Part 14a: Adaptation

74.8K 6.1K 154
                                    

"Jadi Sakti... apa yang membuatmu tergila-gila dengan gadis kecil ingusan yang aku yakin dia pasti tidak tahu fungsi lain dari lidah selain untuk mencicip makanan?" Andrea, kakak perempuan Sakti tertawa terpingkal-pingkal di seberang sana, wanita itu memang sedikit ceplas-ceplos dalam berbicara dan kadangkala sedikit vulgar.

Sakti memutar matanya, pasti Andrea mendengar apa yang diceritakan Ibunya dan penuh semangat juang empat-lima menelponnya pada tengah malam.

"Ampun Kak, disitu jam berapa sih?" Sakti menguap dan kesal setengah mati dibangunkan dari tidurnya yang baru saja nyenyak beberapa menit karena laki-laki itu susah tidur, pikirannya selalu tertuju pada Alif yang tidur di atas ranjang.. membuatnya ingin menyentuh gadis itu.

"Jam delapan malam.. dan aku dengar kamu juga rela tinggal di rumah istrimu. Aku dengar rumahnya ehm.. sangat tidak layak ya?" Andrea kembali tertawa.

Sakti diam saja, sebetulnya disamping ia menahan nafsunya terhadap Alif, ia begitu menderita karena keringat membanjiri sekujur tubuhnya disebabkan tidak ada AC di kamar Alif ditambah kasur lipat tipis yang membuat badannya pegal-pegal setiap bangun tidur. Tapi semuanya ia tahan demi Alif yang menjanjikan padanya untuk pindah ke apartmen setelah dua minggu meninggalnya Pak Bas.

"Pak Sakti, berisik banget sih di bawah. Saya mau tidur." Alif tiba-tiba mengomel pada Sakti dan kata-katanya jelas terdengar oleh Andrea yang kali ini makin terpingkal-pingkal.

"Apa? Kamu tidur di bawah? Jangan-jangan istrimu belum diperawanin."

Sialan.. Puas banget kayaknya ngetawain.

"Aduh-aduh, Sakti... cinta benar-benar membuatmu buta ya." Andrea kembali meledek. Perut wanita itu sampai terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.

Sakti menggeram kesal, ia segera memutuskan sambungan dan menonaktifkan ponselnya, cukup sudah ia dipermalukan oleh kakaknya yang super usil.

***

Hari ini Alif kembali bekerja karena masa cutinya telah berakhir. Gadis itu rikuh karena pagi itu pertama kali ia berangkat ke kantor bersama-sama Sakti dengan menggunakan mobil dinas dan dilayani oleh seorang supir bernama Pak Karman yang sebenarnya lumayan ia kenal. Sang supir sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat pagi ini, tidak ada canda yang biasanya dilontarkan oleh laki-laki yang sedikit lebih tua dari Sakti beberapa tahun pada Alif.

"Pak.." Alif terdiam karena Sakti mengangkat alisnya dan menggeleng, mengingatkan agar tidak memanggilnya dengan sebutan 'Bapak' lagi.

"Mas Sakti..." Alif segera meralat ucapannya tetapi ia itu kembali terdiam karena lidahnya terasa janggal mengucapkannya.

"Kenapa, belum terbiasa ya?" seulas senyum muncul di wajah laki-laki itu kembali, " kalau di kantor tidak apa-apa apabila kamu memanggil saya dengan 'Bapak' tapi kalau sedang berdua dan di luar kantor tolong panggil saya 'Mas', ok?" Sakti mengambil tangan Alif dan menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu. Laki-laki itu bermaksud untuk memberi kekuatan pada Alif, mata istrinya masih diselimuti duka.

Alif melirik tangannya yang berada di genggaman laki-laki itu, ia masih merasakan perasaan ganjil itu tetapi kali ini rasa itu berangsur-angsur membuatnya tenang dan bahagia. Alif memutuskan untuk tidak akan melepaskan tangannya dari Sakti, ia memberikan kebebasan pada laki-laki itu untuk menyentuh jemarinya selama Sakti suka.

Dari kaca spion, sang supir yang mengamati dan menguping pembicaraan mereka berdua hanya tersenyum di dalam hati. Pak Karman pernah berfikiran negatif tentang Alif, tetapi ketika ia melihat bagaimana interaksi antara majikannya dan sang gadis, laki-laki itu mengubah pendapatnya. Mereka berdua adalah pasangan suami istri yang harmonis dan sedikit menggemaskan di mata Pak Karman.

My Young BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang