Chapter 13

13.3K 352 22
                                    

Reza menyipitkan matanya lalu senyuman tipis muncul di wajahnya. Memang tidak akan mudah untuk membuat seorang George menyerah. “Cukup. Hal penting apapun itu yang kau katakan, aku tidak akan pernah peduli atau bahkan percaya,” Reza menyenderkan punggungnya dalam. “George, aku menghargaimu dan menganggapmu seperti keluargaku sendiri walaupun kau adalah kaki tangannya. Tapi tetap saja, aku tidak mau mendengar apapun itu tentang dia.

Semuanya adalah salah paham? Pikir Reza lagi. Apapun itu yang George sebut sebagai salah paham, dia tidak akan pernah mau tahu.

“Kalau begitu, percaya lah. Kau harus pulang.”

“Aku sudah pulang. Ketempat yang bisa aku sebut rumah.”

Hening cukup lama. “Reza,” suara berat George memecah keheningan. “Untuk kali ini saja, sampingkan ego  mu dan dengarkan aku. Dengarkan kata hatimu.”

“Cukup. Aku sibuk, dan aku belum berencana untuk merubah semuanya. Atau bahkan aku mungkin tidak berencana untuk itu,” Reza menghembuskan nafasnya dalam. “Kalau pun benar itu semua hanya salah paham, seharusnya dia yang bilang langsung, harusnya dia yang menyelesaikannya dari dulu.” Dia pun memijat pelipisnya. “Addio!” sahut Reza sambil mematikan teleponnya cepat.

Bagaimana mungkin ini semua salah paham? Dan yang lebih gila lagi, bagaimana mungkin laki-laki tua itu membiarkan semua salah paham ini?

Hah! Ini benar-benar gila, bagaimana mungkin sebuah kesalah pahaman yang membuat dia di buang oleh ayah kandungnya sendiri? Orang yang paling dia hargai, dan orang yang dekat dengannya??

Reza terdiam. Dia masih ingat bagaimana tatapan orang yang sempat paling di hargainya dulu itu. Bagaimana tatapannya tidak lama setelah mereka pindah ke Italy, well mungkin kalau dia mendapatkan tatapan itu sekarang dia masih bisa menerimanya, tapi dulu dia masih hanya seorang anak laki-laki berumur 16 tahun yang selama hidupnya tahu kalau ayahnya adalah sahabat terbaiknya.

Tanpa pikir panjang, Reza langsung meraih ponselnya, menatapnya kosong sebentar lalu menekan nomer-nomer dengan cepat. Sambil melirik jam tangannya dia menunggu. Masih jam 3 pagi disana, seharusnya Jarred belum tidur, pikirnya.

“Shit!” umpat suara di ujung teleponnya, Reza meringis pelan. Untuk seseorang yang sudah cukup lama mengenal Jarred, dia tahu apa yang sedang di lakukan temannya itu.

“Jarred!”

Hening sebentar, “Reza? Ada apa? Ada apa kau tiba-tiba meneleponku?”

           

You.... I really need your help,”

*****

Untuk kesekian kalinya, Tara memainkan ujung kemejanya sambil menatap bangunan berwarna hijau dan cokelat di hadapannya. Entah sudah berapa lama dia berdiri disana sambil memainkan ujung kemeja flanelnya.

Simple PastWhere stories live. Discover now