19. Tanggung Jawab

1.8K 236 18
                                    

Selamat membaca.








Bian lupa kapan terakhir dia ke sini. Entah satu bulan, dua bulan lalu atau bahkan lebih? Namun, yang pasti kenangan setiap kali menginjakkan kaki di rumah itu masih membekas jelas. Tentang pandangan sinis yang diterimanya dan jawaban kurang bersahabat saat bertanya.

Janji pada diri sendiri untuk tidak lagi datang ke bangunan berlantai dua tersebut harus dilanggar karena tanggung jawab yang perlu diselesaikan. Tangan yang bergerak memencet bel yang menempel di tembok hitam terasa berat, tapi tak ada keinginan mundur. Dia bukannya takut, hanya malas.

Cukup lama dia menunggu, sampai kemudian sosok perempuan paruh baya tergopoh-gopoh ke arahnya. Dia bisa melihat raut terkejut, yang dalam sekejap berubah menjadi semringah. Ya, setidaknya ada satu orang yang menerima kedatangannya dengan tangan terbuka. Asisten rumah tangga Claudia.

"Mas Bian? Duh, udah lama, ya ngga kesini."

Bian mendorong gerbang setinggi dada orang dewasa di hadapannya, membatu pergerakan perempuan yang tak lagi muda hingga melakukan pekerjaan kecil saja bisa membuat napas tersengal. Setelah berhasil membuat jarak antara tembok dan gerbang untuk satu orang, dia melangkah sembari diiringi cerita tentang Claudia yang baru saja kecelakaan. Perempuan dengan rambut putih lebih dominan itu mengira Bian tak tahu kabar tersebut, akibat tak pernah menampakkan batang hidungnya.

"Mas Bian tunggu sebentar, ya. Paling sebentar lagi bapak sama ibu pulang. Soalnya tadi ngabari udah di jalan, makanya bibi sibuk di dapur nyiapin makanan."

Bian mengangguk. "Bibi selesaikan saja dulu masaknya." Keningnya berkerut kala tak ada tanda-tanda dia ditinggalkan. Malah terlihat lawan bicara seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. Sebenarnya bisa saja dia tak peduli, toh kedatangannya ke sini hanya bertujuan meminta maaf bukan mengorek informasi. Namun, tak tega dengan ekspresi ragu dan takut di sampingnya, menyebabkan dia mengeluarkan tanya juga. "Ada yang mau bibi sampaikan sama saya?"

"Ehm ... maaf sebelumnya, mas." Perempuan yang telah bekerja selama lebih dari dua puluh tahun di rumah itu, meremas celemek yang membalut tubuhnya. Gugup. "Mas Bian masih pacaran sama Mbak Claudia?" Sadar telah lancang menanyakan sesuatu yang sangat pribadi, Siti menepuk bibirnya berkali-kali. "Ma–maaf, Mas. Maaf."

"Ngga apa-apa, Bi. Saya udah putus sama Claudia. Dan ke sini karena ada perlu saja." Bian mengangguk. Menenangkan. Lagipula tak ada salahnya mengatakan yang sebenarnya, siapa tahu perempuan di hadapannya bisa mengatakan ini pada Claudia. Bahwa dia telah menegaskan hubungan yang dulu pernah terjalin kini statusnya telah berubah.

"Kenapa, mas? Padahal saya ikut seneng pas Mbak Claudia sama Mas Bian, kelihatan lebih bahagia." Dengan pandangan menerawang, perempuan paruh baya itu kembali mengutarakan pendapatnya. Seakan lupa tadi telah merasa lancang. "Mbak Claudia itu dari kecil selalu diatur harus ini itu, tanpa diberi kebebasan untuk memilih. Tapi di sisi lain juga dimanja. Makanya jadi egois sekali, dan ngga pernah mau kalah. Pertama kali melawan, ya pas milih tempat kerja itu. Setelah perdebatan sengit akhirnya ijin turun juga."

Bian tahu hal itu, Claudia sendiri yang bercerita. Efek menjadi anak satu-satunya. Ada kalanya dia juga bersikap seperti itu, terlalu protektif pada sang putri karena itulah dirinya tak bisa menyalahkan orang tua Claudia sepenuhnya. Hanya menyayangkan saja kenapa belum ada perubahan meski mantan kekasihnya sudah membuktikan jika bisa menjadi orang yang bertanggung jawab pada pilihannya. Dia tahu seberapa besar dedikasi perempuan itu pada pekerjaannya.

"Bibi kira setelah Mbak Claudia tidak bakal melawan lagi, mengingat berhari-hari didiamkan sama bapak dan ibu setelah pertengkaran terakhir itu. Ternyata salah karena Mas Bian berhasil membuat Mbak Claudia kembali melawan."

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now