14. Ketegasan

1.3K 201 11
                                    

Selamat membaca.







Bian telah membuat keputusan!

Dia memblokir segala akses Claudia untuk menghubunginya. Tak hanya itu dia juga mewanti-wanti Alma agar tidak membiarkan perempuan itu bertemu dengan Sasa. Dia akan mengajak perempuan itu bicara jika keadaan sudah normal, tak seperti sekarang yang masih terasa panas.

Kejadian di rumah sang kakak menjadi puncak amarahnya. Kejadian yang sampai saat ini masih membekas di pikirannya.

"Maaf terlambat."

Suara lembut itu memenuhi ruangan yang mendadak senyap akibat Claudia. Perempuan yang membalut tubuhnya dengan abaya berwarna hijau muda tersebut, menyalami satu per satu orang yang berada di sana. Terakhir Claudia menyapa Bian, lalu duduk di sebelah laki-laki itu.

"Bian, ajak Claudia makan dulu."

"Dia bisa ambil sendiri, Bun." Tanpa memedulikan pelototan sang bunda, Bian menyantap sate kambing di hadapannya. Jelas sekali laki-laki itu tak menghiraukan keberadaan mantan kekasihnya.

Sayangnya seperti yang sudah-sudah perintah sang bunda adalah hal yang sulit ditolak. Seperti sekarang ini, baru saja suapan ketiga masuk mulutnya, piring berisi lontong dan sate itu ditarik secara paksa. Membuat dia tersentak hingga tanpa sadar melayangkan protes pada bundanya.

"Tamunya disambut dulu!"

"Dia 'kan tamunya Mbak Bila, bun." Bian menatap kakaknya yang sontak menggeleng. Memberi tanda jika bukan perempuan itu yang mengundang Claudia. Lalu siapa?

Berselang satu detik dengan datangnya pertanyaan di kepala, dia mendapatkan jawaban dari perempuan yang telah melahirkannya.

"Bunda yang nyuruh Claudia ke sini, pas kemarin ketemu di mall."

Kalau sudah begini, Bian jelas tak bisa menyalahkan sang bunda yang tak tahu apa-apa. Maka dengan sangat terpaksa dan tanpa menutupi raut wajah kesalnya dia berdiri. Tanpa mengatakan apapun pada Claudia dia melangkah menuju belakang, mengingat sisa makanan yang telah dipindah ke dapur. Sayup-sayup telinganya masih bisa mendengar bundanya bertanya apakah dia ada masalah dengan Claudia. Pertanyaan yang tak bisa dia dengar jawabannya sebab dia telah berada di dapur, tepatnya di depan meja makan yang penuh lauk pauk dan juga kudapan.

Tangannya bersedekap, menatap intens Claudia yang tak menunjukkan raut takut atau bersalah. Justru senyum lah yang tergambar di wajah perempuan itu.

"Pulanglah!"

"Bunda yang mengundangku. Jadi maaf, aku ngga bisa menuruti permintaanmu."

Ketenangan Claudia berhasil mengusik Bian. "Aku yang akan menjelaskan pada bunda tentang kondisi kita," desisnya.

"Menjelaskan apa? Kalau sebentar lagi kita menikah?"

Bian menganga, tapi beberapa detik kemudian tertawa sinis. Bisa-bisanya dia terjebak hubungan dengan perempuan seperti Claudia?

Level keras kepala perempuan berambut cokelat itu sungguh tinggi, dia jadi khawatir ada yang salah dengan otak Claudia. Mendadak dia jadi takut jika perasaan cinta telah berganti menjadi obsesi, karena sungguh tak masuk akal perempuan dengan harga diri tinggi seperti Claudia mengemis agar hubungan mereka tetap berlanjut.

Bukankah bisanya harga diri membuat seseorang yang diputuskan menjadi membenci, bukan mengejar?

Tak ingin masalah ini berlarut-larut, dia memangkas jarak dengan Claudia. Menggenggam pergelangan tangan perempuan itu kemudian sedikit menarik agar mengikuti langkahnya.

Dia benar-benar berperan menjadi laki-laki brengsek saat ini karena sadar telah berbuat kasar pada perempuan. Padahal selama ini selalu mewanti-wanti diri agar bersikap baik, mengingat dirinya mempunyai anak perempuan. Namun, rasanya dia sudah buntu. Tak punya akal lagi supaya Claudia bisa menjauh darinya.

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now