20. Merelakan

2.5K 263 24
                                    

Selamat membaca.










"Papa!"

Bian yang bersandar pada sisi mobil sontak menegakkan tubuh saat mendengarkan teriakan yang memanggil namanya. Melambaikan tangan, dia lalu merentangkannya menyambut gadis kecilnya. "Gimana? Bagus semua nilainya?"

Sasa mengangguk, menatap penuh kegembiran pada sang papa yang bersimpuh agar bisa menyamai tingginya. "Bagus semua," ucapnya bangga. "Berarti hadiahnya jadi, 'kan, Pa?"

"Tentu saja." Bian mengacak rambut anaknya, gemas. "Sasa boleh minta apa aja."

"Asyik. Tapi .... " Menoleh ke kebelakang, Sasa lantas bernapas lega ketika tak mendapati sosok yang tengah dicarinya. "Kalau mama marah, papa harus belain Sasa, ya."

"Pasti!" Bian meringis, belum-belum sudah membayangkan wajah bengis Alma ketika nanti mereka belanja dan dia membebaskan putri mereka membeli apa saja. Padahal kemarin dia baru kena omel karena membelikan Sasa sepeda baru. "Mama mana?"

Bian berdiri sembari membersihkan celana bagian lututnya. Menatap ke arah sekolah Sasa, tapi belum nampak juga batang hidung mantan istrinya.

"Tadi masih bicara sama Bu Guru, Pa. Apa aku susulin aja? Soalnya mamanya temenku udah pada keluar."

Mengedarkan pandangan, Bian mendapati halaman sekolah mulai kosong. Bahkan kendaraan yang terparkir di sisinya juga telah berkurang banyak.

Tak ingin membuang waktu, dia akhirnya mengajak Sasa menyusul sekalian ingin melihat perkembangan sekolah sang putri. Entah kapan terakhir kali dia masuk ke sini karena semenjak usahanya berdiri, seringnya hanya mengantar sampai luar. Urusan mengambil rapot pun selalu Alma yang melakukan. "Sasa ngga masalah karena papa ngga pernah ambil rapot kamu?" tanyanya yang mendadak merasa bersalah.

Sudah tak tinggal serumah, jika ada rapat atau kegiatan dia juga sering absen. Selama ini Alma selalu berkata tidak masalah, hal tersebut bukan sesuatu yang besar. Namun, dia belum benar-benar mendengarkan pendapat sang putri.

"Ngga apa-apa, kan papa kerja. Lagipula yang ngambil rapot kebanyakan mamanya temenku. Ada, sih papanya temenku, tapi cuma satu.  Itu, lo papanya Acha." Sasa ikut berhenti sepeti ayahnya. "Kenapa berhenti, pa?" Mendapat gelengan kepala sebagai jawaban, membuatnya kembali bertanya, "papa tau, kan papanya Sasa?"

Tepat setelah pertanyaan itu seleai dilontarkan putrinya, Bian bisa melihat dengan jelas dua manusia yang tengah berjalan bersama sembari bercerita. Bahkan sesekali keduanya tertawa.

"Nah itu mama sama papanya Acha."

Jika boleh jujur, Bian sama sekali tak menyukai pemandangan di depannya. Rasanya menyesakkan. Namun, dia sadar tidak bisa bertindak apapun.

Setelah kasus terakhir dengan Claudia, baik dia ataupun Alma mempunyai kesepatakan bahwa kebahagian putri mereka adalah yang terpenting. Jadi jika salah satu ingin menikah lagi, maka perlu memastikan apakah Sasa menerima atau tidak, agar tak terulang lagi kejadian beberapa waktu lalu.

Hal itulah yang menyebabkan dia membatasi diri agar tak ikut campur tentang hubungan Alma dan laki-laki bernama Ardan itu. Lagipula laki-laki itu terlihat sayang pada Sasa. Belum lagi pertemanan yang terjalin antara putrinya dan anak Ardan, yang sepertinya menambah poin plus pria itu.

"Apa kabar, Mas?"

Bian bersalaman dengan Ardhan. "Baik, Mas." Tak seperti dulu yang menunjukkan raut kesal, kini Bian terlihat ramah. Apa yang terjadi dengan Claudia memberinya banyak pelajaran, bahwa terlalu memaksakan itu bukanlah hal yang baik karena justru akan berbalik memberi kita kesulitan. "Acha ngga ikut?"

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now