Malam ini kelas XII IIS 4 mengadakan acara kecil-kecilan di sebuah kedai angkringan. Selain katanya, menambah tingkat solidaritas, mereka merayakan kedatangan teman baru. Karena ini pertama kalinya buat kelas mereka yang kedatangan murid baru.
Satu kelas ikut tanpa terkecuali. Para cewek ada dikubu sebelah kanan, mengumpul di sekitaran meja panjang. Sedangkan para cowok duduk dikubu sebelah kiri.
"Sapi, Sapi apa yang bisa ngomong?" tanya Pahlevi memulai dengan tebakan.
"Sapi ajaib!" jawab Meyka semangat.
"Sapi moo ...."
"Sapi jaman now."
"Sapi—kir aja sama lo sendiri, emangnya ada yang bisa ngomong!" celetuk Ocha ngegas.
Semua yang ada di sana terbahak.
Ocha sebenarnya sangat malas untuk ikut acara malam kali ini. Semua karena paksaan Rangga yang mengharuskan dirinya untuk ikut, memang dasar cowok menyebalkan.
"Yee, sewot aja lo, Tante girang," protes Pahlevi dongkol. Pacar sahabatnya memang laknat, menghancurkan acara tebak-tebakkannya.
"Jawabannya adalah ...." Pahlevi sengaja menggantungkan ucapannya. "Sapi—ra Anastasya," lanjutnya kemudian.
"Yee, sialan!" celetuk cewek berambut gelombang, yang ternyata adalah si pemilik nama.
"Tuh 'kan bisa ngomong," kata Pahlevi yang diikuti gelak tawa dari semuanya.
"Ciki, ciki apa yang berhadiah?" tanya Awil memulai tebak-tebakkan miliknya.
"Ciki panser."
"Ciki komo."
"Salah," sahut Awil cepat.
"Apa dong?"
"Jawabannya adalah, ciki jayguar!" seru Awil.
"Ciki jaguar, bego ... Ciki Jayguar mah nama gue." Jay si ketua kelas berucap ketus, lalu sebelah tangannya ia gunakan untuk memiting leher Awil yang kebetulan duduk di sebelah kanannya.
"Jangan-jangan emang bener lagi kalau emak lo, dapet lo itu dari ciki jaguar," celetuk yang lain membuat semua tertawa.
"Eh, gue sekarang!" seru Meyka, "Bentuknya keriting kayak mie, tapi gak bisa dimakan. Apa itu?"
"Hah?"
"Apa ya?"
"Apa sih? Nyerah deh."
"Oke, jawabannya itu ... rambut Awil," kata Meyka sambil terkekeh menunjuk rambut Sang pacar.
Mereka semua bergeming mendengar jawaban Meyka.
Sedangkan Awil memberi pelototan tajam kepada Meyka, membuat cewek itu hanya menyengir dan melayangkan tanda peace pada cowok berambut ikal itu. Menimbulkan gelak tawa dari semuanya.
"Gue sekarang! Satu kata yang menyeramkan dapat menghantui bayang-bayang pikiran. Apa itu?" Kali ini cowok bernama Ismail mengangkat suara, menyerukan tebak-tebakan miliknya.
"Hantu."
"Iblis."
"Setan," jawab Cara ketus, seluruh atensinya ia tunjukkan untuk Pahlevi.
"Weh, selow dong, Mah," sahut Pahlevi.
"Salah semua, jawaban yang bener itu ... jeng ... jeng ... jeng." Ismail menyuarakan seakan-akan membuat backsound penegang.
"Mantan," lanjutnya sambil menekankan kata itu.
"Ismail bin Mail, si manusia galon," celetuk Rangga yang baru mengangkat suara.
"Gagal move on!" sambung yang lain berbarengan.
"Tuh, Nai. Balikan gih, sama si Ismail bin Mail, hidupnya ngenes banget abis putus dari lo," kata Jay, membuat cewek bernama Naila hanya mengerucutkan bibirnya.
"Oh ... Naila mantanku tersayang. Mengapa engkau bagai bendera yang terus berkibar dihati ini." Ismail menepuk-nepuk dadanya—drama, membuat Naila bergidik ngeri akan kewarasan mantannya.
"Selain Mail Naila, yang mantanan ada Cara sama Kean," kata Liona.
"Heh, mereka berdua gak pernah pacaran ya," bantah Pahlevi.
"Panas, euy."
"Hareudang, hareudang, hareudang. Panas, panas, panas. Selalu, selalu, selalu, panas dan hareudang."
Beberapa cewek menyanyikan potongan lagu berjudul nestapa. Meledek Pahlevi yang sekarang tengah melototi para cewek satu persatu.
"Kenapa jadi pada bahas mantan sih," kata Ocha pelan.
Cara yang mendengar keluhan Ocha pun menyahut. "Gak tau, nama gue juga dibawa-bawa lagi."
"Padahal dulu lo cuma temenan 'kan sama dia?" tanya Ocha.
"Iya, emang dasar pada ngadi-ngadi."
Di saat sudah puas dengan tebak-tebakan konyol. Beberapa dari mereka sudah ada yang pamit untuk pulang.
"Gue caw duluan anterin si Kety, nanti kalau cewek ada yang butuh tebengan, calling calling aja."
"Cat, bukan Kety," protes seseorang yang bernama asli Catherine.
"Sama aja, Kety. Dah ayo cepet balik."
Mereka berdua pergi disusul yang lainnya. Dan hanya tersisa sebagian yang masih memilih untuk tetap di kedai angkringan, termasuk Ocha dan Rangga. Sedangkan Meyka dan Cara sudah pulang lebih dulu.
Ocha membuka ponselnya, segera mengirim pesan untuk Rangga.
Rangganteng
Ga, ayo balik. Gue ngantuk.
Bentar.
Ocha menghela napas, menatap Rangga dengan sebal. Pasalnya cowok itu masih asik dengan obrolan receh para cowok.
Ocha berdiri dan berjalan menuju kamar mandi kecil. Mencuci muka untuk menghilangkan rasa kantuknya. Dirasa lebih baik, Ocha segera keluar dari sana dan hendak kembali mengumpul. Tapi seketika langkahnya terhenti saat melihat pemandangan yang tak enak dilihat.
Ocha menggerutu. Padahal baru ditinggal sebentar, tapi kenapa Sesil tiba-tiba duduk didekat Rangga. Menyebalkan.
Ocha membelokkan langkahnya ke pintu keluar, segera berjalan ke parkiran khusus motor yang pas-pasan. Lalu mengirim pesan untuk Rangga.
Rangganteng
Gue tunggu di parkiran.
Lima menit, masih belum ada tanda-tanda balasan pesan darinya.
Sepuluh menit, tetap sama.
Ocha menghela napas berat, menatap layar ponsel yang sudah menunjukkan pukul 21.15.
"Gue bisa balik sendiri," kata Ocha bermonolog. Lalu berjalan menjauhi kedai angkringan.
Masih berharap jika Rangga akan menyusul dirinya yang sedang dalam mode merajuk—seperti kejadian yang pernah dilihatnya secara langsung.
Ocha menatap jembatan yang ada di depannya, sepi dan terlihat horor. Refleks ia menelan salivanya susah payah. Lalu Ocha menengok ke belakang, tidak ada kendaraan yang hendak melintasi jembatan di depan sana. Ia juga baru menyadari bahwa sudah berjalan sejauh ini.
Apa sebaiknya Ocha berbalik, dan kembali ke kedai angkringan untuk menemui Rangga? Atau tetap berjalan dan berharap bahwa cowok itu akan menyusul?
Ocha menggeleng kuat pada opsi pertama. Menghela napas panjang dan memantapkan hati untuk tetap melewati jembatan itu.
Rasa lega kembali menyergap saat berhasil melewati jembatan suram itu. Tapi kejanggalan lain muncul saat dirinya merasa ada mobil yang sedang menepi di belakangnya.
Ocha menghentikan langkahnya sejenak, merapalkan doa agar tidak ada kejadian buruk yang menimpanya saat ini. Detiknya berikutnya, Ocha memberanikan diri untuk menoleh, tapi terlambat —saat ada tangan kekar yang membekapnya dengan sapu tangan.
"Mmmphhh."
Berusaha memberontak pun percuma. Ocha sudah menghirup aroma obat bius yang ada di sapu tangan itu. Sedetik kemudian tubuhnya lunglai karena kesadarannya mulai hilang.
🐁🐈
Bekasi, 03Des20.