8. Rujuk

2.6K 344 20
                                    

Maaf kalau ada typo, ya. Ngeditnya keburu-buru soalnya hehehe.

Boleh juga bantu ngoreksi typo. Saya malah sangat berterima kasih.

Selamat membaca.

Bian membuka pintu yang membawanya ke arah balkon. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat cahaya dari lampu mobil, kecil tapi tampak indah. Hal yang sangat disukai Alma, hingga perempuan itu mempunyai cita-cita ingin membeli apartemen ketika sudah bekerja. Sebuah keinginan yang sampai sekarang belum tercapai.

Berdecak pelan, dia mengusap kasar wajahnya kala nama mantan istrinya tersebut kembali hadir dalam pikiran, membuatnya mengingat percakapan dengan Elang.

Dia tidak pernah lupa hari itu. Hari di mana ketakutan terbesarnya muncul serta patah hatinya terulang kembali.

Pukul tiga pagi ketika langit masih gelap, ayam pun belum terdengar berkokok kala Bian merasakan benda pipih yang semalam dia letakkan di atas nakas bergetar secara konstan. Butuh beberapa detik sampai nyawanya terkumpul dan mengambil ponsel tersebut. Begitu melihat nama Alma tertera di layarnya yang dihiasi wajah Sasa saat masih bayi dia langsung bangkit, kantuknya pun lenyap seketika.

"Ada apa, Al?" tanyanya dengan detak jantung yang menggila setelah menjawab salam sang mantan. Tidak biasanya Alma menelpon di pagi buta. Mendadak dia mengingat cerita jika mendapat telepon di malam hari kemungkinan akan mendapatkan berita buruk.

Oh, jangan sampai itu terjadi!

"Sa–sasa di rumah sakit."

"Apa? Bagaimana bisa? Tadi dia baik-baik saja, kan? Sial! Kirim alamatnya sekarang!" Rancau Bian penuh kepanikan. Tanpa menunggu jawaban, dia lalu segera bergegas.

Tak berganti baju, tubuh yang dibalut kaos pendek dan celana training itu hanya ditutupi jaket yang dia ambil acak dari lemari. Lagipula siapa yang bisa memikirkan penampilan dalam kondisi darurat seperti ini?

Membuka pintu kamar, dia lantas keluar rumah dengan pelan sebab jika orang tuanya tau pasti suasana akan semakin panik. Dia berencana memberitahukan kabar ini setelah sampai rumah sakit.

Untung saja mobilnya terparkir paling luar sehingga tak perlu menimbulkan keributan terlalu lama. Jarak yang biasanya ditempuh dalam waktu setengah jam, dilalui Bian hanya lima belas menit saja. Jalanan yang sepi seolah mendukungnya menyetir layaknya seorang pembalap.

Dia langsung berlari menuju ruangan Sasa dirawat setelah menanyakan lokasinya pada petugas. Alma memang mengiriminya pesan lagi saat dia berada di jalan jika sang putri telah dipindahkan dari UGD ke ruang rawat.

"Kenapa Sasa?" Pertanyaan itu sontak diajukan Bian setelah membuka pintu tanpa mengetuk. Napas pria itu masih terengah-engah, menandakan perjuangannya untuk menemui putrinya dengan cepat.

"Demam berdarah."

"Kenapa bisa? Kamu gimana, sih, Al?!" Niat untuk mencecar mantan istrinya lebih lanjut urung dia lakukan karena melihat wajah sembab dan tangan Alma yang tampak bergetar. Hal itu membuatnya yakin Alma sama ketakutan sepertinya. "Kamu ke sini naik apa?" Bian mengusap kepala sang putri penuh kasih sayang.

Hatinya tercabik menatap wajah pucat anaknya. Bahkan beberapa kali kening Sasa berkerut seakan tengah menahan sakit yang luar biasa. Sasa tentu saja pernah sakit, tapi tak pernah sampai dirawat. Makanya dia sangat panik saat mendengar kata rumah sakit.

"Tadi minta tolong tetangga. Aku terlalu panik sampai lupa hubungin kamu. Maaf," ujar Alma menjelaskan dengan lengkap karena tatapan Bian seolah bertanya kenapa tidak menghubungi pria itu.

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now