Chapter 2

15.6K 374 4
                                    

Cahaya matahari masuk melalui celah-celah woodblind dan menyinari seluruh ruangan bercat putih yang berada di lantai dua. Tara pun mengerjap-ngerjapkan matanya ketika cahaya matahari itu tepat menyinari matanya. Sambil meregangkan badannya, Tara meringis dan menatap sekitarnya. Tunggu! Dia semalaman tidur di sini? Diruangannya? Di meja kerjanya???

Panik, Tara meraih ponselnya dan menatap 30 misscall dari rumah. Sambil memukul jidatnya, Tara mencoba menghubungi rumah.

Dan dia tahu seperti apa reaksi orang rumah ketika mendengar suaranya.

"Halo? Ma?"

"KAKAK?? Ya ampun, kemana aja semaleman nggak pulang? Bener kamu tidur di kantor???"

Tara mengernyitkan dahinya bingung. Mama tau darimana?

"Biya yang bilang ke mama, terus waktu mama telepon ke gerry sama tio katanya kamu emang tidur dan nggak bisa di bangunin."

Thanks to them sehingga dia tidak usah mendengar omelan mama. "Kayaknya aku kecapekan deh ma, soalnya kita lagi banyak job." Sahut tara.

Dia pun menjelaskan bagaimana banyaknya pekerjaan dia dan ketiga temannya lalu menjawab berbagai macam pertanyaan mama sampai kemudian menutup teleponnya.

Tara melangkah keluar dari ruangannya dan berjalan menuju kamar mandi. Yah, mungkin setelah cuci muka dia harus pulang.

*****

Reza menghentikan langkahnya begitu melihat sebuah single sofa di etalase toko yang menarik perhatiannya. Tidak terkesan berebihan, tapi terlihat mahal dan nyaman. Reza menyungingkan senyuman. Tunggu, dia tersenyum?? wow, kursi ini hebat karena teah berhasil membuatnya tersenyum. Senyum beneran bukan hanya sekedar senyum formalitas ataupun senyuman tipis.

Tepat saat dia akan melangkah memasuki toko itu, ponselnya bergetar. Dia mengernyitkan keningnya menatap nomor asing yang tertera di layar ponselnya.

"Halo?"

"Halo?" Suara berat dan dalam yang entah sudah berapa tahun tidak dia dengar itu membuatnya diam mematung seketika. "Reza?"

"Ya, saya sendiri. Anda siapa?" Jawabnya sedatar mungkin.

"Mereka bilang kau pindah?"

Reza mengernyit bingung. Mereka? Apa selama ini lelaki itu masih mencari tahu tentang dia? Oh! Benar-benar mebuatnya terharu.

"Ya, ada apa?"

"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya tidak menghiraukan nada bosan kesal dan terganggu Reza yang mengisyaratkan benar-benar terganggu dengan teleponnya.

"Aku baik." Jawabnya tanpa bertanya balik. Karena dia bahkan tidak ingin tahu. "Oh ya, kalau-kalau kau lupa sekarang ini pagi di indonesia. Dan aku sedang sibuk. Lebih baik kau menelepon ku lain waktu, atau lebih baik tidak usah sama sekali. Ciao" sahut Reza sambil mematikan ponselnya.

Dia pun mehenduskan nafasnya panjang. Well, moodnya sudah benar-benar hancur hari ini. Dan sepertinya waktu liburnya searang akan benar-benar hancur karena telepon dari ayahnya itu. Ayah? Oh, yang benar saja.

*****

Alis Tara bertaut bingung. Dia pun menaruh kembali tasnya dan mengikuti langkah ikhsan, penjaga design shop yang berada di lantai satu milik dia, gerry, biya dan tio. Siapa yang ingin bertemu dengannya pagi-pagi begini?

"Itu mbak Tara, dia katanya pengen ketemu sama designernya." Sahut ikhsan sambil menunjuk seorang laki-laki yang sedang berdiri membelakangi mereka dan sedang menatap kursi rancangannya yang berada di etalase toko.

Tara mengangguk dan menghampiri laki-laki berambut cokelat dengan badan yang tinggi itu. Awalnya Tara hendak menyapa laki-laki itu dan memoerkenalkan diri. Tapi, begitu laki-laki itu berbalik, Tara pun terdiam. Tercengang.

Bukan karena mata cokelatnya dan wajahnya yang sangat tampan itu, tapi lebih kesiapa pemilik itu semua. Well, dia masih ingat dengan jelas wajah musuh selama sembilan tahunnya itu. Yang membuat masa-masa sd dan sma-nya menyedihkan.

"Tara??" Suara Reza langsung memecahkan keheningan. "Elo Tara kan???"

"Dan elo si evil demon Reza." Sahut tara datar.

Refleks, Reza tertawa lepas mendengar sebutan Tara untuknya yang mungkin sudah hampir sepuluh tahun ini tidak dia dengar.

"Jangan bilang lo masih megang teguh janji lo dulu?"

Tara mengernyit. Jadi, Reza masih inget janji yang dia sebutin waktu perpisahan? Waktu musuhnya itu pindah ke Italy? Ke kampung halaman ayahnya? Well, bagus sekali ingatannya!

"Ya. Gue masih megang janji, untuk nggak akan mau lagi berurusan sama elo!" Sahut Tara sambil berbalik dan berjalan menuju lantai dua. Ruangannya.

*****

Rey masih menoleh dan menatap Reza bingung. Ada apa dengan sahabatnya ini? Setahunya, Reza yang lima tahun ini dia kenal berhati dingin, kaku, menyebalkan. Dan bahkan, dia, sahabatnya sendiri hanya bisa membuat Reza tersenyum tipis. Dan sekarang? Sahabatnya ini baru saja dia lihat tersenyum pada perempuan designer tadi.

Perempuan tadi biasa saja. Walaupun tidak bisa di bilang jelek ataupun biasa. Tapi, jika dibandingksn dengan Leonna, model yang mengejar-ngejar Reza, perempuan tadi bisa dibilang tidak ada apa-apanya. Entahlah, dia tidak mengerti dengan Reza. Apa yang spesial hingga perempuan itu berhasil membuat sahabatnya yang kaku ini tertawa seprti itu.

"Siapa dia, huh?" Tanya Rey penasaran.

"Siapa? Yang mana?" Jawab Reza.

"Designer tadi itu. Jangan lo pikir gue nggak liat. Tadi gue liat kok lo tertawa lebar untuk pertamakalinya selama 5 tahun ini."

Reza tersenyum. "Temen lama. Temen dari kecil."

Rey semakin mengernyitkan dahinya. Entah apapun itu sebutan Reza untuk 'teman' itu. Dia yakin kalau ada sesuatu yang lebih dari itu.

*****

Simple PastWhere stories live. Discover now