Pena 44

3.2K 39 2
                                    

HEE HAY segera melompat bangun, sambil berseru:
"Kongcu, kau tak usah kuatir bagiku, setelah beristirahat selama berapa hari dan makan pil mustajab lukaku sudah sembuh tujuh delapan bagian, sekarang aku sudah dapat turun tangan untuk melakukan pertarungan"

Dengan sorot mata yang tajam Cu Siau hong memperhatikan wajah Hee Hay lekat‐lekat, kemudian dengan perasaan kuatir dan perhatian penuh ia berkata:
"Hee Hay, luka yang kau derita tidak ringan, selama berapa hari ini kau pun tidak beristirahat secara baik-baik, untung masa depaa masih panjang, kita tak lebih cuma pejuang paling depan saja untuk menegak kan keadilan dan kebenaran dalam dunia persilatan, tapi nampaknya pihak lawan sudah mengetahui jelas keadaan kita dan tampaknya mereka berusaha untuk membunuh kami sampai mati. hal ini membuktikan kalau pihak lawan memiliki ketajaman ma-ta dan pendengaran yang luar biasa, sekar-ang kita tak lebih baru mulai dari awal, selanjutnya entah berapa banyak perta-rungan sengit yang bakal dilangsungkan, buat apa kau mesti mempersoalkan kesempatan yang satu kali ini?"
'Kongcu, aku benar-benar berada dalam keadaan baik" seru Hee Hay lagi.
'Cukup baik pun harus tinggal disini dan beristirahat, jangan kuatir, kalian berem-pat pun tak bakal menganggur, kita gunakan saja hutan ini sebagai tempat persembu-nyian, kalian harus berusaha mempersiap kan sedikitjebakan diseputar hutan ini"
"Hamba siap menerima perintah"
"Kongcu" bisik Toan San pula, "sebelah timur menempel pada bukit, kita bersembunyi di sudut tenggara saja selain dapat digunakan untuk melawan musuh, juga tersedia jalan mundur"
"Baik, carilah sebuah tempat yang tenang agar Hee Hay bisa beristirahat dengan tenang, Ia hanya baru bisa sembuh tiga sampai lima hari lagi, tapi jika harus bergerak sekarang, luka lama yang belum sembuh bisa bertambah parah, bila sampai begitu niscaya dia akan menjadi cacad seumur hidup. . ."
'Hamba akan menjaganya baik-baik, kongcu begitu menaruh perhatian kepadanya, sudah sepantasnya bila dia tahu menyayangi diri sendiri"
Hee Hay tidak berbicara lagi, tapi air mata telah membasahi sepasang matanya, karena terharu.
Sambil tertawa Cu Siau hong berkata lagi: "Sekarang pergilah kalian mengatur persiapan, sedang akupun harus ke sana untuk menengok keadaan disitu"
"Hamba sekalian menghantar keberang-katan kongcu"
"Tak usah" Cu Siau hong mengulapkan tangannya sambil tertawa.
Kemudian dengan mengajak Ong Peng dan Tan Heng berangkatlah anak muda itu meninggalkan tempat tersebut.
Memandang bayangan punggung Cu Siau hong yang menjauh. Hee Hay menghela napas panjang, katanya: Toan lotoa, kongcu benar-benar baik terhadap kita, sungguh membuat hati orang terharu"

Toan San tertawa.
"Majikan begitu baik terhadap kita, terpaksa kita hanya bisa membalas dengan tubuh kita dan membantunya dengan penuh tenaga"
"Baik! Bisa berbakti kepada manusia macam kongcu, sekalipun benar-benar harus mati juga dapat mati dengan mata meram"
'Loji sekarang beristirahatlah baik-baik, Kongcu begini menyayangi kita, sudah sepantasnya kalau kita pun tahu menyayangi diri sendiri"
"Aku bisa baik-baik merawat diri, sekarang mari kita pikirkan bagaimana menyusun jebakan disekitar hutan ini"
'Loji, berbaring dan beristiratlah! Serahkan saja persoalan ini kepada kami"
Dari empat buah rumah penginapan yang ada dikota kecil itu, meski besarnya hampir sama, tapi rumah penginapan Sin kang terhitung paling megah dan mewah.
Dalam rumah penginapan Sin kang ter-dapat sebuah ruangan yang sangat besar, waktu itu banyak orang berada dalam ruangan tersebut, cahaya lampu gemerlapan menyinari seluruh penjuru.
Dalam ruangan itu tersedia lima buah meja makan, meja makan tersebut dibentuk model bunga bwe, ditengahnya terdapat sebuan meja yang ditempati empat orang sedang empat meja lainnya ditempati masing-masing dengan delapan orang.
Hidangannya amat mewah, lagipula setiap orang sedang bersantap dengan riang gembira. Ruangan itu dibangun sangat aneh, letaknya berada di dalam halaman lapisan kedua..
Pintu gerbang di depan sudah ditutup rapat, padahal sekarang belum tiba waktunya pintu penginapan ditutup.
Tapi Keramaian yang diselenggarakan dalam ruangan itu justru baru saja dimulai. Mendadak seorang yang berdandan pelayan berjalan masuk ke dalam ruangan dan membisikkan sesuatu kepada seorang kakek setengah tua yang duduk di meja bagian tengah.
Kakek itu memakai jubah panjang berwarna abu-abu, memelihara jenggot bercabang lima dan nampaknya sangat keren dan gagah.
Tampak dia manggut-manggut seraya menyahut: "Baik! Suruh mereka masuk kemari"
Pelayan itu mengiakan dan mengundurkan diri dari situ.
Tak lama kemudian, ia muncul kembali sambil membawa dua orang gadis yang cantik jelita, mereka berjalan masuk dengan langkah yang amat lambat sekali,
Dua orang gadis itu mengenakan gaun berwarna hijau yang seorang memeluk alat Pie Pa. sedangkan yang lain memegang seruling kemala.
Dua orang nona yang mengenakan baju berwarna hijau ini rata-rata berwajah cantik, tapi kalau diperhatikan dengan seksama dapat diketahui kalau mereka berdua sudah melakukan suatu penyaruan yang amat seksama.
Pupur dan gincu hampir menutupi paras muka mereka yang sesungguhnya. Kedua orang ini tak lain adalah hasil penyaruan dari Lik Hoo serta Ui Bwe. "Sedangkan Ang Bo tan tak nampak diri.
Orang berbaju abu-abu itu memperhatikan mereka berdua beberapa saat, mendadak sambil tertawa tergelak serunya:
'Kemarilah kalian berdua, coba akan kupandang wajah kalian"
Dengan wajah tersipu-sipu Lik Hoo dan Ui Bwe maju mendekat, lalu setelah memberi hormat bisiknya: "Toaya !"
"Ehmm, apakah kalian adalah dua bersaudara?" "Kami bersaudara misan"
"Aku adalah piau ci, dan dia adalah piau moay." Orang berbaju abu-abu itu tertawa.
"Siapa namamu?" tanyanya lagi.
"Siau li bernama Siau hiang"
"Ooah,.. siau hiang, seharum orangnya" goda orang itu lagi tertawa.
"Aaaah toaya, terlalu memuji"
"Baik" kata orang berbaju abu-abu itu selanjutnya 'kalau dilihat dari alat pie-pa yang kau bawa, tentunya kalian bisa membawakan beberapa buah lagu bukan?"
"Sejak kecil siau li sudah berkelana ditempat luar, mengikuti ibu mengembara kemana-mana, tentu saja bisa membawakan beberapa lagu, asal toaya senang dan sudi memberi berapa mata uang, kami sudah merasa senang'
Orang berbaju abu-abu itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhhh. . . haaaahhh. . . haaaahhh. . bocah perempuan ayu, toaya tak punya apa-apa, yang kupunyai cukup beberapa keping uang perak, malam ini kalian berdua bersaudara misan benar-benar telah berjumpa dengan dewa harta, baiklah sekarang bawakan dulu beberapa buah lagu, asal suara kalian merdu dan enak didengar, toaya pasti akan memberi persen yang amat besar"
Lik Hoo memandang sekejap ke arah saudaranya, lalu berkata:
'Piau moay, nasib kita sungguh beruntung, kita harus baik-baik menghibur tuan ini."
Dia lantas mengangkat alat pie pa nya dan memetik tali senarnya beberapa kali.
Ui Bwe menempelkan pula serulingnya di ujung bibir dan mulai meniup...
Perpaduan seruling dan alat pie pa segera mengumandangkan serangkaian suara yang merdu merayu.
Setelah lagu pembukaan berakhir, Lik Hoo mulai tarik suara membawakan sebuah lagu yang amat memedihkan hati.
Suaranya yang merdu diiringi perpaduan musik yang indah membuat suasana dalam ruangan seketika berubah menjadi sunyi senyap, nampak setiap orang mengalih-kan perhatian mereka ke arah ke dua orang perempuan itu..
Sekarang mereka baru merasa bukan saja kedua orang gadis ini pandai menyavyi, lagipula paras muka mereka amat cantik dan menawan hati.
Ketika satu lagu telah selesai dibawakan, Lik Hoo berhenti memetik tali senar alat pie pa nya, sedang Ui Bweejuga berhenti meniup serulingnya..
Dengan lemah gemulai Lik Hoo memberi hormat, lalu katanya dengan suara lembut, 'Apabila pembawaan lagu kami jelek dan tak sedap didengar, harap toaya jangan mentertawakan"
Orang berbaju abu-abu itu tertawa terbahak-bahak, dia merogoh ke dalam sakunya. . dan mengeluarkan sekeping siau goan poo (kepingan emas) dan dilemparkan ke atas meja, kemudian ia berkata:
"Nona cantik, coba kau lihat cukup ti-dak?'
Lik Hoo berpaling, dalam sekilas pandangan saja ia dapat melihat kalau kepingan emas tersebut paling tidak berbobot dua tahil lebih.
Ia lantas berlagak seperti terkejut, kemu-dian sesudah termangu-mangu sesaat baru gumamnya: "Toaya, itu kan emas!'
'Uang perak hanya menyesakkan saku saja, selamanya toaya tak pernah membawa barang yang bernilai rendah" Lik Hoo berlagak seperti tersipu-sipu, dia memungut uang emas itu dan menjura. 'Terima kasih toaya!" katanya kemudian, selesai berkata dia membalikkan badan dan berlalu menuju keluar.
'Hei, nona cantik, tunggu sebentar!'. orang berbaju abu-abu itu berseru tiba-tiba. "Toaya, kau masih ada petunjuk apa lagi!" tanya Lik Hoo sambil membalikkan badan'.
'Nona cantik, kalau kau harus menggantungkan hidupmu dengan menjual suara seharian bekerja keras, paling mendapat berapa uang? Lebih baik tinggal disini saja, menemani aku semalam. .Tanggung kau akan peroleh uang perak sebesar kau bekerja selama tiga tahun penuh!"
''Aku... siau li hanya menjual suara, tidak menjual kehormatan!"
'Ooh... hanya menjual suara, tidak menjual kehormatan? Nona cantik, terus terang kuberitahukan kepadamu, toaya sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, aku adalah seorang manusia yang pernah menjumpai badai sebesar apapun, tapi toaya bukan seorang lelaki yang terlalu gemar bermain perempuan, hari ini aku telah tertarik tehadap kepadamu, ini berarti suatu keberuntungan bagimu, apalagi aku toh akan memberi uang kepadamu? Ketahuilah, sekalipun toaya enggan membayar, sekalipun kau punya sayap juga tak nanti bisa lolos dari sini"
"Aaah, seorang tayjin masa akan tertarik kepada seorang manusia rendah? Apakah toaya benar-benar akan tertarik dengan perempuan rendah macam kami ini?.
Pada saat itulah seorang lelaki setengah umur melompat bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat, katanya:
"Nona, cantik, Ciu toako kami telah jatuh hati kepadamu, itu berarti keuntungan bagimu, aku tak percaya sebagai orang yang mengembara sambil menjual suara kalian hanya menjual suara tidak menjual badan'
"Toako "
"Toaya adalah Kau toako kami" tukas lelaki setengah umur itu lagi, "asal kau bersedia tinggal disini, siapa tahu besok kami sudah memanggilmu sebagai enso"
'Soal ini .... siau ii tak berani menerimanya" kata Lik Hoo amat lirih..
Kembali lelaki setengah umur itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh .. haaahhh. . haaaahhh ... tak berani menerimanya? Jadi kau bersedia untuk tinggal disini?" "Aku. . aku.."
Seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan yang berada disisinya mendadak menimbrung:
"Saudara Sik Jit, aku lihat kau memang kebangetan, bagaimanapun orang toh seorng nona cilik, tidak menolak berarti setuju, masa kau hendak memaksa orang untuk berterus terang..'
Lelaki yang dipanggil Sik Jit itu nampak tertegun kemudian ujarnya:
'Betul juga perkataanmu itu, nona cantik, kemari duduklah disamping toako kami."
Dia lantas menarik tangan Lik Hoo dan pelan-pelan menuntunnya ke samping lelaki berbaju abu-abu itu.
Dengan setengah berjalan setengah diseret, Lik Hoo mengikuti kemauan lelaki tersebut, dengan kepala tertunduk rendah hanya menggunakan sedikit tenaga saja, Sik Jit telah menyeret tubuh Lik Hoo dan mendudukkannya ke sisi tubuh lelaki berbaju abu-abu itu.
Lelaki berbaju abu-abu itu nampak gembira sekali, sambil memegang wajah Lik- Hoo berbentuk bulat telur itu. ujarnya sambil tertawa:
"Nona cilik, lohu tak bakal menyia-nyiakan dirimu'
Dengan wajah sedih dan murung, Lik Hoo berkata:
"Khu ya, aku menuruti kemauanmu, cuma aku harap kau sudi melepaskan piau moay ku itu" Kembali lelaki berbaju abu-abu itu tertawa tergelak.
"Haaahhh. . . haaaahhh. . . haaahhhh. . . baik. baik .."
Dengan memperkeras suaranya dia melanjutkan.
"Harap kalian dengarkan perkataanku baik-baik, memandang diatas wajah cantik enso kalian, lepaskan adik misannya"
Mungkin orang she Khu ini merupakan pemimpin yang sangat berpengaruh dalam kelompok ini, begitu ia berseru ternyata tak seorang manusiapun yang berani membantah.
Ui Bwee dengan membawa seruling kemala nya segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Memandang gadis cantik disisinya yang makin dipandang makin menarik hati itu, mendadak orang berbaju abu-abu itu bangkit berdiri lalu sambil menggenggam ta-ngan Lik Hoo, serunya berulang kali
"Perjamuan sudah bubar, perjamuan sudah bubar, waktu untuk beristirahat!"
Lik Hoo segera diseret masuk ke dalam sebuaht ruangan indah ditengah halaman gedung.
Seolah-olah sudah kebelet dan tak nanti menunggu lebih lama, begitu masuk ke dalam pintu, orang berbaju abu-abu itu segera melepsaskan semua pakaian yang dikenakan.
Melihat keadaan tersebut sambil menghembuskan napas panjang Lik Hoo segera berkata. "Tutuplah pintu itu lebih dulu!"
Mungkin saking bernapsunya, dia sampai lupa untuk menutup pintu.
Orang berbaju abu-abu itu segera tertawa jengah, dia berpaling dan merapatkan pintu besar.
Cepat amat gerakan tubuhnya, hanya sekejap mata sebagian besar pakaian yang di kenakan telah dilepaskan semua hingga kini tinggal sepotong celana dalam yang amat minim!.
Lik Hoo sangat tenang, juga pandai menahan diri, sebab adegan semacam ini sudah terlampau sering dij u m pa i.
Mungkin kecantikan wajah Lik Hoo membuat dia merasa malu sendiri, tiba-tiba serunya sambil tertawa. "Nona Hiang, hayo kemarilah!'
Kemudian dia melompat naik ke atas pembaringan, menarik selimut dan ditutupkan keatas tubuhnya.
Lik Hoo meletakkan alat pie pa tersebut keatas meja, kemudian pelan-pelan berjalan mendekati
pembaringan, melepaskan tusuk konde dari kepalanya hingga rambutnya ter urai ke bawah dan berkata:
~Khu toaya, siapa sih namamu?'
'Khu Piau!'
Lik Hoo duduk ditepi pembaringan dan membelai dada Khu Piau dengan lembut kembali ujarnya.
'Kalian benar-benar bernyali besar, berbuat semena-mena seenak hati, berani benar menahan aku disini secara paksa'
Khu Piau tertawa terbahak-bahak:
'Haaaahhh...haaahhh...haaaahhh... bernyali besar? Semua perbuatan kami rata-rata bernyali besar, berpuluh kali lipat lebih nekad daripada perbuatanku sekarang."
"Piau moay ku bisa jadi akan mengadukan persoalan ini ke pengadilan, apakah kau pun tidak takut" sela Lik Hoo.
'Mengadukan kepada pengadilan?" Khu Piau segera tergelak, "baik, biarkan saja dia mengadukan persoalan ini, bila aku orang sge Khu tidak memiliki kemampuan apa-apa, masa berani menahanmu disini?"
"Ooh...? Kalau begitu kalian benar-benar tidak takut langit tidak takut bumi, apakah di dunia ini benar-benar tak ada orang yang kalian takuti?"
"Soal ini, aku Khu lotoa tak berani membual, aku juga takut orang bahkan takutnya bukan kepalang."
"Siapakah orang itu?" tanya Lik Hoo tertawa, "mengapa orang itu bisa membuatmu ketakutan setengah mati?"
"Banyak sekali, cuma nona Siau hiang, persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu, malam ini kita harus mencari kesenangan sepuas-puasnya"
"Tangan kanan Lik Hoo yang meraba, menggaruk dan mengelus secara halus ditubuh Khu Piau tersebut kontan saja membuat api birani dari lelaki itu membara dengan cepatnya, bahkan makin lama semakin menjad i.
Tiba-tiba Khu Piau membalikkan badan sambil merentangkan sepasang lengannya siap memeluk tubuh Lik H oo...
Tapi pada saat itulah mendadak ia me-rasa jalan darah Hoo ciat hiat diatas lehernya dicekik orang, kemudian seluruh kekuatan yang ada dalam tubuhnya punah tak berbekas.
Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini sama sekali diluar dugaan Khu Piau, tak heran kalau lelaki tersebut menjadi tertegun.
Sambil tertawa hambar Lik Hoo segera berkata:
"Khu lotoa, seandainya seorang bocah perempuan yang sering berkalana dalam dunia persilatan tidak memiliki sedikit ilmu simpanan, bagaimana mungkin ia berani bergerak seorang diri di tempat umum?"
Khu Piau mementangkan mulutnya ingin berteriak, tapi jari tangan Lik Hoo yang mencekik lehernya makin bertambah kencang.
Terdengar gadis itu berkata lagi:
Khu lotoa, janganlah terlampau tak tahu diri, hari‐hati kalau kurenggut selembarjiwamu." "Kau.. ."
"Aku hendak mengajakmu bertukar syarat!" tukas Lik Hoo.
"Baik, baik... katakan"
"Beritahu kepadaku segala persoalan yang kau ketahui, kemudian aku akan tinggal disini dan melayanimu semalam suntuk, besok pagi aku akan pergi dan kita boleh menganggap masing‐masing pihak sebagai orang asing yang tidak saling mengenal, buka nsaja cara ini bisa memenuhi selera napsumu, kaupun tak usah kehilangan muka, tapi kaupun boleh saja berlagak menjadi seorang enghiong hohan, Cuma kau mesti ingat, asal kutambah tenagaku dalam cekikan ini, niscaya selembar nyawamu akan lari ke alam baka. . ."
'Bila kau berani membunuhku, jangan harap kau bisa pergi meninggalkan rumah penginapan ini"
Kau tak usah menggertak atau mencoba menakut‐nakuti diriku, aku tak akan mempan oleh gertak sambalmu itu, lebih baik pertimbangkan sendiri untung ruginya, baru kemudian mengambil keputusan"
'Walaupun selama ini nyawa Khu Piau sudah berada ditangan Lik Hoo, namun ia enggan menyerah dengan begitu saja, apalagi setelah menyaksikan kulit badan Lik Hoo yang putih bersih dan potongan badannya yang ramping, napsu berahinya kembali berkobar. .Taktahan dia lantas berseru:
~'Benarkah kau bersedia menemani aku semalaman suntuk?" 'Ehmmm "
"Baiklah, apa yang harus kukatakan?"
"Kalian datang dari mana""Perkampungan Pek hoa san ceng!"
"Dimanakah letak perkampungan Pek hoa san ceng tersebut?"
"Perkampungan Pek hoa san ceng di kota Lam yang amat termashur namanya, hampir setiap manusia mengetahuinya"
'Apa kedudukan kalian di dalam perkampungan Pek hoa san ceng?" "Tukang kebun!"
"Siapa nama kepala kampung kalian?~
"Kepala kampung kami bernama Ban Poo san"
*******************************
Halaman 25 s/d 32 Hilang
*******************************
Sik Jit menjerit kesakitan, butiran keringat dingin segera jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Ternyata tenaga totokan tersebut kelewat besar hingga menghancur lumatkan tulang bahunya.
"Hayo bicara, Kalian datang dari mana?" bentak Ong Peng
"Lam yang hu!"
"Lam yang hu sangat besar, seharusnya terdapat suatu daerah tertentu bukan?" "Aku tidak tahu"
Lik Hoo yang berada disisinya segera mengayunkan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Sik Jit terguling‐guling di atas tanah, katanya:
"Tak usah ditanya lagi, aku sudah tahu, mereka berasal dari kota Lam yang perkampungan Pek hoa san ceng"
"Mereka tak mungkin bisa mengetahui kelewat banyak, tapi untuk menghukum orang‐orang inipun merupakan suatu pekerjaan yang memeras otakjuga. . ." kata Cu Siau hong sambil tertawa.
"Paling baikjika mereka dibunuh sampai ludas saja.. ." usul Ong Peng yang berada disampingnya. "Akupun tahu, cuma kita tak boleh berbuat demikian"
Setelah termenung sebentar, dengan suara rendah dia lantas berpesan beberapa patah kata kepada Ong Peng.
Selesai mendengar perkataan itu, Ong Peng nampak tertegun, dia mengawasi wajah Cu Siau hong tanpa berkedip, sampai lama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
"Terlampau berbahaya bukan?" tegur Cu Siau hong.
"Kelewat berani, tapi kelewat aneh pula, hamba akan segera menurunkan perintah"
‐ooo0ooo‐
Tiga hari kemudian, ada serombongan manusia bergerak menuju ke kota Lam yang, inilah keputusan dari Cu Siau hong, dia membawa Sik Jit sekalian memasuki hutan lalu Jit Hou, Su eng, Ong Peng, dan Tan Heng
masing‐masing memilih seorang, mengguna kan caranya masing‐masing untuk mencari tahu keadaan yang sebenarnya, setelah itu, mereka menyaru sebagai orang‐orang itu dan berangkat menuju ke perkampungan Pek hoa san ceng.
Cu Siau hong sendiri dengan membawa Seng Hong, Hoa wan menyusul di belakang, sebaliknya Lik Hoo, Ui Bwe, Ang Bo tan, dan Seng Tiong gak berada dalam satu rombongan.
Masing‐masing dengan suatu penyaruan yang berbeda berangkat menuju ke kota Lam yang.
Kini situasi dalam dunia persilatan sudah amat kritis, maka Cu Siau hong dengan mempergunakan tenaga manusia yang terbatas untuk melakukau suatu tindakan yang paling berani.
Sik Jit dibawah kuasa Ong Peng telah menyanggupi untuk bekerja sama dan membawa mereka kembali ke perkampungan Pek hoa san ceng.
Jelas rencana ini merupakan suatu rencana yang sangat berani dan amat serius.
Perkampungan Pek hoa san ceng terletak dibawah kaki bukit To san di sebelah selatan kota Lam yang.
Perkampungan itu sangat oesar dan luas, tapi sekilas pandangan tak akan menemukan sesuatu hal yang mencurigakan.
Sekeliling perkampungan itu tumbuh aneka ragam bunga yang berwarna warni, sekalipun tak sampai seratus jenis, paling tidak pun ada sembilan puluh sembilan macam.
Dibawah pinpinan Sik Jit, para jago menelusuri sebuah jalan kecil beralas batu putih dan langsung menembusi hutan bunga.
Diam‐diam Ong Peng merasa keheranan, hutan bunga yang begitu besar dan lebar ternyata tidak diberi penjagaan, sepanjang jalan tiada orang yang menghadang perjalanan mereka, tak ada pula yang menegur.
Setelah melalui kebun bunga yang panjangnya dua li, mereka baru sampai dimuka pintu gerbang perkampungan.
Sebuah dinding pekarangan terbuat dari batu hijau yang amat tinggi mengelilingi seputar perkampungan dan memisahkan perkampungan tersebut dari dunia luar.
Dua pintu gerbangpun berada dalam keadaan tertutup rapat.
Ong Peng mencoba untuk meraba pintu itu, terasa olehnya kedua belah pintu gerbang itu terbuat dari besi baja yang tebal dan kuat.
Sik Jit segera maju menghampiri dan mengetuknya beberapa kali, tak lama kemudian pintu gerbang terbuka lebar.
Dua orang centeng yang berpakaian pekerja kasar masing-masing berdiri di kedua belah samping pintu.
Setelah memasuki pintu gerbang, Ong Peng baru dapat menyaksikan wajah yang sebenarnya dari seluruh perkampungan tersebut.
Tampak bangunan rumah sambung menyambung dan terdiri dari ratusan lebih, tapi sekilas pandangan bangunan-bangunan itu seperti dibangun menjadi satu.
Ong Peng hanya dapat merasakan ketidak beresan tempat itu, namun tidak berhasil mengetahui dimanakah letak ketidak beresan tersebut.
Suasana dalam gedung amat hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun bahkan sesosok manusiapun tak nampak.
Sik Jit membawa berapa orang itu langsung menuju ruangan dalam kemudian katanya:
"Saudara sekalian kembali ke kamar masing-masing dan beristirahat, selesai bersantap malam nanti, kemungkinan besar cengcu akan mengundang kalian dan menanyakan kisah perjalanan. . ."
"Tak usah beristirahat" tiba-tiba seorang berseru dengan suara dingin seperti es, "sekarangjuga cengcu hendak bertanya kepada kalian!"
Menyusul perkataan tersebut, dari balik pintu kamar masing-masing ruangan muncul delapan orang manusia berbaju ringkas, warna merah yang membawa golok dan berikat pinggang berwarna merah..
Golok Yan leng to mereka sudah dihunus dari sarungnya, sementara posisi menyerang telah diperlihatkan oleh orang-orang tersebut, paras muka Sik Jit berubah hebat, gumamnya lirih:
'Aaaah... pembunuh berikat pinggang merah"
Dalam pada itu dari ruang tengah telah muncul seorang lelaki setengah umur yang mengenakan baju berwarna hijau.
Ong Peng segera mengalihkan sorot matanya ke depan dan memperhatikan orang berbaju hijau itu sekejap, lalu pikirnya:
'Orang ini mirip seorang cengcu, entah siapakah dia?"
Dalam pada itu Sik Jit telah menjura seraya berkata: "Ciu congkoan, dimanakah cengcu?"
"Cengcu terlalu repot, lagi pula dia sudah menyerahkan semua perintahnya dengan jelas, aku rasa dia tak perlu datang sendiri"
Setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, katanya lagi: "Sik Jit, inilah prajurit-prajurit kalah perang yang kau bawa pulang?" "Dimana Khu Piau?'
Ong Peng berdiri disamping Sik Jit dan bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan, asal dia mengucapkan hal-hal yang tidak menguntungkan maka dia akan segera turun tangan untuk merenggut j iwa nya.
Sik Jit memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian pelan-pelan mengang-guk.
"Benar! lnilah orang-orang kita yang berhasil dibawa pulang, sungguh tidak beruntung Khu Piau telah tewas"
Lelaki setengah umur berbaju hijau itu tertawa hambar, lalu katanya.
"Sik Jit, kalau Khu Piau saja tewas, masa kau bisa pulang dengan selamat. . . ?"
"Ciu congkoan, kami sudah pergi selama beberapa hari, selama ini kami berjuang mati-matian menyerempet bahaya, sekalipun pulang tanpa hasil, toh perjuangan itu tetap ada, masa lantaran Khu Piau tidak pulang maka kami harus dihukum mati semua?"
Ciu congkoan tertawa dingin.
"Sik Jit, kalian tidak seharusnya pulang lagi kemari" serunya.
"Kami keluar dari perkampungan Pek hoa san ceng, mengapa tidak boleh kembali ke sini?" Ciu congkoan tertawa hambar.
"Sik Jit, aku lihat nyalimu makin lama semakin besar. . ." dia menjengek.
"Senadainya kalian bersikeras hendak membunuh kami, sekalipun Sik Jit berlutut ditanah dan memohon kepada kau Ciu congkoan, apakah kau dapat mengampuni kami?"
"Tidak dapat, bagaimanapun juga, kau harus mati"
"Itulah dia, kalau toh kami sudah harus mati, kenapa tidak boleh mati sebagai seorang enghiong?" "Benarjuga perkataanmu itu, nah bunuh‐lah sekarangjuga !"
Perkataan yang terakhir ditujukan kepada seorang pembunuh yang berada di depan pintu ruangan.
Pembunu tersebut segera mengiakan, dia melompat ke depan sambil mengayunkan goloknya melepaskan bacokan.
Belum sempat Sik Jit menghindarkan diri, Ong Peng telah mengangkat tangan kanannya, sebilah bisau pendek telah menyambut datangnya bacokan tersebut.
"Traaanng. . . !" ketika sepasang senjata saling beradu, terjadilah suatu bentrokan yang amat nyaring.
Dengan cepat Sik Jit melompat mundur beberapa langkah, tangan kanannya merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan sepasang senjata garpu.
Tindakan ini sama sekali diluar dugaan Ciu congkoan, serunya dengan nada tercengang.
"SikJit, kalian berani melawan?"
Sebenarnya Sik Jit hendak menceritakan keadaan yang sebenarnya kepada Ciu congkoan, kemudian bermaksud minta ampun, tapi dia sama sekali tidak menyang‐ka kalau Ciu congkoan telah mempersiapkan pembunuh‐pembunuh berikat pinggang merahnya untuk menghadang dirinya.
Situasi dan keadaan yang memaksa membuat Sik Jit harus berpihak kepada Ong Peng sekalian. Mendengar teguran itu, sambil tertawa dingin Sik Jit berkata:
"Heeehhhh ....heeehhh. . .heeehh... Ulurkan kepala juga sekali bacokan, menarik kepala juga sekali bacokan, kalau toh Ciu congkoan hendak membunuh kami, terpaksa kami pun harus beradu jiwa denganmu!"
'Baik, Akan kulihat sampai dimanakah kemampuan yang kalian miliki! Hayo, saudara sekalian kepung mereka dan bunuh!"
Delapan orang pembunuh bergolok itu membentak keras, serentak mereka mengayunkan goloknya sambil melancarkan serangan.
Tan Heng merentangkan tubuhnya ke depan dan menghadang di muka Sik Jit, dengan cepat dia terlibat dalam suatu perta‐rungan yang seru melawan seorang pembunuh berikat pinggang merah.
Sementara itu tujuh harimau telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, dengan cepat mereka mencincing pakaian dan mencabut keluar golok masing-masing.
Suatu pertarungan masal pun tak dapat dihindari lagi.
Su Eng belum turun tangan, Ciu congkoan juga tidak turun tangan, Ong Peng serta Sik Jit masih tetap berpeluk tangan belaka.
Ilmu golok yang dimiliki tujuh harimau sangat ganas dan lihay, bertarung dengan kawanan pembunuh berikat pinggang merah, teryata mereka lebih banyak menyerang dari pada mempertahankan diri.
Beberapa orang itu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, bukan saja jauh diluar dugaan Cui congkoan, bahkan Sik Jit sendiripun sama sekali tidak menyangka.
Sekarang Sik Jit baru merasa kalau keselamatan dirinya amat aman dan terjamin. selama ini dia selalu berada didalam perlindungan yang ketat dari Ong Peng sekalian.
Sementara pertarungan berlangsung Su Eng dan Ong Peng selalu mengawasi Ciu congkoan dengan pandangan dingin.
Sepasang mata Ciu congkoan berapi-api karena gusar dia menatap wajah Sik Jit lekat-lekat, kemudian tegurnya dengab dingin:
"Apakah orang-orang ini adalah orang-orang yang kalian bawa keluar dari sini?"
"Bukan. bahkan Khu Piau sendiripun tidak memiliki ilmu silat sebaik ini" sahut Sik Jit dingin. "Lantas mereka adalah. . ."
"0rang-orang perkampungan Ing gwat san ceng" tukas Sik Jit cepat, sebenarnya aku dipaksa mereka untuk datang kemari, dan akupun sebenarnya ingin mencari kesempatan untuk memberi tahukan keadaan yang sebenarnya kepada kalian sehingga daoat mencari suatu akal untuk menghadapi orang-orang itu, tapi sungguh tak disangka ternyata kalian mempunyai niat yang begitu kejam dan buas, sehingga akupun hendak kalian bunuh. Oleh sebab itu, kini terpaksa aku harus sungguh-sungguh bekerja sama dengan mereka'
"Besar amat nyalimu, berani menghianati perkampungan Pek hoa san ceng..." seru Ciu congkoan dingin.
"Aku menghianati perkampunagn Pek hoa san ceng, paling-paling hukuman mati yang akan dijatuhkan kepada diriku, tidak berhianatpun kalian sama saja akan membunuhku. Ciu congkoan. bukan cuma aku, bahkan segenap anggota perkampungan Pek hoa san ceng akan dibuat bergidik oleh cara kerjamu itu..
Ciu Congkoan mendengus dingin.
"Hmmm! Budak sialan, besar amat nyalimu, berani bicara seenaknya sendiri ..." ia berteriak sambil menahan geram.
Sik Jit segera tertawa terbahak-bahak.
''Haamahhh....haaaahhh...haaaaahhh .. benar, aku memang seorang budak, tapi bagaimana dengan kau sendiri? Kau tak lebih hanya berkedudukan lebih tinggi dari pada kami, kau tak lebih cuma seorang budak besar belaka, suatu ketika bila kaupun melakukan suatu kesalahan, siapa tahu kau bakal menerima akibat seperti apa yang ku alami sekarang dihukum mati oleh majikan"
Ciu congkoan agak tertegun sesudah mendengar perkataan itu, sesaat kemudian ia baru berseru: "Kau tak usah mengacau belotak keruan!"
"Aku tahu, dalam hati kecilmu pun me-ngerti, bukan cuma kau, bahkan cengcu sendiripun tak lebih hanya seorang budak biasa .." jengek Sik Jit sinis.
‐ooo0ooo‐

Pena Wasiat (Juen Jui Pi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang