12. Aksi Claudia

1.2K 191 9
                                    

Selamat membaca.






Bibir berwarna cokelat yang menggambarkan si pemilik pernah menjadi perokok aktif itu tak menyurutkan senyum. Segala amarah, kesal, dan bingung dia singkirkan dulu demi membuat raut bahagia selalu terpancar di wajah cantik sang putri.

Semenjak menjadi ayah, dia merasa semakin pandai berakting. Sedang marah, lelah, atau sedih semua itu berhasil dia samarkan saat bersama Sasa. Bahagia adalah hal yang harus tergambar di wajahnya.

"Aku kira kamu ngga jadi ikut."

Bian tak menjawab, hanya melirik sekilas perempuan di sampingnya. Sebelum kembali menatap gadis kecilnya yang tengah tertawa sembari bermain trampolin bersama anak-anak yang lain. Mudah untuk Sasa mencari teman sebab sifat ramahnya yang tak segan berkenalan lebih dahulu.

Sejujurnya dia tak berniat bergabung dengan Claudia dan Sasa, sampai kemudian sadar jika harus menghentikan rencana perempuan itu. Walau belum menemukan maksud lain, tapi dia yakin ada sesuatu yang disembunyikan Claudia.

Mana mungkin ketidaksukaan pada anak kecil mendadak berubah, terlebih pada anak orang lain. Dari awal tahu dirinya duda saja, Claudia langsung menunjukkan raut malas kala dia menyebutkan soal Sasa. Bodohnya dia menutup mata pada hal itu gara-gara ingin memberi makan egonya.

"Kapan kamu ke rumah? Papa mau bicara serius."

Tanpa bertanya, Bian jelas tau apa makna serius yang terdapat dalam kalimat perempuan yang menggunakan celana panjang, dipadukan dengan tunik panjang berwarna merah muda. Tunggu, kenapa dia tidak sadar?

Penampilan Claudia saat ini tak seperti biasanya, dia masih ingat bagaimana perempuan itu berkata lebih nyaman memakai dress selutut atau celana pendek waktu perempuan itu menilai baju Alma yang dinilai kuno. Lalu, mengapa sekarang Claudia terlihat seperti Alma?

"Kalau bisa secepatnya kamu ke rumah. Lebih baik lagi dalam minggu-minggu ini," ucap Claudia tidak menyerah. Kebal dengan perlakuan dingin Bian.

"Apa?"

Jika dulu Claudia akan langsung marah ketika Bian tak mendengarkan ceritanya, kini dia hanya mengela napas lelah untuk menyalurkan kejengkelannya. "Papa minta kamu ke rumah minggu depan."

"Aku ngga bisa!"

"Kenapa?"

Giliran Bian yang terlihat tak sabar. Apalagi mereka sempat menjadi pusat perhatian karena suara keras Claudia. "Kamu masih bertanya? Bukankah semua sudah jelas? Kita ngga ada hubungan apa-apa lagi!"

Kernyitan di kening Bian semakin dalam karena bukannya membalas kalimat yang dia ucapkan, Claudia justru berlalu. Berjalan agak cepat ke arah arena permainan. Perasaannya mendadak tak enak kala perempuan itu tampak berbisik pada Sasa.

Kakinya yang siap melangkah menghampiri kedua perempuan itu sontak berhenti saat melihat Claudia menggandeng Sasa, berjalan bersama ke arahnya. Sebisa bisa mungkin dia mengatur mimik muka walau ingin rasanya segera membawa sang putri pergi. Meninggalkan tempat ini sekaligus keanehan Claudia yang semakin menjadi.

Dia masih tak mengatakan apapun, hanya mengangguk begitu Sasa mengajak untuk makan siang. Bentuk pertahannya supaya tak meledak. Bahkan dia membiarkan anaknya memilih tempat yang bisa ditebak adalah toko yang menyediakan makanan cepat saji.

Gerai ayam goreng yang terletak di lantai dasar pusat perbelanjaan terlihat ramai, mengingat waktu makan siang telah tiba. Beruntungnya tiga sosok yang baru saja masuk itu masih mendapat tempat. Pojok ruangan yang mana mereka bisa melihat orang-orang di luar sedang berlalu-lalang.

Bian datang membawa nampan berisi pesanan dua perempuan yang sedang asyik tertawa, entah membicarakan apa. Dan tentu saja dengan pesanannya sendiri.

"Nanti papa jangan bilang mama, ya. Soalnya dalam seminggu ini aku udah empat kali makan junk food," bisik Sasa. Gadis kecil itu takut jika ada yang mendengar pembicaraan mereka. Seakan jika ada yang tahu dia takut akan langsung diusir dari sana.

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now