.
.
.
_________________________________________
Acha memilih untuk tinggal di kamar hotel. Bagaimana tidak? Apakah ia harus diam di rumah dengan keadaan tadi?
Ya, tadi, setelah orang tuanya pulang, mereka mengadakan pesta kecil-kecilan di taman belakang rumah. Siapa yang usul? Tentunya Eca. Lalu kenapa Acha pergi dari sana? Naasnya, Acha tidak diajak sama sekali.
Acha duduk di balkon kamar hotel itu, sambil menatap hamparan bintang di atas sana. Kapan ia akan bahagia? Apa jalan takdirnya hanya seperti ini? Acha iri sama dia. Dia bisa mendapatkan kebahagiaannya.
Berjam-jam hanya Acha habiskan untuk menatap sang rembulan malam dengan bintang-bintang kecil di atas sana. Apa ia akan jadi bulan? Terbesar namun hanya sendiri. Paling terang dan sang raja malam hari namun tidak memiliki teman.
Acha merogoh ponsel di kantong celananya. Mengotak atiknya sebentar, lalu ....
"Hola Bunda sayang. Gimana kabarnya? Baik dong."
"Bunda kenapa nggak ajak Acha tadi? Bunda pilih kasih sama Acha, ya? Salah Acha apa sih sebenarnya? Acha juga pengen ngerasain kebahagiaan, Bun."
Air mata Acha mulai menetes, tangan kirinya meremas kuat ujung baju yang dikenakannya. Sedangkan tangan kirinya memegang ponsel.
"Acha capek gini terus. Acha pengen cerita banyak sama Bunda."
"Oh iya, kenapa Bunda blokir nomor Acha? Bahkan akun Acha yang lainnya pun Bunda blokir. Eh, ini sebenarnya Bunda blokir atau gimana? Kok Acha masih bisa kirim ginian, sih?"
"Bun, kalian jahat, ya? Tahu nggak? Eca jahat banget sama Acha. Dia udah ambil kalian, Akla juga dia ambil."
"Bun, kalau Acha pergi, Bunda akan kangen, nggak? Akan nangis nggak? Nggak, ya? Nggak papah deh, yang penting Bunda sayang sama Acha, itu udah cukup."
"Bun, penyakit Acha tambah parah. Udah masuk stadium tiga. Acha tambah takut Bunda. Acha pengen ditemani kalian saat ini. Acha pengen bilang ke kalian, tapi Acha takut. Apa kalian akan peduli? Atau bahkan kalian malah akan bilang kalau Acha bohong? Acha takut."
"Acha sayang Bunda, sayang kalian. Dan semoga kalian juga sama."
"Ac--"
BRAKK!!
*****
Acha terbangun dari tidurnya, ingatannya kembali pada kejadian malam tadi. Air matanya kembali menetes, ia menangis tanpa suara. Acha bangkit dari tidurnya dan memutuskan untuk duduk. Ia menoleh ke samping kirinya. Di sana, di sana ada seorang laki-laki yang sebetulnya ia kenal. Laki-laki itu telah merebut kebahagiaannya, laki-laki itu telah merusaknya, mengambil mahkotanya.
Acha kotor, ia tidak bisa menjaga diri. Acha mengambil sebuah jam yang tergeletak di lantai, yang Acha yakini adalah jam laki-laki itu. Itu akan menjadi buktinya suatu saat nanti, jika terjadi apa-apa.
Dengan sempoyongan, Acha berjalan mengambil ponsel dan barang-barang yang sempat ia bawa. Jangan sampai ada yang ketinggalan!
Seberusaha mungkin Acha menutup kesedihannya. Orang lain tidak boleh melihat seperti ini. Acha menuju resepsionis yang tetap standby di tempatnya.
"Maaf, data diri tentang penyewa kamar hotel nomor 213 untuk tadi malam jangan diumbar. Jika ada yang menanyakannya jangan beritahu dia."
Resepsionis itu mengertukan keningnya bingung. Namun, saat Acha menyerahkan sebuah kartu identitas baru resepsionis itu mengangguk mengerti. "Baik Bu."
"Makasih, saya pamit."
Acha memasuki mobilnya dan langsung menjalankannya ke sebuah tempat. Acha menghentikan mobilnya di halaman sebuah rumah yang cukup megah dengan lantai bertingkat dua.
Acha turun dari mobilnya dan berjalan menuju pintu rumah itu. Lalu mengetuknya dengan brutal.
Klek
Acha langsung saja memeluk Devano. Ya, rumah itu adalah rumah keluarga Devano. Acha mengetahuinya karena sebelumnya Devano sudah memberi tahunya. Devano tersentak kaget ketika mendengar isakan tangis dari Acha.
"Hiks... hiks... hiks... Van. Gu-gue... hiks hiks hiks."
Devano melepas pelukannya dan menatap Acha bingung. "Hei! Lo kenapa?"
"Gu-gue--'
"Kita masuk dulu."
Devano menuntun Acha memasuki rumahnya. Sampai di ruang keluarga, Acha mendapati Mama dan Papa Devano. Acha berlari dan langsung memeluk Santi, Mama Devano. "Mama!"
Santi menjadi bingung, namun tak urung membalas pelukan Acha. Santi menatap Devano bertanya, Devano hanya mengedikkan bahunya tidak tahu. Sejujurnya, Acha itu sangat terbuka kepada Devano dan keluarganya, kecualu tentang penyakitnya.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Anwar, Papa Devano, dengan lembut. Ia menarik Acha ke dalam dekapan hangatnya.
"A-Acha kotor, Yah. Acha nggak punya kehormatan lagi. Acha ng-nggak bisa jaga diri Acha. Hiks hiks hiks."
Devano langsung menggebarak meja di depannya, Santi menggelengkan kepalanya tidak percaya. Sementara Anwar, tangannya yang mengelus rambut Acha kini terkepal kuat.
"Maksud kamu?"
Bukannya tidak mengerti, tapi Anwar hanya ingin memastikannya saja.
"Acha ... Acha di-diper ... di--"
Anwar langsung mendekap kuat tubuh Acha tidak membiarkan Acha melanjutkan ucapannya. Nggak! Tidak mungkin! Acha, sahabat anaknya, yang telah ia anggap anaknya sendiri. Anak gadisnya kini telah dirusak orang.
Devano langsung emosi, ia menghampiri Acha dan Papanya dan langsung menarik kasar tangan Acha supaya mengahadap ke arahnya.
"Lo jangan main-main! Gue nggak suka candaan kayak gini Cha!" teriaknya murka.
Acha menggeleng. "Ac-Acha nggak bo-hong. Acha-- ACHA UDAH KOTOR!! JANGAN SENTUH ACHA!! ACHA UDAH KOTOR!! ACHA KOTOR!! ACHA BUKAN PEREMPUAN BAIK BAIK!! ACHA KOTOR!!"
Acha menjauhkan tubuhnya dari Devano. Ia berteriak histeris. Ini bukan salahnya! Jika bisa memilih, Acha juga tidak mau seperti ini. Ini seperti mimpi buruk yang sialnya adalah kenyataan.
Devano ikut menangis, air matanya luruh. Tangannya menarik lembut Acha ke dalam pelukannya. Sahabatnya kini hancur. Gadis yang ia cintai selama ini telah kehilangan mahkota.
Ya, sejak dahulu, Devano telah menyukai Acha bahkan mencintai Acha. Acha saja yang tidak peka dan dibutakan cintanya dengan laki-laki sialan yang kemarin menampar Acha.
"Lo nggak kotor, lo adalah perempuan terbaik bagi gue setelah Mama. Lo nggak boleh sedih, ada gue."
Santi dan Anwar yang melihat keduanya ikut menangis. Anwar telah gagal menjaga Acha, meski bukan anak kandung, tapi Acha sudah ia anggap anaknya sendiri. Begitu pula dengan Santi.
Anwar juga menenangkan Santi yang kini menangis sesengukan.
Santi tahu bahwa Devano anaknya menyukai Acha, Santi tahu itu. Tapi, ia tidak mau ikut campur dengan hubungan keduanya. Santi takut akan merusak persahabatan keduanya.
Devano terus menenangkan Acha. Bukan hanya Acha yang hancur. Hatinya pun hancur. Ia gagal menjaga gadis yang dicintainya. Ia gagal! Devano tidak becus!!
Bruk!
______________________________________
PART INI SELESAI REVISI TYPO, JIKA KALIAN MENEMUKAN BANYAK TYPO ITU ARTINYA PARTNYA BELUM REVISI!!#
Revisi : 05 November 2021 ✅
Salam hangat,
Yesycha Arun Mangopo👑