29. Wendy X Joy

327 34 0
                                    

Title: Remedy
-------

Title: Remedy-------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

3rd Person POV

*tap* *tap*

Joy mengerang tertahan, membuka matanya yang semula terperjam untuk sekedar melihat jam yang berada di meja sebelah kanan tempat tidurnya sesaat setelah mendengar suara orang menapakkan kaki di balkon apartemen miliknya.

"Pukul 19.00."

Tak sedikitpun berniat memastikan apa gerangan yang berada di luar apartemennya, ia lebih memilih memejamkan matanya lagi.

Toh dia sudah dapat menebak siapa yang dengan seenaknya mampir ke apartemen miliknya yang berada di lantai 12 itu. Siapa lagi jika bukan Wendy, vampire tradisional merangkap kekasihnya.

Benar, vampire tradisional yang hanya bisa berkeliaran di luar ruangan saat matahari sudah kembali ke peraduan.

Dan entah mengapa akhir - akhir ini Joy membenci vampirenya itu. Sebenarnya bukan membenci, hanya saja. Ada hal yang membuat Joy malas untuk menemui Wendy.

"Kau sudah tidur?"

Joy hampir saja terjatuh dari baringannya karena sangat terkejut dengan suara Wendy yang tiba - tiba itu.

Ia lupa, serapat apapun ia menutup akses masuk menuju apartemennya maka Wendy dengan sangat mudah dapat membobolnya.

"Aku lelah."

Tak ada sahutan dari Wendy, tapi Joy dapat merasakan kasur di sisi kirinya bergerak menurun. Pertanda Wendy baru saja berbaring di sana. Mengelus kepala wanita pujaannya sembari menyanyikan beberapa lagu pengantar tidur. Mata Wendy juga tak pernah berpaling dari Joy, wanita terkasihnya itu.

Berdecih pelan, Joy membalik tubuhnya untuk menghadap pada vampire kesayangannya itu. "Bagaimana aku bisa tidur jika kau memandangiku seperti itu terus?"

Wendy mengedipkan matanya bingung, "biasanya juga seperti itu kan?" Batin vampire bersuara merdu itu bingung.

Pun begitu, makhluk tak berjantung itu lebih memilih merengkuh Joy dalam dekap dinginnya. Menepuk - nepuk punggung wanitanya dengan sabar.

Namun bukannya tidur, Joy justru merasa resah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya dan ingin sekali ia keluarkan saat ini juga.

Menyadari keresahan wanita dalam pelukannya, Wendy memutuskan membuka suara terlebih dahulu. "Kau ingin bicara apa?"

"Ha?" Hanya satu kata yang mampu terucap dari mulut Joy.

Ia tahu betul bahwa Wendy tak memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain. Jadi dari mana vampire ini tahu jika ada yang sedang mengganjal di kepalanya?

Wendy terkekeh pelan, menggerakkan telunjuknya berputar - putar di depan wajah Joy. "Raut wajahmu mengatakan semuanya, seperti gunung yang siap meletus kapan saja."

Menggeleng pelan, Joy juga mengubah posisi tidurnya menjadi telentang menghadap langit - langit di kamarnya.

"Hanya lelah."

"Kalau begitu tidurlah, aku ada di sini menemanimu." Sahut makhluk penghisap darah itu ringan, sembari menyangga kepalanya dengan tangan kiri agar dapat memandang wajah Joy.

Jika diperhatikan lebih lama lagi, maka bisa saja dari mata Wendy itu akan muncul kembang api berbentuk hati. Saking memujanya ia pada sosok di sampingnya itu. Sosok yang katanya mampu membawa matinya untuk kembali hidup, sosok yang mampu membangunkannya dari mimpi buruk dan menyelamatkan hidupnya oh salah, matinya.

"Aku lelah dengan hubungan kita, Wen."

Hening, Joy menatap penuh arti pada Wendy. Sedangkan Wendy, hanya mampu membuka mulut dan matanya lebar - lebar karena terkejut. "Kenapa tiba - tiba sekali?"

Benar, tiba - tiba. Ini kali pertama Joy berkata bahwa ia lelah dengan hubungan asmara mereka setelah hampir lima tahun bersama. Tak salah bukan jika Wendy terkejut?

Joy menggeleng pelan, menghadapkan tubuhnya kembali pada Wendy. Menangkup pipi pucat dan dingin itu dalam telapak hangatnya. Membuat si vampire memejam karena terlalu nyaman.

"Akupun tak tahu, hanya saja aku lelah. Aku merasa seperti aku ini simpananmu, tak dapat menujukkan wujudmu pada teman - temanku. Dan kau? Hanya menemuiku saat malam."

Hening sejenak, digunakan Joy untuk menarik nafas dalam sebelum kembali berucap. "Bahkan parahnya aku ini merasa seperti pelacur untukmu."

Seketika Wendy mendudukkan tubuhnya, menggenggan erat tangan Joy. "Hei tidak begitu, jangan pernah berpikiran begitu."

"Aku yang menjalani Wen, dan aku merasa begitu."

Sembari mencari kata - kata yang tepat, Wendy menarik tangan Joy agar duduk berhadapan dengannya. "Baiklah maafkan aku, tapi kau tahu sendiri kan bagaimana kondisiku?"

Joy diam, memalingkan wajahnya menatap pada rembulan yang dengan malu - malu mengintip pada celah jendelanya.

Kemudian kata - kata yang tak terduga meluncur begitu saja dari mulut wanita cantik itu, "aku bahkan merasa bahwa bertemu dan mencintaimu adalah sebuah tragedi."

Mulut Wendy kelu, karena jika dipikir - pikir memang ada benarnya juga. Seorang manusia biasa, bertemu dengan sekorang vampire yang kapan saja bisa mengambil nyawamu. Sungguh tragis bukan?

"Tapi di sisi lain aku juga merasa bahwa kau adalah media yang dikirim Tuhan untuk menjadikanku pribadi yang lebih baik lagi, untuk perbaikan dalam hidupku."

Masih tak menyahuti, Wendy masih bingung harus merespon bagaimana. Pun tak tahu juga harus berkata apa.

Sampai Joy kembali berceloteh manja, "kurasa aku sudah gila, mencintai seorang vampire yang mana merupakan makhluk abadi sedalam ini. Bahkan aku rela memberi hidupku untukmu, Wen."

"Tapi Joy, bagiku kau adalah kejelasan. Kejelasan mengapa aku harus bertahan dalam matiku yang entah sampai kapan ini. Setidaknya aku sekarang mempunyai satu alasan yang jelas mengapa aku harus bertahan walau menyiksa, dan alasan itu kau Joy."

Akhinya Wendy membuka suaranya setelah beberapa saat merenung. Membuat hati Joy sedikit menghangat saat mendengar ucapan kekasihnya itu.

"Kau tahu bukan bahwa kulitku beku? Bahkan dahulu, di dalam sini juga beku, Joy." Lanjut Wendy sembari menujuk ke arah dadanya.

"Tapi aku bersyukur saat kau datang, dan dengan tiba - tiba menyentuhku juga jiwaku. Membuatku hangat dengan cintamu. Dan dalam matiku ini aku baru pertama kali merasakan hidup setelah bersamamu."

Kali ini Joy yang terdiam, sembari menatap dalam pada manik kelam milik Wendy. Kedua sudut bibirnya juga sudah terangkat menuju arah berlawanan membentuk sebuah senyum yang dapat memikat siapa saja. Tentunya membuat Wendy semakin jatuh dalam jurang pesona itu tanpa tahu caranya untuk naik.

"Tapi Wendy, bisakah aku menjadi abadi sepertimu? Karena aku ingin selalu bersamamu."

Wendy terkekeh pelan, kemudian mengacak rambut wanitanya. "Kau abadi Joy, menetap selamanya di dasar hatiku. Selalu menemaniku dalam matiku."

"Tap-"

Belum sempat Joy menyelesaikan kalimatnya, telunjuk dingin milik Wendy sudah bertengger dengan manis di atas bibirnya.

"Untuk apa memiliki ragamu jika hatimu bukan untukku? Lebih baik aku kehilangan ragamu tapi hatimu sudah kau serahkan sepenuhnya untukku. Bukankah keabadian yang sesungguhnya adalah sebuah cinta?"

Joy tersenyum manis, mendekatkan wajahnya pada sisi wajah Wendy. Kemudian berbisik lembut, "ya, karena saat mencintai makhluk abadi maka cintamu juga akan abadi."

Only One ShotWhere stories live. Discover now