BAB 9

57.3K 2.7K 120
                                    

~ Maaf kalau masih banyak typo, nggak nge-feel and bla...bla... Maklumi ya, masih anak bawang^^ ~

***

Siang ini aku berencana menemui Banyu, semacam memberikan kejutan kecil dengan menyempatkan diri datang ke kantornya. Selain ingin mengantarkan sekotak makanan cepat saji sebagai ucapan maaf karena telah mengerjainya habis-habisan kemarin malam, ada sesuatu dalam diriku yang setiap menitnya selalu mendesak agar bisa kembali melihat wajah itu. Wajah yang entah sejak kapan membayangi pelupuk mataku. Apa, ini pantas disebut sebagai kerinduan? Perasaan menggebu-gebu yang tidak bisa dihilangkan begitu saja kalau belum membingkai wajah itu untuk kembali ku simpan rapat dalam memori.

Ku bereskan barang-barang yang tergeletak di atas meja, beberapa sketsa yang belum juga menemukan hasil akhir karena pikiranku yang carut-marut bertumpuk menjadi satu di dalam sebuah map plastik berwarna biru tua. Setelah semua barang tertata rapi dan kembali ke tempat asal, aku menemui Mbak Ghea, orang kepercayaanku yang kebetulan dulu adalah seniorku di kampus yang hampir dua tahunan ini bekerja disini. Aku berpesan, kalau ada masalah di butik tinggal menghubungiku saja karena aku ada keperluan penting yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Dan sialnya! Di tengah terik matahari yang begitu menyengat, aku harus terjebak dalam antrian mobil yang begitu panjang. Pemicunya adalah, sebuah mini bus yang mengangkut banyak penumpang mengalami tabrakan maut dengan sebuah Avanza silver hingga memakan kurang lebih 6 korban nyawa. Oh, itulah gunanya mentaati peraturan lalu lintas ketika sedang berkendara. Tidak seenaknya ngebut seolah-olah jalan raya itu warisan nenek moyang yang bisa dipakai sesuka hati.

Kalau biasanya hanya butuh waktu satu jam untuk mencapai kawasan gedung perkantoran Banyu, maka sekarang perjalanan menjadi molor dua jam. Untung saja lagu-lagu lawas menjadi penghibur rasa bosanku. Lagu Barry Manilow yang berirama riang tapi memiliki lirik yang merepresentasikan isi hatiku jadi salah satunya.

Can't Smile Without You.

Yeah, senyumku yang lambat laun pudar setelah berpisah dengan Banyu. Tapi...sudahlah. Aku tidak ingin lagi berjalan mundur ke belakang kalau sekarang Tuhan sedang memberiku kesempatan kedua untuk meraih apa yang selama ini menjadi impianku. Ku parkir Volkswagen diantara beberapa mobil lain tepat di depan sebuah gedung pencakar langit yang terlihat megah. Entah terdiri dari berapa lantai, aku juga tidak tahu karena ini kali pertama aku menjejakkan kaki di sini.

Ada perasaan gugup menderaku. Keringat dingin juga mulai mengucur dari leherku yang tertutup rambut. Aku jadi sedikit ragu. Apakah harus meneruskan kejutan ini, atau mengurungkannya saja dengan alasan tidak etis seorang wanita sepertiku bertindak agresif dibandingkan Banyu yang hanya jalan di tempat. Aku menghempaskan punggung ke jok mobil, mengambil nafas lewat mulut berkali-kali dengan irama teratur. Setelah memantapkan diri, aku keluar dan berjalan menapaki tiap jengkal ubin marmer berwarna putih gading.

"Selamat siang, Mbak. Bisa saya bantu?" Tanya seorang wanita berlesung pipi yang tersenyum ramah kepadaku.

"Apa saya bisa bertemu dengan Bapak Banyu?" jawabku langsung tanpa berniat mengulur-ukur waktu lagi. Jam di pergelangan tangan juga sudah menunjuk pada angka yang melewati jam batas makan siang. Aku takut bungkusan makanan yang masih ku cengkeram erat ini hanya akan berakhir di tong sampah tanpa disentuh Banyu.

"Kalau boleh tahu, apa Mbak sudah membuat appointment dengan Pak Direkur?"

"Belum," wanita muda yang bernama Diandra Anindita ( sesuai dengan yang ku eja dari name tag yang menggantung di atas dada sebelah kanan ) menatapku ragu. Cepat-cepat aku menyela sebelum dia salah sangka dan memanggil security untuk menggeretku paksa dari sini.

"Tadi Pak Banyu berpesan minta dibelikan ini untuk makan siang," ku acungkan bungkusan plastik dengan logo sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal,mbak resepsionis masih menatapku skeptis.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang