08. Tolak Belakang

6.5K 1K 44
                                    

08

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

08. Tolak Belakang

Aksara memarkirkan motornya di depan rumahnya. Ia menatap rumahnya yang menjulang tinggi. Lalu cowok itu menghela napas, melangkah memasuki rumahnya.

Saat ia hendak menaiki tangga menuju kamarnya, Aksara berhenti saat seseorang memanggil namanya.

"Aksara," Aksara menoleh.

Seorang pria paruh baya berjalan menghampiri Aksara. "Baru pulang jam segini? Darimana aja?"

"Main." Setelah mengatakan itu, Aksara melangkah menaiki anak tangga.

"Aksara, Papa belum selesai ngomong."

Lagi-lagi Aksara menghela napas, turun menghampiri Papanya. "Apalagi, Pa? Aksara capek, mau istirahat. Tadi Aksara dari Warkop sama temen-temen," jelasnya.

"Makan dulu. Mama kamu udah siapin makanan. Nungguin kamu dari tadi gak pulang-pulang." Ajaknya.

Aksara menatap Papanya lalu beralih menatap Mamanya yang menatapnya dari meja makan. Tatapan berharap untuk Aksara bisa makan bersama lagi.

Aksara menatap Papanya dengan mata yang seolah menahan tangis. "Duluan aja. Aksara udah makan tadi sama temen-temen."

"Yaudah, terserah kamu. Mau kamu kelaperan Papa gak peduli. Yang penting, Papa udah berusaha bersikap baik sama kamu walaupun kamu bersikap kurang ajar sama Papa." Ucap Papa Aksara dengan emosi. Aksara mengangguk tanpa pengelakkan.

"Besok gak usah repot-repot masak. Cukup porsi buat kalian berdua aja." Jawab Aksara.

Papa Aksara meraup wajahnya, hampir saja ia kelepasan. Ia tak mau membuat keributan dengan putranya. "Kamu kapan bagi rapot?"

Bagi rapot? Aksara terkekeh. Bukannya seharusnya ia tahu bahwa Aksara baru masuk sekolah satu bulan? Lantas mengapa mereka menanyakan perihal bagi raport?

"Kenapa?"

Papa Aksara memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Gapapa. Papa mau liat nilai kamu aja. Selama kamu jadi anak pembangkang begini, buat nilai kamu turun apa enggak."

Aksara berdecih. Papanya selalu mempermasalahkan nilainya tanpa sadar yang dilakukan Papanya itu salah. Selalu menekankan Aksara untuk menjadi sempurna dan lupa bahwa Papanya itu gagal menjadi seorang ayah untuk mendidik anaknya agar tidak benci kepada sosok seorang ayah.

Pembangkang? Nggak ada anak terlahir jadi pembangkang kalau bukan dari didikan orangtua.

"Aksara gak pembangkang!" Bantah Aksara.

"Tapi kamu udah mulai berani ngelawan sama Papa!" Sentak Papanya balik.

"Papa duluan yang mulai. Satu, dua kali masih Aksara anggap wajar. Seterusnya? Aksara muak di rumah ini!" Aksara menaiki anak tangga menuju kamarnya. Menutup kamarnya dengan keras hingga menimbulkan suara yang nyaring membuat Papa Aksara menggertakkan rahangnya emosi.

Hello, Aksara!Where stories live. Discover now