9. Rumit

1.6K 236 20
                                    

Haloo, apa kabar?

Maaf baru muncul, adakah yang masih menunggu?

Selamat membaca.









Berjalan dengan penuh semangat, senyum lebar Bian tak kunjung surut sejak tadi. Setelah banyak hal yang menghalangi bertemu sang putri akhirnya hari ini dia bisa memeluk gadis kecil kesayangannya yang mulai beranjak remaja. Ah, mengingat hal itu perasaan tak rela muncul permukaan. Ingin rasanya melihat Sasa terus menjadi kecil. Dia masih takut membayangkan putrinya suatu saat nanti lebih memilih pergi bersama teman daripada dengannya.

Seperti yang sudah-sudah dia disuguhi pemandangan tumpukan karung dan kardus yang diletakkan di sudut halaman kecil rumah Alma, bersebelahan dengan sepeda matic yang baru-baru ini menjadi penghuni baru rumah satu lantai tersebut. Dia tak bisa memungkiri ada bangga yang tercipta melihat bagaimana mantan istrinya tersebut berkembang. Dari yang tadinya manja dan tak terbiasa melakukan apa-apa sendiri, kini berubah menjadi sosok yang berbeda 180°.

Mendekati pintu yang warna catnya telah memudar, mendadak perasaannya tidak enak karena mendengar suara yang terasa familiar di telinganya. Lantas dia langsung berlari begitu sadar siapa yang berada di dalam rumah Alma.

"Papa!"

Bian tersenyum lebar, tapi matanya terpaku pada sosok yang menatapnya dengan semringah. Apa yang dilakukan perempuan itu di sini?

Pertanyaan yang tak mampu dia utarakan sebab Sasa lebih dulu memeluknya. "Cantik banget anak papa. Udah sarapan apa belum?" Tangannya refleks mengacak rambut sang putri, kala mendengar protes atas pernyataannya yang menyebutkan Sasa tampak cantik.

Padahal dulu ketika balita, putrinya akan selalu mengedipkan mata saat ditanya cantiknya seperti apa. Namun, sekarang selalu bilang malu jika ada yang memuji. Perubahan yang mau tak mau harus dia terima, meski rasanya rindu pada masa kecil Sasa.

"Sasa, ayo tasnya diambil dulu, Nak."

Bian berdecak pelan menyadari jika mantan istrinya seakan memberi dia kesempatan bicara dengan tamu yang sama sekali tak dia duga kedatangannya. Selepas dua perempuan berbeda generasi itu tak tampak lagi di pandangannya, dia mendudukkan diri di sofa single, berhadapan dengan Claudia yang terlihat tenang. Tidak ada gurat kemarahan di wajah cantik itu, padahal sejak pertengkaran yang terakhir tak ada komunikasi di antara mereka. "Kenapa kamu ke sini?"

"Kabarku baik."

Oh, tentu saja Bian tau jika kalimat itu adalah bentuk sindiran. Namun, siapa yang peduli?

Dia masih geram karena Claudia berada di rumah ini tanpa pemberitahuan sebelumnya. Bagaimana jika Sasa marah padanya? "Jadi bisa kamu jelaskan?"

"Seperti yang kamu bilang, kalau aku ingin menikah denganmu makan aku harus mendekatkan diri pada Sasa." Claudia mengedikkan bahu, senyum lebar tersungging di bibirnya. "Dan ... itu yang coba aku lakukan sekarang."

"Clau, dengar ...."

"Papa, ayo berangkat!"

Mengela napas panjang, Bian menelan lagi kekesalannya. Sekarang bukan saatnya melakukan konfrontasi pada Claudia, tapi tentu dia tak akan melepaskan perempuan itu sebelum mendapat jawaban yang jelas. "Ayo, salim dulu sama mama."

"Udah, tadi. Tante Claudia, ayo."

Bian menatap Alma, sebagai refleks atas sikap ramah sang putri. Sekaligus memberi pertanyaan tak kasat mata atas apa yang terjadi saat ini. Sayangnya hanya gelengan pelan yang dia dapatkan.

Ada apa ini sebenarnya? Kenapa ada perubahan mendadak seperti ini?

Kebingungan yang dirasakan Bian masih terus berlanjut sebab sepanjang perjalanan menuju sekolah dua perempuan yang dulunya tak akur kini sibuk berbicara banyak hal. Dari film kartun hingga makanan. Seandainya ada orang asing yang menyaksikan interaksi tersebut, pasti mereka tak percaya jika dia memberitahu kalau sebenarnya Claudia dan Sasa tidak dekat sama sekali.

"Kalau mama belum jemput, ditunggu! Jangan mau diajak pulang orang lain termasuk sahabat kamu. Mengerti?" Bian mencium pipi sang putri, senang. Anggukan Sasa membuatnya tak perlu khawatir jika gadis itu akan pulang bersama tetangganya yang jelas-jelas tengah berusaha mendekati Alma.

Sasa telah memasuki gerbang bersama anak-anak lain yang memakai seragam berwarna merah putih, dan dari tempatnya berdiri Bian bisa melihat bagaimana putrinya tampak ceria. Mengingatkannya pada sosok mantan istri yang sangat bersemangat di saat mereka masih sekolah dulu.

Membuang napas kesal, dia merutuki diri sendiri karena kenangan tentang Alma mulai mengganggu hari-harinya belakangan ini. Pasti semua gara-gara pembicaraan dengan Elang.

Tak ingin terus mengigat hal yang menyebabkan suasana hatinya memburuk, Bian memutuskan segera kembali ke mobil karena ada masalah lain yang harus diselesaikan. Baru saja dia menutup pintu ketika tiba-tiba Claudia bersandar padanya, hal yang sontak membuatnya tersentak hingga refleks mendorong tubuh perempuan itu agar menjauh.

"Kamu masih marah sama aku?"

Oh, Bian benci hal ini! Melihat perempuan menampilkan raut sedih disertai mata yang berkaca-kaca seolah mengatakan dia adalah laki-laki paling brengsek di dunia. "Maaf," ujarnya mencoba abai. "Kita cari tempat untuk bicara."

Bian tak peduli apakah perempuan di sampingnya akan mendapat masalah karena terlambat bekerja sebab mereka memang harus bicara. Lagipula Claudia terlihat tak keberatan waktu dia menghentikan mobil di pinggir jalan yang sepi. "Kenapa kamu ke rumah Alma?"

Lewat kaca kecil di depan Bian bisa menyaksikan perubahan raut wajah mantan kekasihnya ketika nama Alma disebut. Ya, walaupun hanya sekejap karena kini Claudia kembali tersenyum tipis.

"Bukankah tadi aku jelasin alasannya?"

"Dan kenapa baru sekarang? Kita sudah bersama selama setahun, dan kamu baru mau deketin Sasa sekarang? Pasti ada sesuatu, kan?"

Kedua anak manusia itu akhirnya saling tatap selama beberapa detik setelah rentetan kalimat panjang yang diucapkan Bian. Sampai kemudian Claudia mengela napas panjang lantas beralih menatap jalan di depannya.

Perempuan itu tak langsung menjawab, masih menimbang kalimat apa yang harus dikeluarkan supaya amarah Bian tidak terpancing. "Maaf ... aku minta maaf atas sikapku selama ini."

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" tegas Bian, meski sejujurnya tak menyangka kata maaf keluar dari bibir Claudia. Dia tahu bagaimana keras kepalanya perempuan itu, mana mau minta maaf sebelum mereka berdebat panjang. Bisa dihitung dengan jari berapa kali Claudia mengalah ketika pertengkaran terjadi.

"Aku ngga mengalihkan pembicaraan. Karena memang aku mendekati Sasa disebabkan perasaan bersalah telah berbuat kurang baik padanya. Selain itu aku ngga mau kita ... berpisah."

Bian mendengkus keras. Senyum sinis tergambar di bibirnya, mengejek keinginan perempuan yang duduk di sampingnya. Dia tidak tahu apa yang merasuki Claudia hingga berubah seperti sekarang, mengalah dan mau menurunkan ego. Namun, baginya sudah terlambat. Hubungan mereka tidak bisa diselamatkan lagi. "Kamu ngga perlu melakukan itu, toh, orang tua kamu tak bisa menerima Sasa."

"Tolong beri aku kesempatan. Aku akan berusaha mengambil hati Sasa, setelah itu membujuk mama dan papa agar menerima kamu dan Sasa."

"Ini tak akan berhasil. Sudah lah, mari kita jalani hidup masing-masing."

"Gampang sekali kamu ngomong kayak gitu? Setelah selama ini ngasih harapan sama aku!" teriak Claudia. Tangan perempuan itu menggenggam erat tali tasnya yang berada di atas pangkuan. Sebelum kemudian terkekeh pelan lalu membuka pintu di sampingnya. Dia mengerling pada Bian ketika telah berada di luar, tapi masih belum menutup pintu karena badannya masih setengah membungkuk demi bisa melihat ekspresi pria yang dicintainya. "Aku ngga akan nyerah. Kita pasti bisa bersama, dan aku akan melupakan kata perpisahan yang pernah kamu ucapkan!"

Dari tempatnya duduk, Bian bisa melihat Claudia berjalan menjauh. Tidak ada niat mengejar, bahkan ketika perempuan cantik itu masuk dalam taksi dia masih tetap diam. Anggapannya salah, Claudia masih lah keras kepala, tapi daripada sebelum-sebelumnya kali ini lah yang paling membuatnya pusing.

Sial! Apa yang harus dia lakukan sekarang?




Jangan lupa bintangnya, ya. Terima kasih.

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now