Fifteenth : The Truth

7.1K 467 38
                                    

Haii I dunno why ini wattpad nge delete in part ini mulu!

---
*Jesse's POV*

Pagi itu aku dibangunkan oleh suara samar-samar setengah berbisik dan sinar matahari yang menyusup masuk dari jendela.Aku mengerjapkan mataku dan melihat sekeliling.Kamar putih dan bau khas rumah sakit langsung menyambutku.

"Kau terbangun rupanya, Jesse?"

Aku menoleh ke arah suara yang begitu kukenal.Suara yang berat namun penuh kasih, suara yang begitu maskulin namun begitu membuatku merasa aman.

"Dad..?'kataku lirih.

Wajah Dylan yang begitu maskulin dan tampan, dengan senyumnya yang jarang nampak namun begitu hangat menyapaku.

"Hai, Jesse."katanya padaku sambil meletakkan pisau buah yang sedang dipakainya.Tangannya kekar karena dia rutin melakukan tinju seminggu tiga kali dan terdapat sebuah tato di pergelangan tangan kanannya karena dulu di memang mantan gangster."Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja, Dad.."kataku.Aku melihat sekeliling, tapi tidak menemukan siapa-siapa lagi kecuali Dad."Mana Jaden dan Brent?"

Dylan melanjutkan lagi mengupas buah apelnya.Dia tahu aku suka dengan apel."Temanmu itu harus pulang karena dia harus beristirahat.Semalaman ia menjagamu dan saat aku tiba pagi ini dia begitu kelelahan.Aku memaksanya untuk pulang.Brent sedang membeli makanan karena perutnya memang selalu kelaparan."

Aku tertawa sedikit.Tapi kemudian aku mengingat lagi mimpiku.

"Dad..Apakah kau kenal Jaden?"tanyaku.

"Aku tidak mengenal dia sebelum pagi ini."jawabnya.

"Nama lengkapnya Jaden Ratliff."kataku.

Saat itulah Dylan terdiam.Nama 'Ratliff' menyebabkan ia menyadari sesuatu.

"Dia keponakan Sam?"tanyanya padaku.Kelihatannya Dylan memang tidak mengetahui Jaden sebelumnya."Anak Vivian?"

"Dad, kau mengenal keluarga Jaden?"kataku.

Dylan menghela napasnya dan meletakkan sepiring apel yang sudah terpotong rapi di hadapanku."Tidak banyak yang bisa kuceritakan padamu mengenai keluarga Starling atau Ratliff."

Aku mengambil potongan buah apel itu dengan sebelah tanganku yang tidak diinfus.

Dylan melanjutkan kata-katanya."Seperti kau tahu, Samuel Starling, paman anak itu adalah temanku atau lebih tepatnya bocah yang saat itu berada di bawah naunganku sebagai seniornya di tempat kerja.Sam, begitulah aku memanggilnya, bukan anak yang pendiam, tapi aku tahu dia punya banyak rahasia dalam dirinya.Suatu kali, ia menceritakan masalahnya padaku dan aku bersedia membantunya.Saat itu ia masih di bawah umur, tapi keadaan rumahnya tidak memungkinkan dia untuk tinggal lebih lama disitu, jadi aku menyediakan tempat baginya, walau beberapa hari sekali ia harus kembali ke rumahnya.Setiap kali ia membutuhkan peranan wali, aku datang sebagai walinya, tentu saja tanpa sepengetahuan keluarganya.Kau bisa bilang, aku satu-satunya orang dewasa yang dipercayainya saat itu, selain kakak perempuannya yang bernama Vivian."

"Aku selalu membantunya sedapat mungkin dan mendukung segala tindak-tanduknya dengan caraku sendiri.Tapi ada satu hal yang saat itu tidak bisa kubantu, itulah saat dia bilang padaku bahwa dia menyukai kakak iparnya sendiri, suami dari satu-satunya keluarga yang peduli padanya."

Aku mendengarkan cerita Dylan dengan penuh minat.Kurasa karena itulah ia kemudian melanjutkan ceritanya lagi.

"Kukatakan padanya saat itu, bahwa perasaannya itu harus disingkirkannya jauh-jauh, karena dapat merusak apa yang ia jaga selama ini.Dia biasanya langsung menurut apa yang kukatakan dengan serius, tapi kali itu kelihatannya banyak yang ia pikirkan dan sulit baginya mengikuti apa yang kusarankan."

I Lived With My Own Way (Boy x Boy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang