Pena 63

1.3K 28 1
                                    

"Cu Siau hong, kau memang cerdik, seharusnya aku membunuhmu sedari dulu."

"Akupun merasa heran, mengapa kau bersikap begitu baik kepadaku? Mengapa kau tidak membunuhku?"

Toa sianseng menghela napas panjang, sesudah mendengar perkataan ini katanya kemudian:
"Aku sayang dengan kecerdikanmu dan kepandaian silatmu yang lumayan dan ingin aku pergunakan."

"Tiada manusia di dunia ini yang tidak dapat dipergunakan, hanya tergantung cara dan kemampuan yang kau gunakan."

"Bun Hong, apa yang dikatakan Cu Siau hong memang benar dalam dua belas jam mendatang, kita harus mempunyai suatu akhir, asalkan kalian mempunyai suatu akal untuk meloloskan diri dari kematian, seharusnya kalian pergunakan dengan sebaik-baiknya untuk secepatnya meninggalkan tempat ini."

"Kau masih memiliki keyakinan untuk menangkan pertarungan ini?" jengek Bun Hong.
"Tentu saja! Aku tak pernah mengenal apa artinya suatu kekalahan atau kegagalan"
"Cu kongcu" Bun Hong segera berseru, "Ayo maju, kita tak boleh member kesempatan lagi kepadanya.

Tiba-tiba Toa sianseng mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, mendadak tirai pintu terbuka dan muncul dua orang yang berjalan masuk ke ruangan dengan langkah pelan.

Mereka adalah seorang kakek dan seorang pemuda, yang kakek berambut putih sedang yang muda baru berusia enam tujuh belas tahunan.
Cu Siau hong tidak kenal dengan kedua orang ini, dia tidak memikirkan di hati atas kehadiran kedua orang itu yang seperti kakek dan cucu, tapi melakukan perjalanan bersama-sama.

Berbeda sekali dengan Bun Hong, paras mukanya berubah hebat.
"Mengapa kalian pun sampai pula disini?" tegurnya dengan suara agak gemetar.
Dengan cepat Cu Siau hong meningkatkan kewaspadaannya, orang-orang yang dikenal Bun Hong sudah pasti bukan manusia sembarangan.

Terdengar kakek berjenggot putih itu tertawa dingin, kemudian mengejek:
"Tempat yang dapat dikunjungi Toa sianseng, selalu kami kunjungi pula.."
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:
"Ji sianseng, apakah kau telah mengkhianati Toa sianseng?"

Sementara itu Cu Siau hong sedang berkata pula:
"Nona Bun, mereka berdua adalah..."
"Lau sian siang mo (sepasang iblis tua muda), pernah mendengar nama mereka?" sela Bun Hong.

Dengan cepat Cu Siau hong menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Pengalamanku rendah pengetahuanku pun picik, belum pernah kudengar nama dari kedua orang ini"

Sambil tertawa kakek berjenggot putih itu segera berkata:
"Usiamu masih amat muda, tentu saja belum pernah mendengar nama julukan bapakmu"
Dua orang manusia mengaku sebagai iblis, kalau sudah begini, sudah pasti mereka bukan manusia baik-baik lagi" jengek Cu Siau hong cepat.

"Cu kongcu, jangan kau anggap si bocah muda itu masih muda belia, dia bukan bocah lagi, kalau dihitung usianya mungkin masih jauh diatas usia gabungan kita berdua"

Kakek berjenggot putih itu segera berseru sambil tertawa:
"Hei bocah muda, sudah mendengar belum, ada orang sedang memujimu"
"Memujiku?"
"Betul, memujimu"

Bocah muda itu tertawa, "Tua Bangka, aku lihat kau lebih tua dan berbudi luhur, lebih baik kau maju saja lebih dulu"
"Hei..masa kau lupa, kalau ada urusan masa yang muda harus melaksanakan lebih dulu?"

Cu Siau hong yang mendengarkan pembicaraan tersebut menjadi keheranan, pikirnya:
"Tadi mereka berdua masih berebut untuk turun tangan lebih dahulu, sekarang mereka malah berubah pikiran dengan saling dorong mendorong"

Sementara dia masih termenung, Bun Hong berbisik lirih:
"Cu Siau hong suruh kedua orang anak buahmu itu keluar dari sini..."
"Mengapa?"
"Suruh mereka member kabar kepada sahabat-sahabatmu"
"Baik ! Ong Peng, Seng Hong, cepat kalian member kabar kepada Kian tayhiap!"
"Apa yang harus kusampaikan?" tanya Ong Peng.
"Keadaan di tempat ini telah terjadi perubahan yang sangat besar"
"Kongcu harus baik-baik menjaga diri" seru Ong Peng dan Seng Hong kemudian.

Pena Wasiat (Juen Jui Pi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang