21. Masa Lalu

3.4K 218 16
                                    

Bab terakhir.

Selamat membaca.








"Bi, positif."

Bian yang berdiri di depan kamar mandi tersentak saat tiba-tiba Alma menumpukan tubuh padanya. Untung saja dia tak sampai terjengkang ke belakang. "Apanya yang positif?" tanyanya bingung. Baru saja dia bangun dan berniat ke kamar mandi untuk setidaknya mencuci muka agar lebih segar, tapi malah mendapati tingkah aneh istrinya.

"Aku hamil."

Mengerjap pelan, Bian mencoba mencerna dua kata yang baru saja diucapkan Alma. Dia memang masih mengantuk, tapi kesadarannya sudah hampir seratus persen. Namun, kenapa sulit sekali otaknya menyerap informasi itu?

"Ih, kok kamu diam? Ngga suka, ya?" Alma merenggangkan pelukan dengan tangan yang masih berada di leher sang suami. Dia menggembungkan pipi, mulai merajuk. Eforia yang menggebu perlahan surut akibat diamnya Bian.

"Bukan gitu, aku cuma ...." Bian menggaruk kepalanya yang tak gatal, kebingungan. "Iya aku senang." Membawa tubuh kecil Alma kembali dalam dekapan, dia mengelus lembut punggung istrinya meski jujur saja perasaannya masih carut marut.

Mempunyai anak sama sekali belum ada dalam pikirannya. Bahkan sepertinya tak pernah ada, dia menikah supaya bisa terus bersama Alma. Tentang anak? Dia kesulitan meraba perasaannya sendiri.

Seiring berjalannya waktu Bian mulai menerima kehadiran sosok kecil yang kini tumbuh di rahim Alma. Rasa sayang pun muncul dan kian hari bertambah besar, hingga hampir setiap bersama sang istri dia akan mengusap perut yang mulai menonjol itu dan tak canggung untuk mengajak anaknya bicara.

Seperti saat ini, setelah memastikan Alma menghabiskan susu hamil yang baru saja dibuatkannya, dia ikut merebahkan diri di samping perempuan itu. Tangannya lalu mengusap tempat anaknya berada dan seketika hatinya membuncah bahagia.

"Maaf, ya. Aku menyusahkan kamu saja." Alma menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca.

Berbanding terbalik dengan Bian, dia justru semakin merasakan kesedihan. Diawali dengan mengalami morning sickness parah, sampai harus bedrest. Kini dia pun terpaksa cuti kuliah karena keadaan yang tak memungkinkan, yang setiap hari dilakukannya hanya tidur. Semua pekerjaan rumah sampai Bian yang mengerjakan.

"Ngga ada yang perlu dimaafin." Bian beralih mengusap kepala sang istri lalu menjadikan lengannya sebagai bantal untuk Alma. "Yang penting kamu sama adek sehat. Tinggal enam bulan lagi, kan? Semangat, oke?"

Alma menenggelamkan diri di pelukan Bian. Menangis dalam diam sambil menggumamkan kata terima kasih. "Aku bakal jaga diri dan ngga baper-baper lagi."

Ucapan yang sama sekali tak terwujud. Bukannya menjalani kehamilan dengan tenang, mood Alma justru semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika Bian memutuskan untuk mengambil beberapa pekerjaan sampingan hingga pulang sampai larut malam. "Pulang jam berapa nanti?" Alma mengelus perutnya saat mendapati gerakan sang janin yang kini berusia enam bulan.

"Seperti bisanya." Bian mengeratkan tali sepatunya. Kemudian berdiri menghadap Alma yang telah menunjukkan raut garang. Kapan terakhir kali dia melihat senyum cerah sang istri?

Satu bulan, dua bulan, entahlah dia merasa sudah lama tak mendapati itu. Adanya raut curiga dan amarah menjadi makanannya sehari-hari.

"Bisa ngga, sih sehari saja kamu pulang agak sorean? Aku kesepian di rumah."

Bian merasa bersalah mendengarnya, tapi mau bagaimana lagi mereka butuh banyak biaya saat ini dan nanti. Orang tuanya memang menawarkan bantuan yang langsung dia tolak. Malu jika harus merepotkan padahal telah berumah tangga, dia hanya menerima biaya kuliah itu pun hasil paksaan. "Aku, kan udah bilang kamu ke rumah bunda aja. Toh, bunda udah sering ngajak ke sana."

MENGULANG KISAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang