Chapter 15

20.3K 658 165
                                    

Reza melangkahkan kakinya di sepanjang koridor rumah sakit. Mengerikan. Satu-satunya kata yang melintas di kepalanya sekarang.

 Beberapa orang dari pihak kepolisian menghampirinya begitu dia sampai setelah berjam-jam berkutat dengan kemacetan sialan kota Bandung. Mereka menjelaskan beberapa hal, dan memintanya untuk mendandatangani beberapa dokumen.

Otaknya tidak bisa berpikir. Bagaimana bisa istrinya itu mengalami kecelakaan di daerah  asia afrika, sementara dia sendiri tau kalau design shop Tara ada di daerah dago. Sedang apa dia disana?

Dan sekarang, dia menatap Tara yang terbaring di dalam ruangan. Tidak ada gips atau selang-selang apapun selain perban di kepalanya dan beberapa luka di lengan dan selang infuse dan oksigen. Yah, setidaknya itu yang dia lihat dari sini.

“Keluarga Tara?” suara seseorang di belakangnya menghentikan gerakan tangan Reza yang sedang membuka pintu. Rezapun menoleh dan menatap laki-laki paruh baya dengan jas putih dokternya.

“Ya. Saya suaminya.”

“Kebetulan. Bisa kita keruangan saya?”

*****

“Lagian, ngapain sih lo pake kesana segala? Tumben banget, bukannya lo paling males ya keluar-keluar pake mobil pas jam istirahat gitu?” omel Arya.

Tara melemparkan tatapan mematikannya. “Gue ada urusan kedaerah sana. Bukannya mengasihani gue malah nyinyir lagi lo.” Gerutu Tara kesal.

“Udah-udah. Kalian ini berantem aja.” Mama pun angkat suara. “Kamu lagi Ya, udah tau kakaknya sakit juga.”

Tara mengunyah apel yang disiapkan mama. “Aw mam,” sahut Tara cepat sambil meremas lengan mama yang sedang mengupas apel disampingnya.

Reza, yang dari tadi hanya diam di pojok ruangan pun berjalan cepat menghampiri Tara yang memegang perutnya sambil meringis. “Kenapa Tar?”

Masih sambil meringis, Tara menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak. Nggak ada apa-apa.” Jawab Tara dingin.

Reza meringis. Entah ada apa lagi dengan perempuan di hadapannya ini. Masalahnya kemarin malam dengan Tara belum selesai –walaupun sekali lagi, Tara bersikeras tidak ingin memperpanjang- dan sekarang, temannya yang sekarang adalah istrinya dan calon ibu dari anaknya itu, malah bersikap dingin sejak bangun -dari pengaruh obat penenang yang di berikan dokter- dua jam yang lalu.

“Benerkan kata mama,” gumam mama pelan. “Coba dari awal kamu nurut mama ke dokter, seenggaknya kan kalau kamu tau kamu hamil, kamu bakal lebih hati-hati.”

“Setidaknya kan aku nggak kehilangan dia mam,” jawab Tara sambil tersenyum pada mama.

“Tapi seenggaknya kamu nggak harus bedrest kayak gini.”

Tara diam dan tersenyum. Perlahan tangannya turun ke perutnya. Bakal lebih baik kalau tiga test pack itu bener, batin Tara.

*****

“Lo bercanda Tar.”

Sahut Reza akhirnya begitu mama dan Arya pulang meninggalkan mereka berdua.

Tara tersenyum tipis sambil mengalihkan pandangannya dari Reza dan menatap keluar jendela. “Gue nggak bercanda Za. Ini serius. Dari awal ini semua udah salah. Kita nggak mungkin ngebangun sebuah keluarga normal kalau awalnya juga bahkan nggak normal.”

Reza menyipitkan matanya dan menatap Tara. “Kita udah komitmen buat ngejalanin ini senormal mungkin.”

“Senormal mungkin itu bukan normal Za.” Jawab Tara.

“Kita bisa mulai lagi.”

Tara menoleh dan menatap Reza sambil tersenyum. “Tapi itu nggak ngerubah kenyataan kalau memang dari awal ini semua salah. Lo itu musuh gue, dan diantara kita bahkan nggak ada perasaan apa-apa. Apa lo yakin kita bisa bikin kelurga normal berdasarkan itu semua?”

“Gue nggak pernah nganggep lo musuh Tar. Lo tau itu.”

Tara tertawa miris. “Anything Za. Tapi tetep ini semua salah.”

“Nggak ada yang salah Tar, walaupun emang kita nikah karena kita sama-sama bikin kesalahan.”

“Bayangin Za. Kita bakal hidup bersama-sama puluhan tahun dari sekarang. Apa lo sanggup tinggal sama orang yang bahkan nggak lo cintai seumur hidup lo?”

“Gue nggak butuh cinta.”

“Gue mau tidur.” Sahut Tara sambil merebahkan punggungnya dan menutup matanya.

“Tar, lo nggak mungkin kan biarin anak kita nantinya tumbuh tanpa orangtua?”

“Mereka memiliki orangtua. Cuma orangtua mereka udah nggak saling memiliki.”

Reza mengetatkan rahangnya dan menatap Tara. Dia nggak mungkin ngebiarin anaknya tumbuh dalam posisi seperti dia. “Tar, please…”

Tara pun membuka matanya. “Lo emang nggak butuh cinta. Tapi gue butuh itu. Gue mau hidup gue di habisin bersama orang yang cinta sama gue. Dan orang itu bukan elo.” Tara pun menghembuskan nafasnya. “Setelah anak kita lahir, gue mau kita cerai. Titik. Lo bisa jalanin kehidupan yang lo pengenin. Lo bisa balik sama Elle.”

“Demi Tuhan! Apa ini semua ada hubungannya sama perempuan itu?? Lo ketemu sama dia??”

Tara diam.

“Tar! Lo tau kalau gue nggak mungkin balik sama dia. Dia itu ibu tiri gue, apapun kenyataannya sekarang, dia itu pernah jadi ibu gue!”

“Lo bohong kalau lo nggak butuh cinta.”

Reza menyipitkan matanya.

“Apapun itu, pokoknya keputusan gue bulat. Dan.. ini,” sahut Tara sambil menarik cincin yang pernah Reza kasih saat melamarnya setelah kejadian gila beberapa bulan yang lalu. “Gue balikin ini sekarang.”

“Demi anak kita Tar… please..

Tara menggeleng lemah. “Nggak Za! Justru-” Tara meringis sambil memegang perutnya. “Aw…, Za…, perut gue sakit.”

“Ya Tuhan!” dia pun menekan tombol suster berkali-kali, kemudian berlari keluar ruang rawat Tara panik.

*****

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 25, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Simple PastWhere stories live. Discover now