Part 50

53.4K 2.6K 33
                                    

Trey:

Sudah pukul dua dinihari, dan aku masih belum bisa memejamkan mataku. Padahal sesuai rencana, besok operasi pencangkokan akan dilakukan.
Gelisah. Itulah yang kurasakan sekarang.


Tanpa Kayna keadaan ini terasa jadi lebih buruk lagi. Berulang kali kupandangi ponselku yang diberikannya kemarin. Sulit rasanya untuk menahan kerinduan ini, mencegah melakukan hal bodoh semisal membangunkannya lalu memintanya datang kesini ditengah malam buta.
Padahal aku sendiri yang memintanya menemani Via beristirahat, tapi sekarang aku justru kesepian.


Ruangan kamar yang sepi benar-benar memperburuk suasana hatiku.
Sulit untuk mencegah pikiran-pikiran negatif masuk kedalam benak dan hati, menyelinapkan rasa gundah menyesakkan yang melahirkan rasa takut akan keadaan ini.


Ruang yang sepi, dinding yang putih, suasana senyap tak terdengar suara apapun selain gerak jarum jam yang berdetak halus membuang waktuku yang berharga dalam kekosongan tak berguna.


Tak tahukah waktu, kalau besok mungkin aku sudah tak ada disini lagi?
Besok, atau besoknya lagi aku mungkin berbaring ditempat lain, tempat yang tidak seterang ruangan ini, namun membuat hati sedih karena tak mungkin Kayna bisa menyertaiku tinggal disana.


Bayangan perbukitan tempat makam keluarga Naraditya berada, diputar oleh benakku.
Keringat dingin membanjiri punggung dan dahiku.
Jantungpun berdetak lebih kencang dari seharusnya.

Kayna.
Aku butuh Kayna sekarang. Tanpanya aku benar-benar merasa rapuh. Sesak tak terperi hadir mengganggu, saat tengah memikirkan hal itu pintu ruang perawatanku terbuka dan seseorang yang kurindui muncul dari depan pintu.


Suatu rasa yang hanya bisa dikatakan sebagai kelegaan menyeruak dihati. Sebelumnya aku tidak pernah menyadari alasan aku mampu bertahan tanpanya, tapi aku memahami dengan mudah kelegaan yang timbul karena kehadiran Kayna.
“Kamu belum tidur?” tanyanya sambil melangkah mendekat kepadaku, sesampainya didekatku cepat kutarik tubuhnya kedalam pelukanku.
“Aku rindu kamu” jawabku pelan, aku bisa merasakan gerakan bibirnya yang menempel dibahuku “Lalu kenapa kau bisa datang kesini malam-malam begini?Via bagaimana?”

“Waktu aku pergi, Via sedang tidur sama oma dan opanya.”
“Lalu kamu tinggalin dia dan datang kesini?, Kayna, kamu juga perlu cukup beristirahat”
“Aku justru enggak bisa beristirahat dengan tenang di rumah, rasanya aku kayak dengerin kamu manggil-manggil aku berulang kali Trey.”

Aku terdiam sambil menatap kedalam wajahnya. Benarkah dia bisa merasakan panggilan gelisahku. Akhir-akhir ini rasanya kami memang bagai satu jiwa yang sama dalam dua tubuh yang berbeda, apa yang kurasakan dan kuinginkan dia dapat dengan mudah mengetahuinya.
Mengapa hal itu terjadi justru disaat-saat seperti ini? Saat dimana kematian bisa dengan gampangnya membawaku pergi untuk selamanya.


Demi tuhan, aku tak tahu sampai kapan takdir buruk ini mengikuti kami.
“Trey, kamu harus tidur.” Dia membantuku untuk merebahkan tubuhku kembali keranjang rumah sakit, tapi aku justru menarik tubuhnya lebih erat kedalam kekuasaan lengan-lenganku.
“Cium aku Kay?”pintaku penuh harap.
“Cium!” serunya kaget, matanya sampai melebar “tapi kondisi kamu sedang enggak bagus sayang … lagipula aku enggak tahu apa aku bebas vi…hmmmmffftt..”
Kuinterupsi kata-katanya dengan kehendak lelakiku.

Sekali saja.
Sekali saja, boleh aku egois padamu kan, Kay?.

Aku memperdalam kecupanku yang liar, posesif dan mendominasi gerakannya. Bibir Kay bergerak kewalahan mengikuti alur yang dibangun inderaku. Tapi kedua lengannya melingkar dileherku dengan erat, seakan-akan memang tidak menginginkan semuanya berakhir saat ini.

Dalam getar gairah aku memohonkan satu-satunya keinginanku terhadap-Nya.
Aku ingin bisa terus merasakan ini.
Jantung yang berdetak setiap kali kami bermesraan ataupun kebahagiaan tanpa henti karena dia hadir setelah lama kutunggu dan kucari.
Aku tak rela kalau harus menghilang dari sisi Kayna terlalu cepat, jika itu artinya memang berjuang maka aku akan melakukannya.
Berjuang untuk hidup.
Berjuang untuk cinta.
Berjuang untuk diri sendiri.

*****

“Sudah waktunya” Rida membisikkan itu padaku.


Perlahan aku mengangguk lalu menatap pada Kay yang duduk disisi tempat tidur sambil menggenggam jemariku, beberapa perawat mendatangi kami dan meminta Kay untuk bergeser, dengan tidak rela Kay pun melakukannya, dan yang kulakukan hanyalah mencari ketenangan lewat bahasa pandangan yang dilontarkannya untukku.


Para perawat melakukan persiapan padaku, tetapi aku tetap tidak memperdulikan apa yang mereka lakukan.
Sekejappun aku tidak ingin mengalihkan pandangan dari Kayna, begitupun juga dirinya. Suara-suara terasa jauh dari telingaku, dan aku tau karena aku telah mengacuhkan hal itu dengan mengunci tatapanku pada istri tercinta.


Derak suara tempat tidur yang didorong terdengar menyertai kepindahanku dari ruang perawatan kekamar operasi.  Begitu pintu kamar terbuka dari balik kaca kulihat nyaris seluruh keluarga naraditya ada disana, namun mataku hanya mampu tertuju pada wajah milik malaikat kecilku.
Livia melambaikan tangannya dari balik kaca dengan wajah muram, matanya terlihat berkaca-kaca.


Kucoba untuk memperlihatkan senyumanku padanya, mata bulatnya menyiratkan pandangan sayang untukku.


Livia adalah malaikatku. Kesedihannya adalah dukaku, kebahagiaannya adalah bahagiaku. Dia adalah alasan terbesarku untuk bertahan. Aku selalu merasa kuat setiap kali memikirkannya, dan kini kekuatan itu kurasakan mengalir dijaring-jaring pembuluh darah, membuncahkan pengharapan yang besar untuk satu kehidupan lain yang menunggu diperjelas beberapa jam lagi setelah operasi pencangkokan berhasil dilakukan.


Orang bilang ikatan batin antara seorang ayah ke putrinya adalah ikatan batin terkuat di dunia.
Aku percaya dan meyakininya.


Ah! Betapa banyaknya beban dunia yang masih mengikatku ditempat ini.
Semoga aku cukup kuat untuk bertahan hidup hanya dengan memikirkannya. Remasan jemari Kayna membuatku mengalihkan tatapan kembali padanya.

“Kau siap?” dia bertanya ragu.
Perlahan kubalas pertanyaan itu dengan senyum dan anggukan.
“Kalau begitu sudah waktunya.”
“Oke” kemudian kurasakan ranjang dorong yang kunaiki berputar dan aku baru sadar kalau kami sudah sampai didepan kamar operasi, kutatap Kay sekali lagi “Sampai ketemu segera ya sayang, jaga diri kamu baik-baik.”


Mata istriku terlihat berkaca-kaca meski demikian dia masih tetap bisa memberikan satu senyum menawannya untukku
“Bodoh! Katakan itu untuk dirimu sendiri Trey”
“I Love U Kay” suaraku terdengar lirih ditelingaku sendiri.
“Aku juga Trey.”


Suara pintu ruang operasi terbuka terdengar keras sekali. Kereta yang bergerak masuk memisahkan tautan jemariku dari milik Kayna, begitu itu terjadi kupejamkan mataku dan mencoba memusatkan seluruh pikiran dalam pola meditasi ringan yang kupelajari sejak lama untuk menentramkan pikiran dan hati bila merasa terlalu penat dan lelah.
Dalam ketenangan pikiran, hatiku berharap sepenuhnya supaya waktu cepat berlalu dan operasi ini segera berakhir.


TBC



Playboy Monarki The Series - MermaidiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang