2. Kekasih yang Posesif

2.2K 255 13
                                    

"Jadi kamu masih belum berhasil membujuk Sasa?"

Bian melirik perempuan yang duduk di sampingnya, sebelum kembali fokus pada jalan di depannya. Jam pulang kerja adalah saat-saat di mana kesabaran sangat diuji mengingat kemacetan yang sanggup memancing emosi, dan Bian telah melakukannya sejak tadi, sabar dalam menghadapi kejadian yang bisa dibilang menjadi makanannya sehari-hari. Namun, ujian kali ini lebih besar karena ditambah Claudia tak berhenti mengomel sejak tadi.

"Kamu serius ngga, sih sama aku?" Claudia bersedekap, kesal karena merasa diabaikan. "Kamu tau sendiri, kan mama udah desak aku buat nikah. Kalau emang ngga serius, bilang sekarang! Biar aku ngga buang-buang waktu buat nunggu kepastian."

"Kita cari tempat buat bicara!" desis Bian tajam. Kesabarannya terkikis habis mendengar ancaman sang kekasih.

Kenapa para perempuan suka sekali menjadi perpisahan sebagai ancaman? Tidak Claudia, tidak Alma selalu meminta berpisah saat bertengkar.

Apa Claudia tidak bisa melihat perjuangannya?

Dia yang sebenarnya belum siap menikah lagi, membuang keraguan tersebut karena perempuan itu mengatakan harus segera menikah. Bahkan dirinya sampai menyebabkan putri kesayangannya terluka gara-gara masalah ini. Tidak bisakah Claudia sabar sebentar saja?

Menepikan mobil ketika melihat papan nama sebuah kafe, tanpa menanyakan pendapat sang kekasih Bian memarkirkan mobil di depan bangunan dua lantai tersebut. Dari kaca mobil dia bisa melihat suasana tak begitu ramai seperti mendukungnya untuk berbicara dengan Claudia di tempat ini.

"Kita belum pernah ke sini sebelumnya," ujar Claudia pada akhirnya sembari mengikuti langkah lebar sang kekasih. Dari sikap Bian yang berjalan lebih dulu, cukup membuatnya paham jika laki-laki itu tengah dikuasia amarah.

"Ngga penting juga soal itu. Toh, kita hanya butuh tempat bicara."

Tak membiarkan Claudia mendebat pilihannya, Bian langsung memilih meja yang berada di sudut sejajar dengan pintu masuk kafe. Pelanggan yang tak terlalu banyak menyebabkan mereka dilayani dengan cepat.

"Beri aku waktu untuk menjelaskan pada Sasa. Putriku butuh pengertian, tak bisa dipaksa." Kalimat yang langsung keluar dari bibir Bian saat pelayan yang baru saja mencatat pesanan mereka meninggalkan meja.

"Sampai kapan?"

"Aku bahkan baru bicara satu kali pada Sasa tentang rencana pernikahan kita, kamu ngga berpikir dalam waktu sesingkat itu putriku langsung setuju, kan?"

Salsabila Amira, gadis kesayangannya yang tumbuh menjadi sosok ceria meski hidup dalam keluarga tak utuh itu nyatanya memiliki sikap manja dan keras kepala. Bukan Alma yang salah mendidik, tapi dia punya andil membentuk sikap sang putri.

Rasa bersalah karena tak bisa selalu hadir untuk Sasa membuatnya memanjakan gadis itu, hal yang tentunya menjadi bahan perdebatan dengan Alma mengingat mantan istrinya menerapkan kedispilinan dalam mendidik anak mereka. Sesuatu yang aneh menurutnya, Alma yang dulu terkenal manja kini justru tak mau anaknya menjadi manja.

"Baiklah, tapi usahakan secepatnya. Aku juga di sini capek, terus-terusan ditanya kapan kita akan menikah."

Bian menyesap kopinya yang masih mengepul, meletakkan kembali di atas tatakan dia memandang perempuan yang menemaninya selama satu tahun ini. "Jujur sampai sekarang aku masih ngga ngerti, kamu masih muda kenapa harus dipaksa cepat menikah?" tanyanya tak habis pikir.

Dia pikir menjalin hubungan dengan perempuan yang mempunyai usia jauh lebih muda membuatnya tak perlu dikejar masalah pernikahan, bukan malah sebalikanya. Dimulai dari dua bulan lalu, kini tiap kali ke rumah Claudia dia akan ditanya kapan menikahi kekasihnya.

MENGULANG KISAHWhere stories live. Discover now