CHAPTER 54

565 86 24
                                    

Pavel duduk di sebuah kursi sambil menatap layar monitor yang terletak tidak jauh dari ranjang pasien, berganti menatap wajah ibunya yang tengah lelap dengan napas yang terdengar berat. Hingga beberapa saat, ketika ia merasa ada pergerakan di dalam genggaman tangannya. Sepertinya nyonya Naret sudah terbangun, ketika merasakan usapan lembut pada punggung tangannya yang masih di hiasi jarum infus.

"Nak?" Suara nyonya Naret terdengar serak saat menyapa putranya yang kini tersenyum padanya.

"Ibu, apa aku mengganggu tidurmu?"

Nyonya Naret menggelangkan kepala pelan.

"Ibu terbangun sendiri karena sudah cukup tidur," balasnya.

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa sudah merasa lebih baik?" tanya Pavel masih menggenggam telapak tangan hangat ibunya.

"Yah, jauh lebih baik."

Pavel kembali tersenyum. "Senang mendengarnya."

"Hum," angguk nyonya Naret yang terus menatap wajah putranya, "apa yang sudah terjadi denganmu akhir-akhir ini?"

Pavel terdiam tidak menjawab, dan hanya menatap wajah ibunya penuh kerinduan dan kesedihan.

"Nak, apa yang sudah membuatmu sangat bersedih, hingga kau tidak berhenti menangis," tanya nyonya Naret sekali lagi.

Tangannya yang sedikit gemeteran terulur ke depan dan mengusap wajah putranya lembut.

"Bahkan sembab dan bengkak masih tersisa di sana," sambungnya menatap kedua mata Pavel.

"Ada banyak hal yang membuatku sangat bersedih akhir-akhir ini, Ibu." Pavel menjawab dengan nada suara yang sedikit bergetar. Mulai kesulitan mengatur perasaannya sendiri.

"Maukah kau menceritakannya kepada Ibu?"

Pavel terdiam. Haruskah ia menceritakan semuanya? Mengungkapkan rasa sakitnya karena kehilangan Tin, dan sekarang ia merasa hancur dan rapuh. Tidakkah itu akan menjadi beban yang sangat berat bagi ibunya? Terlebih mengenai hubungannya dengan Tin, ia bahkan tidak yakin jika ibunya akan menerima semuanya.

"Apa karena Tin?" tebak ibunya yang membuat jantung Pavel kembali berdenyut nyeri.

"Ibu ...."

"Kau bersedih dan banyak menangis karenanya?"

"Aku ... aku ...."

"Kau terlihat begitu mencintainya."

Pavel tidak tahan lagi, hingga air matanya kembali menitik tanpa ia sadari. Namun, lekas di usapnya dengan segera karena tidak ingin wanita itu melihatnya menangis.

"Oh Tuhan, apa kau begitu tersiksa selama ini?" tanya nyonya Naret yang benar-benar tidak sanggup melihat sang putra menangis.

"Aku ... hanya merindukannya," ungkap Pavel penuh kesakitan.

"Peluk Ibu, Nak." Nyonya Naret membentangkan kedua tangannya untuk menyambut putranya yang kini menangis di dalam pelukannya. Mungkin ia bisa mati karena terlalu banyak menangis.

"Aku merindukannya, sangat merindukannya."

"Yah, yah ... Ibu tahu. Kau pasti sangat merindukannya," balas nyonya Naret berusaha menenangkan putranya dan membiarkan meluapkan semua kesedihannya.

"Ibu?"

"Yah, Nak."

"Apa aku sudah membuat perasaanmu terluka?"

"Apa yang kau katakan? Kenapa Ibu harus terluka?"

"Aku mencintai Tin, kami berkencan, dan dia adalah kekasihku sekarang, aku sangat bahagia ketika bersamanya. Ia sangat menyayangiku, begitu peduli dan bisa menjagaku dengan sangat baik," balas Pavel berderai air mata.

For HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang