Pilih Siapa?

By titisanaria

660K 170K 13.2K

Pilih Siapa ya? Memang belum pasti sih kalau kedua sasaran tembak Ambar mempunyai perasaan tertarik padanya... More

Satu
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
LIMA BELAS
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan

Dua

23.2K 5.1K 422
By titisanaria

Bu Joyo dan rombongannya tidak tinggal lama. Syukurlah kukuku yang hitam tidak memengaruhi rencana investasi beliau. Bu Joyo tampak gembira saat melihat desain, brosur, dan barang yang dipamerkan di showroom mungil kami. Beliau juga antusias berdialog dengan para tukang.

"Abi akan menghubungi kalian kalau berkas MOU-nya sudah siap. Jadi kalian bisa ke kantor kami untuk tanda tangan. Pengucuran dana akan dilakukan kalau tetek bengek administrasi yang menandai legalitas kerja sama sudah selesai."

"Terima kasih, Bu." Aku menjabat tangan Bu Joyo takzim, berusaha mengabaikan Abimana yang langsung berjalan keluar. Mungkin dia khawatir tangan halus mulusnya akan benar-benar terkena noda kalau harus bersentuhan dengan tanganku sekali lagi.

Aku dan Salwa menunggu sampai mobil Bu Joyo dan rombongannya pergi sebelum kompak berteriak seperti anak kecil, "Yesssss!" kami berpelukan sambil tertawa.

"Kita berhasil!" seru Salwa. "Selamat datang masa depan cemerlang!"

"Semoga 2 tahun depan John Wick bisa punya mesin baru yang garang!" aku mengucap doa keras-keras.

Tawa Salwa langsung menghilang. "Berhentilah buang-buang uang untuk rongsokan itu."

"Kamu nggak lihat body-nya mengilap gitu?" Aku langsung defensif. Tidak ada yang boleh menghina John Wick.

"Percuma body mengilap kalau mesinnya uzur, Mbar. Sama aja dengan laki-laki ganteng tapi kere. Biaya hidupnya kita yang nanggung. Aku sih ogah."

"Aku juga ogah menanggung biaya hidup laki-laki. John Wick beda."

"Whatever!" Salwa mengibas. "Aku tadi nggak sempat sarapan karena grogi. Sekarang aku mau brunch dulu." Dia mulai sibuk dengan ponsel. "Kamu mau makan apa? Biar aku pesen sekalian."

"Bukannya kue yang kamu bawa untuk disuguhin pada rombongan Bu Joyo masih banyak?" Tadi Salwa membawa berbagai macam kue.

"Aku mau brunch yang berat. Kuenya nanti dioper ke tukang aja. Aku nggak mau diabetes di usia muda. Kamu juga harus menjaga konsumsi gula. Ayah kamu dulu DM, kan?"

"Kita harus jaga konsumsi gula, tapi tukang kita nggak masalah kalau diabetes?" Cara berpikir sahabatku ini memang aneh.

Salwa terkekeh. "Nggak gitu juga kali, Mbar. Gado-gado atau rawon?"

"Gado-gado deh. Aku tadi sempat makan brownies 2 potong." Kalau Salwa tidak bisa makan karena grogi, aku tadi makan untuk menghilangkan kecanggungan.

Tawa Salwa meledak lagi. "Kamu sadar nggak sih kalau tadi si Abimana Ganteng terus lihatin kuku kamu waktu kamu menyuap brownies. Dia pasti mikir kalau kamu itu jorok banget. Wajah sih mulus, cantik, eh, jari-jarinya najisun banget."

Aku langsung cemberut. "Untung yang punya duit itu Bu Joyo, bukan dia. Kalau dia, aku yakin si Abimana langsung menolak berinventasi. Tipe laki-laki kayak gitu kan kebaca banget. Untuk inves pun harus cari partner yang kinclong-kinclong. Yang kukunya semeter dengan nail art yang aneh-aneh."

"Belum tentu juga gitu sih, Mbar. Dan jangan nyalahin dia karena kekacauan yang dibikin John Wick. Aku bilang juga apa, jual aja. Beli mobil baru, sisanya bisa buat inves di kantor kita biar usaha kita makin gede."

"Isi kepala kamu itu duit semua," omelku. "Ada hal-hal yang nggak bisa ditukar dengan duit, tahu!"

"Jelas bukan John Wick. Dia bisa banget ditukar jadi duit. Kalau kamu beneran cinta dia, foto dia, Mbar. Bikinin bingkai yang keren untuk kamu pandangin saat kangen. Setelah itu lego sama penawar tertinggi. Mobil baru bikin jari-jari kamu kelihatan menakjubkan. Abimana tadi pasti mikir kamu masak pakai kayu bakar dan harus menggosok panci sebelum ke kantor."

"Aku nggak peduli apa yang dia pikirin!" dengusku sebal.

"Kalau aku belum punya tunangan, aku pasti peduli." Salwa mendesah. "Dia cakep dan mulus banget. Kalau tinggal di Jakarta, dia pasti sudah jadi artis."

"Kamu pikir jadi artis itu modal tampang doang?" Ada-ada saja.

"Komposisi jadi artis itu adalah 99 persen tampang, Mbar," ujar Salwa yakin. "Bakat hanya perlu 1 persen aja. Bisa diusahain. Aktor kita yang beneran natural itu bisa dihitung dengan jari. Sisanya dipaksakan dengan rumus 99 banding1 persen tadi."

"Siapa yang bisa jadi artis?" Widi yang baru datang, membanting tas besarnya di atas meja.

"Staf Bu Joyo," jawab Salwa.

"Bu Joyo siapa?" tanya Widi lagi.

Aku berdecak. "Investor baru kita, Widi. Kamu pasti lupa ada jadwal kunjungan investor sampai baru datang kantor jam segini."

Widi terkikik. "Ooh... Bu Joyo yang itu toh. Aku nggak lupa, Mbar. Memang sengaja nggak datang, takutnya aku merusak suasana kalau tiba-tiba nge-joke, dan joke-nya nggak masuk. Selera humor orang kan beda-beda."

"Selera humor kamu sendiri tuh yang beda," sambut Salwa. "Ambar dan aku mau pesan makanan. Kamu mau makan apa, biar sekalian?"

"Aku mau sate, eh jangan sate deh. Masa pagi-pagi udah mau makan sate aja. Soto kayaknya enak. Eh, tapi tadi aku udah sarapan nasi goreng sih. Masih kenyang. Ehm... salad aja kali ya?" Widi balik bertanya.

"Mana aku tahu kamu mau makan apa, Wid!" Salwa langsung berteriak. "Kalau tahu, ngapain nanya. Nanya sama kamu itu bikin urat leher makin gede."

Widi tertawa lagi. "Ah, aku tahu mau makan apa!" Dia mengacungkan telunjuk. "Pisang goreng! Eh, tapi kan lemaknya tinggi ya? Nggak jadi deh. Aku bikin teh tawar aja di pantri." Widi melenggang ke bagian belakang kantor.

Aku mengusap punggung Salwa yang tampak hendak mengamuk. "Widi itu dilahirkan untuk menyadarkan kita kalau hidup itu cobaannya macam-macam dan bisa datang dari mana saja."

"Aku curiga ada kabel yang putus di kepalanya. Untung desainnya bagus banget, kalau nggak, aku pasti sudah mutusin hubungan dengan dia."

Aku pura-pura menguap. Salwa tidak akan pernah memutus hubungan dengan Widi. Meskipun selalu bertengkar, mereka sangat dekat.

Salwa benar tentang bakat gambar Widi. Pelajaran menggambar adalah satu-satunya pelajaran yang bisa membuat Widi mendapatkan nilai lebih tinggi daripada aku dan Salwa sejak SD. Widi tidak bodoh. Dia hanya malas berpikir. Dan selera humornya tidak wajar. Aku yakin dia satu-satunya orang yang menganggap bahwa memotong ekor cicak itu lucu.

"Cicaknya nggak akan mati kok," katanya membela diri saat diomeli Salwa. "Nanti juga tumbuh ekor yang baru."

Aku baru saja hendak meninggalkan Salwa dan menuju meja kerjaku, ketika melihat mobil Pandu berhenti tepat di sebelah John Wick. Aku tadi menghubunginya saat John Wick ngadat di jalan.

"Dua laki-laki ganteng sebelum makan siang." Salwa berkacak pinggang di dekatku. Dia ikut mengawasi Pandu keluar dari mobilnya dan langsung membuka kap John Wick. "Pagimu beneran sibuk."

"Dua laki-laki ganteng yang nggak tertarik padaku," gumamku meralat. "Satunya ketakutan saat menatap kukuku yang hitam, sedangkan yang lain nggak pernah melihat aku sebagai perempuan. Kalau Pandu juga jatuh cinta padaku seperti aku tergila-gila padanya saat berumur 15 tahun, kami mungkin sudah menikah begitu aku selesai wisuda dan sekarang sudah punya paling nggak 2 anak. Hidup beneran nggak adil. Aku dipandang jijik karena kukuku hitam. Kuku si Pandu lebih hitam, tapi dikejar-kejar beberapa crazy rich Surabayan yang cantiknya nyaingin bidadari."

Salwa ganti menepuk punggungku. "Cinta monyet itu hadir untuk mengajarkan kita mengatasi patah hati. Syukurlah Pandu nggak tertarik padamu, karena waktu itu aku juga naksir berat padanya. Kita nggak harus musuhan karena laki-laki."

Aku tertawa. "Kayaknya hanya Widi yang nggak pernah tertarik sama Pandu."

"Seleranya kan aneh."

Aku meninggalkan Salwa untuk menemui Pandu yang sudah mengutak-atik mesin John Wick.

"Kamu nggak harus datang sekarang. Tadi aku kan sudah bilang kalau John Wick udah bisa nyala lagi."

"Aku bawa dia ke bengkel dulu ya," Pandu menjawab tanpa menoleh. "Hari ini kamu keliling pakai mobilku saja."

Pandu adalah pengelola bengkel ayahku. Dia yang bertanggung jawab di sana setelah ayahku meninggal tiga tahun lalu. Waktu masih sekolah di STM, Pandu praktik di bengkel ayah. Setelah jadwal praktik selesai, dia keterusan nongkrong di sana. Selama kuliah pun dia tidak pernah meninggalkan bengkel. Waktu-waktu dia tidak di kampus, dihabiskannya di bengkel. Dan setelah wisuda, dia tidak mencari tempat kerja bonafid seperti lulusan teknik mesin yang lain. Dia memilih menjadi tangan kanan Ayah.

"Aku suka membongkar mobil," katanya saat aku bertanya mengapa dia tidak memilih melamar pekerjaan di Pertamina atau Chevron. Aku tahu Pandu cerdas. Nilainya pasti bagus dan sangat memadai untuk dipakai melamar pekerjaan di perusahaan besar. "Kerja di bengkel ayahmu sesuai dengan hobiku. Nggak semua orang bisa kerja sesuai hobi mereka."

"Bengkel Ayah lumayan besar, tapi gajinya tetap saja nggak sebesar kalau kamu kerja di perusahaan asing, atau BUMN."

"Uang banyak kalau nggak enjoy juga nggak ada gunanya kan, Mbar?" jawabnya enteng.

"Gimana bisa enjoy kalau nggak punya uang?" gerutuku. "Untuk enjoy, kita harus punya cukup uang."

"Sedikit atau banyak itu tergantung cara kita melihat dan memanfaatkannya sih."

Sejak itu aku tidak pernah lagi membahas soal pekerjaan bonafid dengan Pandu. Dia toh memang terlihat senang-senang saja mengelola bengkel. Apalagi hubungannya dengan almarhum Ayah sangat dekat. Dia sudah dianggap sebagai anak laki-laki yang tidak dimiliki Ayah.

Dua tahun sebelum Ayah berpulang, Pandu sudah memegang bengkel secara penuh karena kesehatan Ayah tidak memungkinkannya bekerja secara normal. Ayah menderita diabetes dan penyakit itu sudah merusak ginjalnya juga.

Aku tidak heran dan tak menolak saat Ayah memberitahu jika dia mewariskan bengkel itu kepada Pandu dan aku. Pembagiannya 50:50, dengan Pandu sebagai pengelola. Kalau ada yang bisa memajukan bengkel, tentu saja Pandu lah orangnya. Aku lumayan mengerti mesin karena sejak kecil selalu bermain di bengkel, tetapi tidak berniat mengurus bengkel sekaligus toko onderdil kendaraan itu.

Pandu akhirnya menutup kap John Wick. "Kunci mobilku ada di dalam." Dia menunjuk mobilnya. Keningnya berkerut saat melihat jariku. "Biar cantik, kalau kuku kamu kotor gitu, laki-laki yang lihat mundur sebelum PDKT, Mbar. Pakai sarung tangan atau apa kek saat pegang-pegang mesin. Atau tinggalin aja mobil kamu di jalan biar aku atau anak-anak di bengkel yang ngurusin. Kalau kamu cari jodohnya beneran niat, penampilan tangan dijaga dong." Seringainya lebar.

Aku memutar bola mata. Bahkan Pandu pun ikut-ikutan membahas kuku. Menyebalkan. "Kuku kamu tuh lebih hitam!"

"Standar laki-laki dan perempuan untuk urusan kuku kan beda, Mbar. Laki-laki kalau tangannya kotor dan kasar itu pertanda dia pekerja keras. Kalau perempuan, itu artinya dia nggak bisa merawat diri."

"Nggak usah bahas kuku lagi!" Aku buru-buru meninggalkan Pandu yang tertawa melihat reaksiku.

Continue Reading

You'll Also Like

751K 23.4K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
60.2K 2.9K 23
Rafael William Struick,seorang pemain bola Keturunan,yang kemudian sumpah WNI.Hingga dirinya bisa membela Timnas Indonesia.Pemain berdarah Indonesia...
217K 411 16
hai gays cerita ini khusus menceritakan sex ya, jadi mohon yang pembaca belom cukup umur skip saja☺️🗿, sekumpulan cerita dewasa 18++
916K 15.3K 44
Story Pertama😘 Renata dan kawan-kawan datang ke Desa Kamboja hanya untuk melakukan kegiatan KKN yang sudah ditentukan oleh pihak kampus, projak yang...