BAB 14

63.5K 2.6K 100
                                    

***

Aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang lebih santai. Satu tanganku memegang handuk yang ku gunakan untuk mengeringkan rambut yang masih basah setelah mencucinya untuk menghilangkan sisa-sisa hairspray yang masih menempel disana saat ia membuka pintu dan melangkahkan kakinya dengan sedikit terseok. Jelas sekali kalau rasa lelah menderanya, hal itu terpancar dari raut wajahnya yang kumal seperti baju kotorku yang menumpuk di dalam keranjang cucian.

Tanpa rasa sungkan sedikitpun, jemari panjangnya bergerilya di atas beskap, melepas satu persatu kancing baju hingga busana putih gading yang ia kenakan terlepas begitu saja lalu melemparkannya asal ke atas ranjang. Aku bahkan bisa melihat tubuh liat Banyu yang masih bersembunyi malu-malu dari balik kaos singlet putih tipis tanpa harus mengendap-endap seperti seorang pencuri. Kalau boleh jujur, ada getaran aneh saat kami terjebak dalam dimensi waktu di dalam ruangan yang sama tanpa ada oranglain di sekitar kami. Entahlah. Ini, semacam perasaan gugup yang tiba-tiba menyerangku tanpa alasan yang jelas.

Mengikuti naluri, aku berjalan ke arah lemari baju. Memilah benda tersebut diantara tumpukan pakaian yang lainnya. Ku raih sebuah handuk berukuran sedang berwarna biru tua lalu mengangsurkan padanya yang masih sibuk melepaskan diri dari kain batik jawa bermotif nagasari.

"Mandi dulu sana biar mukanya lebih enak dipandang," instruksiku mengawali pembicaraan diantara kami.

Dia yang awalnya masih larut dalam kesibukannya, mau tidak mau mendongakkan kepala untuk menatapku. Wajahnya sih datar seperti jalanan lurus tanpa tanjakan, tapi mata legamnya berkata sebaliknya. Dia melotot tajam, tidak terima dengan ucapanku yang secara tidak langsung baru saja mengibarkan bendera untuk memulai perang. Yah, sudah ku bilang bukan? Berdebat dengannya itu memiliki keasyikan tersendiri saat kata-kataku berhasil melukai ego lelakinya.

"Gimana kalau kamu aja yang mandiin? Aku butuh bantuan seseorang buat ngilangin daki di punggungku," ucapnya santai.

"Perlu aku panggilin Kafka atau Alfa?" Tawarku seolah tidak paham kemana dia akan menggiring arah pembicaraan kami.

Ku tarik kembali tanganku yang semula terjulur di udara lalu melipatnya di depan dada. Ada satu hal yang baru aku sadari setelah sepersekian detik memperhatikan wajahnya, bulu-bulu halus yang sempat tumbuh kini sudah tidak ada lagi. Dia sudah mencukur bersih jambang yang membuatnya mirip seperti seorang teroris.

"Ngapain minta bantuan sama mereka kalau kamu ada. Gunanya istri kan bukan cuma sekedar nemenin suami di atas ranjang. Tapi buat hal-hal sederhana kayak gini terkadang juga dibutuhkan."

Ngeles lagi ujung-ujungnya.

"Bilang aja modus. Nggak usah berlagak sok dakwah, gitu!"

"Yaelah. Model-model kayak kamu nggak usah dimodusin juga bakalan datang sendiri ke kandang macan," gelaknya terdengar menyebalkan.

Dengan cepat ku lempar handuk tepat mengenai wajahnya. Bukannya meradang, justru tawa renyah itu semakin menjadi-jadi sampai-sampai dia harus memegangi perutnya tersebut.

Sambil berkacak pinggang aku membuka mulut, "udah sana cepetan mandi, habis itu istirahat. Aku nggak mau ngambil resiko ngurusin orang pingsan di bandara karena kecapean," ku kibaskan tangan ke udara, memberikan isyarat padanya agar lekas menuruti ucapanku.

Dengan sok manisnya dia membungkukkan badan dengan melipat satu tangan di depan perut, bergaya layaknya seorang pangeran yang patuh pada perintah sang putri seperti adegan yang ada di dalam film barbie kesukaan Haruka.

"Baik istriku, sayang," dilanjutkan dengan tersenyum manis sekali.

Aku hanya meresponnya dengan gelengan, masih tidak mengerti dengan sikapnya yang terlalu sering berubah-ubah. Terkadang lembut, tapi sedetik kemudian beralih menggebu-gebu dengan tingkat emosi yang tidak cukup baik untuk dikendalikan.

Unforgettable MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang