5. Bertemu Ardhan

1.6K 275 15
                                    

Selamat membaca.



"Pa, ada telpon!" teriak Sasa. Bibirnya mengerucut ketika melihat nama perempuan yang kemarin datang ke rumah sang kakek untuk menjenguk papanya.

"Tolong diangkat, Sa! Papa masih ganti baju."

Dengan terpakasa Sasa menuruti perintah sang papa, tapi belum sempat dia mengatakan apapun suara keras di seberang lebih dulu masuk gendang telinga gadis itu.

"Kenapa kamu balas jawab pesanku?! Datang ke sini! Aku butuh kamu!"

Sasa mengerjap, mencoba mencerna apa yang terjadi. Tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang membuatnya tak pernah menerima bentakan dari keluarganya. Hari ini untuk pertama kali dia mendengar suara yang begitu keras, terasa menakutkan meski hal tersebut sebenarnya tak ditujukan padanya. Bahkan jantung gadis itu kini berdetak lebih cepat saking kagetnya.

"Halo?! Kamu dengar aku ngga, sih, Yang?!"

"I–itu, papa lagi ganti baju."

Hening selama beberapa detik, sepertinya Claudia juga merasa kaget. Namun, tentu saja alasannya berbeda dengan Sasa.

"Ha–halo?" Sasa memberanikan diri bersuara. Suara keras tadi cukup memberi dampak pada gadis yang kini tengah menggigit bibir bawahnya.

"Bilang sama papa suruh telpon Tante kalau udah selesai."

"Iya."

Sasa memandangi layar ponsel yang telah menggelap. Tiba-tiba dia teringat kisah yang pernah diceritakan Tia, pegawai ibunya tentang seorang putri yang disiksa ibu tirinya. Oke, diusianya yang sekarang dia sadar itu hanyalah sebuah dongeng, tapi tetap saja cerita itu sudah menancap di otaknya.

Di saat Sasa tampak bingung dan ketakutan, usapan kepala membuatnya tersentak.

"Sasa kenapa?"

"Papa beneran mau nikah sama Tante Claudia?" tanya Sasa lirih. Menatap wajah bingung sang papa justru membuat mata bulatnya berkaca-kaca.

Melihat keanehan sang putri, Bian sontak menekuk kaki menjadikannya tumpuan tubuh agar bisa sejajar dengan tinggi Sasa. "Ada apa?"

"Papa mau nikah sama Tante Claudia." Kali ini pernyataan lah yang keluar dari bibir tipis Sasa, disertai air mata yang mengalir membasahi pipi.

Bian merasakan dadanya dihimpit batu besar. Sesak dan sakit. Sejak dulu Sasa adalah kelemahannya, pernah suatu ketika sang putri masuk rumah sakit dan detik itu juga dia merasa dunianya runtuh. Rumah tangganya boleh hancur, tapi tidak dengan gadis kesayangannya.

"Papa ngga akan nikah kalau Sasa ngga kasih ijin." Bian mengusap punggung kecil yang berada di dalam pelukannya. Berusaha memberi ketenangan dan kenyamanan, meski kenyatannya dia dilanda gelisah karena memikirkan penyebab Sasa yang mendadak sedih.

Sasa memang gadis yang ceria dan keras kepala, tapi adakalanya berubah cengeng. Beberapa kali putrinya itu menangis hanya gara-gara melihat kucing di jalanan, tapi dilarang untuk dibawa pulang oleh mantan istrinya. "Nangisnya udah apa belum? Nanti matanya bengkak, lo. 'Kan mau sekolah."

Bian tersenyum merasakan sang putri mengangguk dalam pelukannya meski isakan kecil masih terdengar. "Berangkat sebentar lagi, kan?"

Pertanyaan Bian lagi-lagi hanya dijawab anggukan oleh Sasa. Namun, kali ini gadis itu telah melepaskan pelukan membuat Bian langsung mengusap pipi yang basah akibat air mata itu.

Lantas pria itu menggeleng melihat kehadiran kakak dan iparnya yang baru saja pulang dari membeli bubur ayam. Dia sedang tak ingin menjawab pertanyaan apapun. "Makan dulu, ya. Itu Tante Bila udah pulang."

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now