17. Aksara?

6.3K 1.1K 182
                                    

Hello everyone! Walupun aku digempur kemalasan, aku tetap ingat anak-anak bungsu aku ini.

Lebaran aku sudah selesai, saatnya aku kembali ke habitat aku.

Tetap stay di cerita ini ya geng! Terimakasih untuk semuanya para readers aku yang masih bertahan sampai di cerita ini. Terhitung sudah kalian nemenin aku selama 3 tahun ini.

Banyak banyak terimakasih deeh untuk para sumini-sumini akuuuu!

Sumini sudah siap buat bacaa?

Happy reading!

Eits! Tunggu duluuu, udah vote dan coment belum?

17. Aksara?

Akara duduk di kursi kamarnya. Menatap notebook di hadapannya. Tangannya bergerak mengambil permen susu dan memakannya. Ia membalikkan bingkai foto yang terpajang di atas mejanya. Lagi-lagi helaan napas terdengar sangat gusar. "Gue gak bisa lupain lo. Tapi gue harus lupain lo."

Aksara mengambil ponselnya. Tak ada lagi notifakasi spam dari Bianca.

"Gue kenapa sih?!"

"Bukannya gue seneng dia udah pergi dari hidup gue?"

Tidak tahu. Kenapa semenjak Bianca menjauh darinya, Aksara sering kebayang-bayang oleh gadis itu. Biasanya, gadis itu sangatlah cerewet. Sekarang, gadis itu menjadi sosok yang sangat pendiam dan selalu menghindarinya.

Lagi-lagi Aksara menghela napasnya dengan gusar. Perasaannya mendadak tidak tenang. Ia mencari kontak Jericho lalu mengubunginya.

"Ha? Apa?!"

"Lo dimana?"

"Di rumah. Kenapa? Kayaknya penting amat, bos?"

"Gak sih."

"Yaudah mau apa?"

"Di rumah lo ada siapa?"

"Gak ada siapa-siapa. Ada gue sama Gilang doang."

"Joshua?"

"Lagi kulineran."

"Kulineran?" Beo Aksara.

"Gue ke sana sekarang."

Tanpa menunggu jawaban dari Jericho, Aksara mematikan ponselnya lalu menyambar jaket dan kunci motornya yang tergeletak di atas kasur.

Ia menuruni anak tangga. Tanpa memperdulikan panggilan dari Mama dan Papanya. Sampai di depan pintu, Aksara berhenti karena Papa dan Mamanya ternyata mengikutinya.

"Aksara, kamu mau kemana malam-malam, nak?" Tanya Bu Indana.

Aksara menatap orangtuanya secara bergiliran. "Terserah Aksara mau ke mana."

"Aksara, kami orangtua kamu! Kami bertanya karna khawatir jika kamu kenapa-kenapa." Ucap Pak Arman dengan alis yang berkerut emosi.

Aksara menatap Papanya dengan datar. "Khawatir? Apa Papa dulu gak inget mau bunuh Aksara sewaktu Aksara masih SMP?"

"Aksara!" Bentak Pak Arman.

Aksara berdecih, sepertinya ia salah waktu untuk mengungkit ini. Itu kejadian lama, yang tak seharusnya Aksara ungkit.

"Aksara mau ke rumah temen." Ucap Aksara akhirnya memberitahu kemana ia pergi.

Bu Indana tersenyum. "Jangan lupa pulang, ya, nak. Jangan larut malam pulangnya."

"Aksara gak janji."

Bu Indana tersenyum getir mendengarnya. Apakah ia berhak menyalahkan keadaan? Apa ia berhak menyalahkan suaminya karena mendidik putranya terlalu keras? Apa ia berhak untuk marah saat ini? Ah tidak! Sepertinya sudah terlanjur dan terlambat. Usia Aksara yang hendak menginjak angka 19 tahun itu sangat mustahil untuk bisa di didik lagi jika sikap Papany masih seperti itu.

Hello, Aksara!Where stories live. Discover now