Part 1: Missunderstanding

302K 9.2K 371
                                    

"Do you want some coffee, Sir?" seorang pramugari cantik berkebangsaan Eropa menawarkan kopi pada seorang laki-laki tampan dengan tinggi 188 sentimeter, berambut hitam dan mempunyai tatapan mata tajam bagaikan elang.

Semenjak lepas landas dari Bandara Internasional Charles de Gaulle, sang pramugari tak melepaskan tatapannya dari si pria asia yang penampilannya sangat menarik baginya. Tetapi pria itu bersikap seolah tidak melihat gerak-gerik dirinya yang nyata-nyata menawarkan sesuatu yang lain.

"No, thanks." Rafardhan Sakti Al-Akbar, Sakti –nama kecil laki-laki itu– hanya mengggeleng pelan dan mengangkat tangan kanannya sejajar di depan dada bidangnya sebagai tanda menolak. Tak lupa senyum kecil ia lempar pada pramugari agar sang perempuan cantik bermata biru dan berambut pirang tidak tersinggung dengan beberapa kali penolakannya selama ia berada delapan jam di atas pesawat.

Bukan karena angkuh ataupun tidak suka dengan apa yang ditawarkan oleh sang pramugari, Sakti tidak mempunyai selera makan lagi setelah dihajar dengan pekerjaan-pekerjaan tanpa jeda istirahat selama perjalanan dinasnya ke Paris. Laki-laki itu bertugas mendampingi Sang Menteri dalam suatu negosiasi di negeri menara Eiffel. Sakti hanya sanggup menelan sekerat roti dan satu botol kecil air mineral, padahal kopi adalah minuman favoritnya, tetapi karena ingin beristirahat ia menghindari minuman pekat beraroma harum yang saat ini menerbitkan air liurnya.

Pramugari mengangguk maklum dan tersenyum sopan pada Sakti walau sedikit kecewa. Kemudian ia meninggalkan laki-laki itu dan melayani penumpang lain di kelas bisnis.

Sakti memijat pelipisnya, kepalanya terasa begitu berat... matanya menatap ke jendela pesawat yang hanya menyajikan pemandangan gumpalan awan berwarna putih. Laki-laki itu mencoba kembali tidur, karena ia tahu setelah sampai di Jakarta tugas-tugasnya akan menanti sebagai imbas gagalnya perundingan mengenai kebijakan kuota ekspor yang akan direncanakan diterapkan akhir tahun ini.

***

Bandara Internasional Soekarno Hatta, Terminal 2

Sakti melangkahkan kaki ke pelataran Bandara, ia menyapukan pandangan ke semua arah, mencari seseorang yang biasa menjemputnya. Waktu menunjukkan pukul 04.30 dini hari, Sakti maklum apabila Pak Baskara, pesuruh yang sesekali merangkap menjadi supir pribadinya, mungkin tertidur saat ini di dalam mobil.

Ketika Sakti hendak menghubungi Pak Baskara dengan ponsel, tiba-tiba suara yang ia kenal sebagai suara Pak Baskara menyapanya dari belakang.

"Maaf Pak.. lama menunggu saya?" dengan sigap laki-laki tua itu mengambil alih tas travel yang berada di tangan Sakti.

"Tidak juga, Pak Bas dari mana saja?" Sakti menepuk pundak laki-laki yang telah menjadi orang kepercayaannya semenjak ia menjabat posisi eselon tiga di suatu Kementerian Negara , kurang lebih lima tahun yang lalu.

"Tadi saya ke toilet dulu pak. Perut saya sedikit sembelit, tadi saya sudah lihat Bapak, tapi perut saya ini..." Pak Bas menghentikan ucapannya, lalu tertawa malu.

"Kalau sakit, kenapa tidak minta supir lain yang jemput?" Sakti segera mengambil kembali tas travelnya dari tangan Pak Bas, ia menyadari kalau wajah laki-laki tua ini sedikit pucat.

"Tidak enak pak.. saya sudah janji dengan Bapak kalau saya yang akan jemput." Pak Bas betul-betul merasa jengah dengan perlakuan atasannya terhadap dirinya. Kadang ia merasa sangat dimanja, dan hal itu menyebabkan munculnya rasa iri dari pesuruh-pesuruh lain yang melayani pejabat eselon dua lainnya. Walaupun telah menjabat eselon dua selama satu tahun terakhir, tingkah laku atasannya itu jauh dari kata bossy, sombong ataupun angkuh terhadapnya.

"Kalau Pak Bas tidak kuat nyupir, bilang ya. Gantian dengan saya." Sakti berjalan pelan menuju tempat parkir, menyesuaikan langkahnya dengan Pak Bas yang sedikit lamban.

My Young BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang