3. Tak Mudah Menjadi Ibu

1.8K 287 44
                                    

Selamat membaca.

Jangan lupa bintangnya, ya.

Terima kasih.


"Ti, tolong kamu urus ini dulu, ya. Aku mau lihat Sasa." Alma meninggalkan pegawainya yang tengah mengepak pesanan.

Mengetuk pintu yang terdapat hiasan berwarna merah muda dengan tulisan nama sang pemilik, Alma menarik gagang pintu kala dipersilakan masuk. Dia tersenyum mendapati sang putri sedang duduk di pinggir kasur sembari memeluk boneka beruang besar. Hadiah dari Bian ketika anak mereka ulang tahun ke enam. "Udah siap semuanya?"

Alma mengusap rambut keriting yang pemiliknya sedang cemberut sembari mengeratkan pelukan pada boneka kesayangan. "Sasa ngga mau ke rumah opa?"

"Mau! Tapi Sasa ngga mau ketemu papa!"

"Sasa jangan gitu dong, nanti papa sedih, lo." Alma meringis, menghadapi Sasa yang dalam mode keras kepala sungguh menguras tenaga.

Sudah lewat beberapa hari setelah pembicaraan ayah dan anak tersebut dan sampai kini Bian belum menampakan batang hidungnya. Laki-laki itu berkata tengah sibuk dengan pekerjaan, hingga tak sempat menemui Sasa.

Reaksi putrinya? Bertambah kesal, pastinya. Kalau sudah begini terbesit sebuah angan-angan jika keluarga mereka masih utuh, pasti dia tak akan sesulit ini. Bian bisa bertemu Sasa setiap hari.

Menggeleng pelan, dia mencoba mengusir bayangan tersebut. Tak elok rasanya beandai-andai, toh selama ini hidupnya baik-baik saja. Hanya terkadang rasa capek itu hadir. "Papa 'kan udah telpon kemarin, bilang kalau kerjaannya banyak jadi ngga bisa ketemu Sasa."

"Bukan karena papa sibuk sama Tante Claudia?"

Alma lupa jika diusia sekarang bukan hanya ucapannya yang menjadi acuan  sang putri, pasti Sasa telah memiliki pemikiran sendiri dan juga mulai mendengarkan perkataan seorang teman. Jadi sesering apapun dia mengatakan tidak ada yang berubah, gadisnya tahu bahwa di saat salah satu orang tua punya kekasih maka pasti ada yang berbeda.

Walaupun sebenarnya ingin meluapkan amarah pada Bian, dia sadar tak bisa seperti itu mengingat mantannya itu berhak menjalani hidup sesuai keinginan. Namun, wajar, kan jika dia ikut sedih melihat putrinya merasa tersisih?

"Udah banyak contohnya, Ma. Teman-temanku yang papanya nikah lagi jadi sibuk sama keluarga barunya. Apalagi kalau udah punya adik baru, temanku jadi tambah jarang ketemu papanya."

Gerakan tangan Alma yang masih setia berada di kepala sang putri terhenti. Dia berusaha berpikir cepat mencari jawaban yang pas, masalahnya Sasa menggunakan contoh nyata sementara dirinya tak punya cerita hidup orang lain untuk diceritakan.

"Adek bayi itu butuh banyak perhatian, Sa. Karena itu papa teman Sasa jadi tambah sibuk, tapi Sasa tau, kan setiap orang tua itu pasti sayang sama anak-anaknya."

Alma pernah mempunyai kesepakatan dengan mantan suaminya, bahwa mereka akan saling menjaga kredibilitas masing-masing. Tak ada saling menjelekkan satu sama lain di depan Sasa. Mereka harus memastikan sang putri tumbuh dengan kasih sayang penuh, tanpa perlu tahu jika mungkin saja orang tuanya masih menyimpan kekecewaan.

"Mana ada sayang, tapi ninggalin anaknya!"

Alma menggaruk kepalanya. Sasa yang ceriwis ketika balita adalah sosok menggemaskan. Namun, kala beranjak remaja sungguh memusingkan. "Emang teman Sasa ngga pernah ketemu lagi sama papanya?"

"Pernah, sih."

"Masih pernah jalan-jalan, kan?"

"Masih."

MENGULANG KISAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang