghadirkan "dia" dengan cara alami meski tahu kamulah yang akhirnya ku biarkan jadi yang pertama buat memilikinya."

"Lalu kenapa aku harus liat wajah kamu yang nggak bahagia seperti ini?"

Dia mendekatiku yang belum juga berbalik. Tatapanku beralih pada ponsel berisi pesan sialan itu yang kelihatan senyap. Dan lagi-lagi dadaku terasa terbakar. Panas sekali rasanya!

"Kalau kamu mau tahu jawabannya, tanyakan sendiri pada hatimu," aku menunjuk dadanya kasar dengan telunjukku saat kami sudah saling berhadapan.

"Nggak usah berbelit-belit. Aku bukan Si Pirang Cullen yang bisa baca pikiran kamu. Jadi kalau ada masalah belajarlah buat terbuka untuk menyampaikannya," aku bersedekap, memberikannya tatapan tidak bersahabat seolah sedang mengacungkan mata pedang untuk ku hunuskan langsung tepat di dadanya.

"Aku atau kamu yang nggak terbuka disini?" Tanyaku sekali lagi.

"Aku mau mandi dulu," lantas aku meninggalkannya begitu saja yang baru ingin membuka mulutnya kembali. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam, mencegah kalau-kalau dia masuk tanpa permisi. Sebelum mengguyur tubuhku, aku memperhatikan wajahku dari pantulan cermin yang menempel di dinding. Niat hati ingin membuang jauh-jauh pikiran tentang Liana. Tapi sebuah pesan singkat yang sesingkat itu pula menusuk hatiku tidak kunjung lenyap. Apa yang harus aku lakukan? Apa perlu mendiamkannya sepanjang sisa liburan kami agar dia sadar kesalahannya yang tidak bisa belajar untuk jujur dan saling terbuka seperti yang disampaikannya?

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang