ch 19

6.6K 582 24
                                    

Author nggak mati kok.

Part kali ini nggak nyampe 1000 kata, jadi pelan pelan aja bacanya.

Happy reading guys



Di depan ruang ICU, Liona berjalan mondar mandir dengan gelisah, wanita itu menggigit jari telunjuknya sebagai pelampiasan rasa khawatirnya.

Waktu berjalan terasa begitu lambat baginya. Dimana keberadaan Alvias, keluarganya dan bagaimana kondisi Edgar? Apa kembarannya baik-baik saja?

Di kursi tunggu, terdapat Rezvan yang duduk menyender ke sandaran kursi, kedua mata pemuda itu terpejam.

Di sisi kirinya terdapat Carlos yang menunduk dengan kedua tangannya sebagai penyangga. Di baju pria itu terdapat darah Edgar yang telah mengering.

"Liona, daripada kau hanya mondar-mandir seperti itu, kenapa tidak kau ceritakan kejadian yang baru saja di alami oleh Edgar. Dan bukannya kalian ada di Las Vegas? kenapa kalian ada di mansion hingga kejadian seperti itu bisa terjadi?" Celetuk Carlos.

Menepuk kursi kosong di sebelahnya meminta Liona untuk duduk.

Muak juga dia hanya duduk diam sedari tadi, melihat Liona yang mondar-mandir tanpa menjelaskan apapun.

Liona menoleh ke arah Carlos, dengan ragu wanita itu duduk di samping kakak sulungnya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskan nya perlahan.

"Kau mungkin tidak akan mempercayai ini kak .." Liona menggantung ucapan nya, membuat Carlos menatap wanita itu penasaran.

"Apa?" Desak Carlos.

"Alvias bukan anak kandung dari kak Alex-"

Drggg!

Nafas Liona tercekat saat Carlos memukul kursi besi yang di duduki oleh mereka, wanita itu merasakan hawa yang mengintimidasi dari kakak sulungnya.

Rezvan yang sebelumnya masih bersikap santai tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Kaget akibat gebrakan Carlos dan ucapan tidak masuk akal dari Liona.

"Apa yang kau bicarakan, Na? Jangan bercanda."

"Aku mempunyai bukti, jika kakak tidak percaya! Aku bisa menunjukkan nya seka-"

"Tunjukkan!" Potong Carlos tidak sabaran.

Liona menelan salivana nya susah payah. Melihat tatapan tajam dari Carlos membuatnya ciut.

Dengan tangan sedikit gemetaran, Liona merogoh saku bajunya. Mengambil sebuah kertas yang telah kusut dan sedikit robek. Di beberapa bagian kertas itu sudah di kotori oleh warna merah.

Liona memberikan kertas itu pada Carlos, Carlos menatap kertas itu tidak bergeming. Kedua netra tajamnya menatap kosong setiap bait yang tertulis di sana.

Giovanni Alfred Dirgantara.

Nama itu terasa tidak asing baginya.

"Bagaimana, pa?" Tanya Rezvan, menatap heran ekspresi yang di keluarkan oleh ayahnya.

Carlos tidak bergeming, pikirannya berkecamuk. Fakta ini benar-benar mengejutkan dirinya.

Rezvan mengerutkan alisnya melihat ayahnya yang tidak bergeming. Memberanikan diri, Rezvan mengambil kertas kotor itu dari genggaman Carlos.

Setelah membacanya, rahang Rezvan mengetat, tatapannya seakan siap membunuh siapa saja yang berani mengusik nya.

Pemuda itu menatap tajam Liona yang menundukkan kepalanya.

"Bibi, kau .. kau pasti bercanda kan? Iya, kan!?"

Liona diam tidak menjawab, semakin membuat Rezvan kehilangan akal.

Pemuda itu berdiri dari duduknya, kedua tangannya mengepal erat. Wajahnya benar-benar keruh.

"ARGHH! SIAL!"

Pemuda itu memukul tembok berkali-kali, melampiaskan emosinya. Tidak ada yang menghentikan perbuatannya. Semuanya hanya terdiam dengan pikiran yang berkelana jauh.

Rezvan menempelkan dahi nya pada tembok, dadanya naik dan turun, nafasnya terdengar tidak beraturan. Urat-urat menonjol pada lengannya yang terluka dan terkepal erat.

Rezvan menoleh, menatap ayahnya yang masih tidak bergeming.

"Ini semua salah ayah! Jika kita datang lebih cepat, kemungkinan Alvias tidak akan hilang dan keberadaan nya masih bisa kita lacak saat ini! Tapi apa? Ayah malah membiarkan Alvias pergi dan mendatangi mansion terkutuk itu!" Tuduh Rezvan dengan emosi yang meluap-luap.

Carlos bangkit dari duduknya, kedua pasang ayah dan anak itu saling berhadapan dengan wajah yang sudah memerah padam. "Jaga ucapan mu Rezvan!" Tekan pria itu.

"Apa?! Ini semua memang salah ayah! Karena rencana ayah, Alvias sekarang hilang! Jika saja dari awal kita membunuh wanita itu lebih dulu sebelum membawa Alvias, semuanya tidak akan kacau seperti sekarang."

"KU BILANG TUTUP MULUT MU!" Kepalan tangan Carlos menggantung di udara, nyaris mengenai wajah putranya.

Rezvan tertawa sumbang, tidak ada rasa takut dari sorot matanya.

"Kenapa berhenti? Pukul saja aku,"

Menghela nafas kasar. Carlos menurunkan kembali tangannya, pria itu membalikkan tubuhnya membelakangi Rezvan.

"Pergi dari hadapan ku,"

"Yah, apa yang bisa di harapkan dari mu. Dari awal seharusnya aku sendiri yang membawa Alvias pergi tanpa melibatkan pihak manapun," Memasukkan kedua tangannya kedalam saku, "Mari membuat pertaruhan terakhir, siapa yang menemukan Alvias lebih dulu, dia yang menang. Jika aku yang lebih dulu menemukan Alvias, jangan berharap kau dapat melihat wajahnya lagi."

Dengan wajah dingin, Rezvan membawa langkahnya menjauhi ruang ICU. Meninggalkan aura suram dan hawa menekan dari Carlos.

Untuk Liona sendiri, wanita itu hanya diam membisu. Pikirannya berkelana jauh, memikirkan kemana perginya Alvias.

"Al, tolong kembali..."

.
.
.
.
.

Di balik dinding, seseorang misterius tengah memperhatikan Carlos, Rezvan dan Liona. Setiap kata yang mereka ucapkan, dia dengarkan dengan seksama.

"...Jika saja dari awal kita membunuh wanita itu lebih dulu sebelum membawa Alvias, semuanya tidak akan kacau seperti sekarang,"

Seseorang itu bersenandung kecil, punggungnya menyender pada tembok. Satu tangannya berada di dalam saku, sedangkan tangannya yang lain dengan lihai memutar-mutar sebuah handphone dengan logo Apple.

Hingga pada saat Rezvan meninggalkan ruang ICU, sosok misterius itu juga ikut meninggalkan tempatnya bersembunyi, dengan sebuah seringaian terpatri pada wajahnya.

.
.
.
.
.

"Master, bagaimana sekarang? Wanita itu sudah gagal. Apa kita akan menyelamatkannya? Atau membiarkan Dirgantara yang mengurusnya?"

destroying the grooveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang