Chapter 3

14.4K 336 2
                                    

“Jadi?” tanya Shabiya sambil melirik sahabatnya sejak SMA itu dengan penuh rasa penasaran.

Tara menolehkan kepalanya dan menatap Biya bosan. “Jadi apa?” tanya Tara balik “Ya nggak ada jadinya Bi, intinya gue ketemu lagi sama musuh gue itu setelah sepuluh tahun.”

Biya menahan senyumannya, dan terus berjalan melewati beberapa toko kerajinan tangan. “Lo yakin musuhan? Sebagai seorang musuh lo terlalu perhatian sampe inget kapan terakhir kalian ketemu.”

“Dia itu pindah ke Italy waktu kelas 3 SMP, ya jelas lah gue inget kapan gue trakhir ketemu dia Shabiya sayaaaang.” Jawab Tara setengah menggerutu. “Ehm, Bi..”

Shabiya menoleh dan menaikan alisnya menunggu Tara melanjutkan.

“Andre nelepon gue semalem,” lanjut Tara sambil tersenyum meringis menunggu respon sahabatnya itu.

Let me guess…,” sahut Biya. “Dia minta maaf? Ngajakin ketemuan? Atau..”

“Dia ngajak balikan Bi­-”

What?? Balikan?? Ya ampun Tar…. Dan lo nggak bilang ia kan? Lo langsung nolak kan??” mata Biya yang berwarna cokelat melebar di balik kacamata armani merahnya.

Tara tersenyum tipis dan kembali menatap lurus ke lorong pusat perbelanjaan yang cukup ramai siang ini. “Belom gue jawab, tapi… tapi sebenernya, harusnya dia anggep itu penolakan kan?”

Biya menatap kesal perempuan berkulit cokelat di hadapannya itu. “Kitara Arsjad, lo seharusnya nolak dia. Langsung nolak. Nggak inget apa dua tahun yang lalu dia ngapain lo??”

“….”

*****

“Wow wow, guess who’s coming guys!” teriak King saat Reza melangkah masuk kedalam rumahnya. Suasana berisik gabungan dari musik yang menghentak keras dan suara orang-orang yang memenuhi pesta di rumah King.

King, yang dia sendiri tidak ingat nama aselinya, adalah teman mainnya saat SMP. Yang kebetulan sekali kembali bertemu dengannya di Amerika beberapa tahun yang lalu.  Well, dan mungkin temannya itu bisa disebut the real player of the year. Yah, seplayer apapun King, dia cukup baik sebagai seorang teman. Dan itulah yang membuatnya memutuskan untuk datang ke sini. Bergabung dengan manusia-manusia satu spesies dengan King si party animal.

“Gue kira lo nggak akan dateng!” sahut King yang hanya di jawab dengan senyuman datar Reza. 

“Kiran pasti seneng kalo tahu lo ada disini.”

Reza mengangkat sebelah alisnya. “Dia udah cukup sibuk dengan fans-fansnya.”

“Oh dude, dari tadi dia nanya berkali-kali ke gue. Mastiin kalo lo bakal dateng apa nggak.” Jelas King sambil berjalan ke halaman belakang rumahnya yang sekarang sudah berubah seperti club malam lainnya tapi dalam versi outdor.Well, she’s a real beauty Za. Give it a try.”

I don’t have time for that kind of thing.”

 

“Thing? Love? Women? That’s a bullshit.” Jawab King sambil tertawa. “Udah, jangan terlalu kaku. Kembali ke Reza yang lama. Malam ini aja.”

“REZA!!” suara tipis melengking langsung terdengar begitu Reza menginjakkan kakinya di halaman belakang King yang sangat luas. Dan tanpa perlu menoleh, Reza tahu siapa pemilik suara itu. Perempuan tinggi, langsing, cantik sesuai standar top model yang sekarang sedang berjalan semangat ke arahnya.

*****

Tara melangkah turun menuju design shopnya yang sudah tutup dua jam yang lalu. Dia pun melirik jam tangannya, sebenarnya sudah terlalu larut malam untuk pulang. Tapi besok siang dia harus pergi ke Bali, menemui kliennya yang meminta design shopnya untuk mendekorasi rumah mereka yang baru selesai. Dan tidak mungkin kalau dia tidak pulang dulu kerumah hari ini.

Tara merogoh tasnya dan mencari kunci design shopnya sambil berjalan menuju pintu masuk. Lalu, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Ada orang yang berdiri disana. Di pintu ada seorang laki-laki berbadan tinggi besar. Panik, Tara pun meraih benda terdekatnya, yang untungnya adalah sebuah lampu duduk yang dia ingat dengan jelas dibuat dari kayu jati berkualitas tinggi. Yang artinya: cukup kuat untuk dijadikan senjata olehnya.

Dia melangkah pelan menuju pria yang menunduk membelakanginya. Bagaimana dia bisa ada disini? Seingatnya pintu toko terkunci, batin Tara.

Saat Tara berada beberapa langakah di belakangnya, laki-laki berbadan tinggi itu pun berbalik dan tiba-tiba ambruk di hadapannya. Tara yang sudah dalam posisi siap untuk memukul laki-laki itu pun membatalkan niatnya dan berjongkok disamping laki-laki itu.

Tara mengernyitkan dahinya. Tidak mungkin Gerry atau bahkan Tio. Kedua sahabatnya itu tidak setinggi laki-laki ini. Dan saat Tara membalikan tubuh laki-laki di hadapannya, matanya membelalak lebar.

“Tara… aneh, aku malah datang kesini. Aku… aku sedang menghindari wanita tapi aku…. Malah… datang kesini…. Kau kan wanita…. Ia kan?.... Tarantula perempuan kan….”

Tara mendengus mendengar nama sebutan yang sangat di bencinya itu. Tara pun membatalkan niatnya untuk membantu Reza –musuhnya- yang sedang mabuk berat itu.

“Tar… gue inget mama…” bisiknya sedikit terisak dengan masih bergulung di lantai. Tara menghentikan langkahnya. Reza? Nangis? Dia pun memutuskan untuk berbalik dan jongkok disamping Reza.

“Okey, kali ini aja gue bantu elo.” Sahut Tara sambil mengangkat Reza. “Lagian lo kalo inget mama kenapa malah pulang malem? Balik gih ke rumah.” Gerutu Tara kesal. Reza si anak mama, masih belum berubah, pikir Tara sambil menyeret Reza dan mendudukannya di sofa yang ada di dekatnya.

*****

Simple PastWhere stories live. Discover now