BAB 2

84.3K 2.8K 41
                                    

Aku masih berjalan mondar-mandir dari sudut ruangan ke sudut yang lain. Entah sudah terhitung berapa kali aku keluar masuk kamar mandi hanya untuk menyalurkan hasrat buang air kecil, kebiasaanku ketika sedang dilanda gugup memang terkadang sangat menyusahkan. Sesuai permintaan Banyu tadi malam sebelum meninggalkan rumah, siang ini dia mengajakku untuk kembali bertemu di Ai Royal Unagi, sebuah restoran Jepang yang terletak di sekitar kawasan Monjali guna membahas masalah hak asuh Haruka yang belum sepenuhnya menemukan titik terang.

Jujur saja. Keadaan seperti ini membuatku seolah sedang disuguhi buah simalakama. Di satu sisi Banyu adalah sahabat baikku, dan sudah menjadi kewajibanku untuk menolongnya. Tapi disisi lain aku juga tidak ingin menyakiti diriku sendiri karena lagi-lagi harus terikat komitmen dengan seseorang yang tidak mencintaiku sama sekali. Lagipula aku juga harus menjaga perasaan orangtuaku, bukan? Rasanya tidak adil jika harus membuat mereka sedih dan kecewa karena alasan serupa. Arghh!!! Kenapa sih semua masalah datangnya bersamaan menghampiriku? Dosa besar apa yang sudah ku perbuat sampai-sampai Tuhan mengujiku dengan cara seperti ini.

~ Kling... ~

Ponselku berbunyi. Bergegas aku meraih benda persegi panjang tersebut yang tergeletak di atas meja. Ku geser ikon kunci, lalu membuka sebuah pesan yang ternyata dikirim oleh Banyu.

From : Blue@Water

Aku menunggumu di luar. Keluarlah!

Aku menghela nafas sebentar. Alih-alih langsung menuruti permintaannya, aku lebih memilih menjatuhkan kembali pantatku ke atas sofa. Ku pijat pelipisku berulang kali, menghalau rasa nyeri yang sudah sedari tadi menyerangku. Sebenarnya apa sih yang sedang direncanakan Liana? Apa dia memang sengaja ingin mempermainkanku? Tapi untuk apa? Toh, selama kami bersahabat tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan perasaanku terhadap Banyu. Aku menyimpan rapat-rapat perasaanku. Selalu berperan sebagaimana layaknya seorang sahabat terhadap mereka meskipun kadang kerap menelan rasa sakit saat melihat keduanya tengah bermesraan.

"Ris, ada yang nyari kamu di bawah," kepala Ave menyembul dari balik pintu.

Aku terlonjak kaget. Beberapa kali mengelus dada untuk menetralisir rasa terkejut gara-gara kebiasaan buruk si sialan Avelyn.

"Astaga Ave! Nggak bisa ya ngetuk pintu dulu sebelum masuk ke ruangan orang!" Aku bersungut murka.

"Opss... Sorry, dear. Kebiasaan sih," cengiran tanpa dosa Ave benar-benar membuat tanganku gatal ingin melempar mukanya dengan vas bunga kristal yang teronggok beberapa senti di depanku.

"Siapa?"

"Katanya sih teman lamamu," tidak perlu bersusah payah menebak siapa orangnya. Tanpa melihat untuk memastikan, sudah barang tentu itu Banyu Biru.

"Cakep lho, Ris. Ngomong-ngomong dia udah nikah belum?"

Ave membuka lebar-lebar daun pintu, lantas menyandarkan tubuh semampainya di sana. Senyum sialannya mengembang - jenis senyuman ejekan -, memamerkan deretan giginya yang tampak rapi dan putih."

"Sejak kapan kamu suka ngurusi status orang?"

Sebelum Ave mulai membrondongku dengan pertanyaan lagi, aku lebih memilih bangkit dan secepat kilat menyambar tas lalu berjalan keluar ruangan. Ku tarik lenga cardigan, menilik waktu yang ternyata sudah merangkak naik ke angka satu siang. Pantas saja Banyu berinisiatif mendatangi butikku, mangkir satu jam sih dari jadwal janji temu kami.

"Usaha, Non. Siapa tahu masih single. Soalnya kalau dilihat-lihat cocok juga denganmu."

"Sinting," dengusku.

Dan sekali lagi tawa Ave meledak tanpa bisa dicegah.

"Hentikan tawamu yang terdengar menyebalkan itu, Avelyn. Kalau nggak, aku nggak akan sungkan nyumpal mulut kamu itu!"

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang