Pena 21

2.5K 40 0
                                    

Belum lagi Ouyang Siong sempat berbicara, Tang Cuan telah menukas dengan cepat :

"Tan-cianpwe, tolong berilah kesempatan ini kepada Boanpwe."

Tan Tiang-kim berpaling dan memandang sekejap ke arah Pek Bwe, lalu serunya :

"Pek-heng, Tang-ciangbunjin.......!"

"Saudara Tan, biarkan anak-anak muda itu mencoba kepandaiannya," tukas Pek Bwe cepat, "sekalipun kalah juga bukan terhitung suatu kejadian yang memalukan, apalagi kita berdiri di sampingnya, tak mungkin dia akan terluka."

"Kalau memang Pek-heng berkata demikian, aku si pengemis tua akan turut perintah."

Tang Cuan segera menggerakkan pergelangan tangan kanannya dan meloloskan pedang Cing-peng-kiam itu dari sarungnya.

"Ouyang Siong, kau boleh meloloskan senjatamu!" katanya.

"Ciangbunjin," Seng Tiong-gak segera berbisik, "kau sebagai seorang ketua dari perguruan mana boleh turun tangan secara sembarangan, bagaimana kalau serahkan saja pertarungan babak ini kepadaku?"

Tang Cuan menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku adalah murid pertama dari Bu-khek-bun, mana boleh melarikan diri setelah di medan laga? Susiok, penuhi harapanku ini! Kalau aku tak sanggup nanti, Susiok boleh menggantikan kedudukanku."

"Yaa, bagaimanapun Pek Bwe, Tan Tiang-kim sekalian melindunginya dari sisi arena, tak mungkin dia sampai terluka parah," pikir Seng Tiong-gak kemudian.

Karena berpikir demikian, dia pun tidak mencegah lebih jauh.

Ouyang Siong merasa serba susah, sekalipun kedudukan Tang Cuan dalam perguruan Bu-khek-bun adalah seorang ketua, tapi dalam dunia persilatan ia masih belum punya nama maupun kedudukan, sedikit pun menangkan pertarungan ini dia tak bakal gagah, kalau sampai kalah jelas nama dan kedudukannya akan terpengaruh, sekalipun berakhir seri misalnya, dia juga akan turun gengsi.

Sementara ia masih serba salah, tiba-tiba Ti Thian-hua melayang datang dari sisi tubuhnya, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya yang satu jengkal delapan inci itu, katanya,

"Tang Cuan, kau masih belum pantas untuk bertarung melawan Ouyang-cianpwe, biar Cayhe saja yang menemanimu bermain beberapa gebrakan."

"Apa kedudukanmu?" tegur Tang Cuan dingin.

"Persoalan ini menyangkut soal mati hidup," tukas Ti Thian-hua, "kita harus menentukan menang kalah dari ilmu silat dan mati hidup di ujung senjata, jangan gampangnya jabatan ciangbunjinmu itu, terus terang saja, seluruh Bu-khek-bun masih belum berada dalam pandanganku."

"Sombong amat kau!"

"Aaah, sama-sama, sama-sama!"

Kipasnya segera digerakkan menotok dada Tang Cuan.

Tang Cuan mendengus dingin, pedang Cing-peng-kiamnya diangkat dan menangkis datangnya serangan kipas itu.

Cu Siau-hong ingin turun tangan, tapi ia segera dihalangi oleh Pek Bwe.

Sebagai seorang pemuda yang pintar, dengan cepat dapat dipahami olehnya akan maksud hati Pek Bwe, dia kuatir jika sampai dirinya turun tangan Ouyang Siong akan menaruh perhatian kepadanya, jika ia sampai menemukan sesuatu darinya, bisa mengakibatkan terpengaruhnya semua rencana yang telah tersusun.

Dalam pada itu, pertarungan yang berlangsung telah meningkat dalam keadaan yang amat seru.

Kipas Ti Thian-hua sebentar terbentang sebentar menutup, sebentar menotok sebentar menepas, semua perubahannya aneh dan di luar dugaan, ditambah pula permukaan kipas yang lebar satu permukaan berwarna putih salju, permukaan lain berwarna merah darah.

Pena Wasiat (Juen Jui Pi)Where stories live. Discover now