Pop the Question

By sephturnus

329K 47.5K 7.8K

R: 16+ (Terdapat beberapa umpatan kasar dan adegan ciuman) PART LENGKAP ✓ #1 BADASS LOVE SERIES *** Memiliki... More

BADASS LOVE SERIES
Prolog
Aksi 1 - Mirip Burung Puyuh
Aksi 2 - Yang Penting Ganteng
Aksi 3 - Masa Harus Begini?
Aksi 4 - Semoga Nggak Galak
Aksi 5 - Bukan Urusan Lo
Aksi 6 - Tapi Jaga Kepemilikan
Aksi 7 - Harus Sama Kamu
Aksi 8 - Nggak Penting Juga
Aksi 9 - Sekaligus Kasih Hadiah
Aksi 10 - Hukum Timbal Balik
Aksi 11 - Semesta Berkata Sebaliknya
Aksi 12 - Sukses Bikin Pusing
Aksi 13 - Kok Beda Banget?
Aksi 14 - Masih Kayak Dulu
Aksi 15 - Mimpi Kamu Apa?
Aksi 16 - Jadi Pengganggu Kamu
Aksi 17 - Nggak Cuma Kamu
Aksi 18 - Penerjemah Isi Kepala
Aksi 19 - Yang Bikin Nagih
Aksi 20 - Nggak Ada Relasinya
Aksi 21 - Tidak Bisa Mengelak
Aksi 22 - Bakal Tanggung Jawab
Aksi 23 - Artinya Kamu Manusia
Aksi 24 - Bakal Membawa Perubahan
Aksi 25 - Mulai Merasa Ketololan
Aksi 26 - Kalau Berani Ngelanggar
Aksi 27.2 - Kondisi Kita Sekarang
Aksi 28 - Asal Tahu Batasan
Aksi 28.2 - Asal Tahu Batasan
Aksi 29 - Buat Selalu Ada
Aksi 30 - Pop The Question

Aksi 27 - Kondisi Kita Sekarang

5.4K 1.1K 419
By sephturnus

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Oceana bisa dikenal lebih banyak orang💛

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

BAGAI SEORANG Bos besar, kedua tangan Oceana terlipat di dada. Dagunya agak terangkat, beberapa ketukan di lantai pun dilakukan. Norta akhirnya menyetujui soal sepatu, jadi mereka menghabiskan waktu nyaris sejam untuk memilah-milah.

"Nor," kata Oceana. "Ada tiga pilihan sepatu di sana. Coraknya pun beda-beda. Kamu nggak mau ambil semuanya? Lumayan, bisa kamu pake ganta-ganti."

"Astaga, Teteh...." Norta berhenti mencopot tali sepatu, matanya tertuju ke Oceana. "Satu aja saya udah nggak enakan. Gimana mau tiga?"

"Kan, saya yang nawarin. Beda urusannya kalau kamu ujug-ujug minta ke saya."

"Iya tetep aja, Teteh Ana." Setelah sepatu terlepas, ada kaus kaki hitam tipis di kaki Norta. "Saya main jujur aja, ya, ke Teteh. Dari tadi saya mikirin, kok rasa-rasanya saya nggak jauh beda sama brondong simpanan? Dibebasin pake mobil Teteh, diajak nge-mall bareng, sampe dipaksa buat beli apa aja."

Norta agak bangun dan celingak-celinguk pada keadaan sekitar. Kondusif. Ada Oceana serta Mbak-mbak penjaga yang melongo karena tingkahnya.

"Iya, saya tahu Teteh begini, kan, karena soal bonus itu. Tapi tetep aja, saya mikirnya gitu. Ah, amit-amit, deh, Teh. Nanti misal Teteh di masa depan jadi Ibu-ibu sosialita, jangan main simpanan gitu ya? Otak manusia kadang lebih licik dari Jin Iprit. Takutnya Teteh terlena, terus brondongnya main gila morotin uangnya."

Tidak lama, satu sentilan mendarat di ubun-ubun Norta. Oceana mendengkus. "Kamu ini mikirnya berasa ke Merkurius sampe Neptunus. Jauh banget. Udah, sekarang tugas kamu cuma milih mau sepatu yang mana." Sudah pukul tiga lebih ketika Oceana melirik arlojinya. "Abis ini kita cari makan. Saya laper."

Mbak-mbak penjaga itu pergi selepas diperintahkan Oceana. Sedangkan Norta, dia sudah mengambil satu pasang sepatu dari tiga boks berbeda lalu menaruh semuanya ke sebelah. Norta memiringkan badan. "Waduh, bagus-bagus semua, ya."

Telunjuk Norta mendarat di sepatu paling kanan. "Mulai dari sini aja, deh. Ca—"

"Nor, kamu lagi ngapain, sih?"

"Sebentar, Teh, ini saya lagi proses memilih. Tunggu ya!" Hitungan ketiga, Norta pun memulai. "Cap cip cup, bunga kuncup. Pilih mana yang harus dicup?"

Selama itu, telunjuk Norta berpindah dari satu sepatu ke yang lain. "Saya bingung, saya resah. Bantu saya buat ngecup. Satu, dua, tiga, yang mana harus saya...."

Norta menutup matanya. "Cup!" Lalu membuka matanya. "Nah, ini. Saya pilih sepatu ini, Teh!"

"Bagus...." Oceana manggut-manggut. "Lebih bagus lagi, kamu pilih tiga-tiganya."

"Ya ampun, Teh. Jangan mulai lagi dong."

"Kenapa coba?" Mata Oceana terpaku pada kuku miliknya. "Ngabisin duit buat beli tiga sepatu di sini nggak bakal jadi masalah, lho. Anggap aja kamu bantu saya ngabisin duit karena bulan ini saya mager belanja. Lagian harga sepatu di sini rata-rata 2 atau 4 jutaan. Eum ... cukup affordable lah."

"Teteh mah, di mana-mana orang pada suka hemat jajan biar nabung. Eh ini, malah ngabisin uang. Malah minta bantuan orang pula ngabisinnya."

Cibiran Norta bikin Oceana memiringkan senyumnya. "Kamu belum tahu aja gimana Mami saya sih. Beliau bakal marah kalau pengeluaran perbulan saya di bawah 10 juta."

"Astaga...." Mata Norta kedap-kedip. "Saya mendadak jiper kalau mau sandingan sama Teteh. Udahlah, kayaknya saya harus relain Teteh buat Mas Lix. Keadaan maksa saya buat jadi umbi-umbian di hadapan Teteh."

Oceana tertawa.

Sambil memegang sepatu yang dipilih, Norta bangun. "Kamu, sepatu, saya pilih kamu berdasarkan pertimbangan yang amat berat. Lebih berat dari perkara Dilan soal nahan rindu. Ada dua kandidat sepatu yang rela nggak rela harus saya buang. Demi siapa? Ya, kamu. Jadi ... kamu jangan berani-beraninya buat ngecewain saya, ya!"

Dengan aksi Norta yang begitu, sudah tidak buat Oceana bingung lagi. Norta laki-laki yang unik. Dia juga tidak pernah malu buat jadi dirinya sendiri ketika bersama orang lain. Namun, yang namanya manusia, kadang ada—yang suka lupa memanusiakan manusia lain.

Maka, saat ucapan Norta memengaruhi orang lain untuk menoleh risih, Oceana membalas, "Nggak sedikit dari mereka yang berusaha keras buat melihat dunia. Tapi kalian yang punya mata, kok, melihat manusia lain secara nggak manusiawi gitu?"

Mereka gelagapan dan buru-buru kabur.

"Teh...."

"Nor, santai," kata Oceana. "Kalau kamu mikir saya emosi atau apa-apa, hapus sekarang. Karena kamu bakal kena remedial. Saya biasa aja." Maju selangkah, Oceana menepuk sekali bahu Norta. "Saya cuma nggak suka cara mereka yang menganggap beda itu aneh. Bukan unik."

"Saya lebih ke bodo amat sih, Teh," balas Norta. "Karena gimana, ya, jadi manusia itu kadang serba salah. Jadi manusia yang berhati iblis, dikatain macem-macem. Pas jadi manusia berhati malaikat, nggak sedikit juga yang mereka julit sana-sini. Intinya, Teh, hidup kita bukan sebatas dengerin omongan orang. Karena nggak bakal habis."

"Saya juga nggak suka dengerin omongan orang ke saya, Nor. Tapi sumpah, kalau itu udah urusannya sama orang, apalagi yang kenal sama kita...," jeda Oceana. "Saya nggak bisa. Kayak naluri saya langsung bergerak buat lindungi mereka gitu. Aneh kan saya sok heroik gini?"

Saat ingin menjawab, Norta lebih dulu teralih oleh getaran ponsel dari saku celananya. Oceana mengernyit, tidak tahan buat menebak. "Kali ini apa lagi mau dia? Dari Lix kan?"

"Lah? Teteh kok bener tebakannya?" Norta menunduk lagi. "Ada tiga pesan, sih. Sebentar, saya baca dari yang atas dulu, Teh. Oh, yang satu, cuma manggil nama saya doang. Nah, kalau kedua...."

Tatapan Norta segaris dengan Oceana lagi. "Teteh nggak balas pesan Mas Lix, ya? Dia kirim screenshot spamming text-nya yang ratusan kali. Tapi, belum terbaca."

"Oh ... sengaja aku, Nor. Sekalinya dibalas, dia nggak mau berhenti," balas Oceana santai. "Terus yang ketiga?"

"Yang ketiga, ya? Sebentar...," kata Norta. "Kata Mas Lix, saya harus fotoin Teteh lagi apa, tapi jangan sampe ketahuan Teteh. Ala-ala candid paparazzi gitu."

"Berarti rahasia gitu, ya?"

"Iya, Teh. Jadi, saya foto Teteh dulu, oke?"

"Terus kenapa kamu beberin ke saya?"

"Soalnya, kan—" Norta mendadak panik. "Astaga ... kok iya? Teteh, ini gimana dong? Rahasia Mas Lix-nya bukan rahasia lagi. Tetehnya udah tahu. Teh, saya nggak mau masuk comberan...."

Oceana langsung menyerobot ponsel Norta, menyuruh lelaki itu memangkas jarak. "Nor, kamu nggak perlu takut kalau kena ancaman Lix. Kamu cuma bilang ke saya, ngerti? Biar saya jewer dia kalau berani bandel ke kamu." Bertepatan dengan anggukan Norta, Oceana menekan bagian kamera. "Kasih tampang seseneng mungkin, jangan tertekan. Siap? Satu, dua, tiga."

"Teteh cantik banget, sih," puji Norta tanpa sadar.

"Emang." Foto tersebut langsung dikirimkan ke Obelix. Oceana menyerahkan gawai itu ke Norta. "Selesai. Kamu langsung ganti ke mode silent. Biar nggak berisik. Yuk, bayar sekarang."

***

Anjing kecil itu lantas menggonggong dengan suara khasnya ketika Obelix datang. "Bubu baba. Baby Coco!" Dengan segera, Obelix membawanya ke sofa. Baby Coco langsung aktif menjilati wajah Obelix yang sekarang tertawa. "Rasanya gimana? Asin nggak? Aku belum cuci muka."

"Guk! Guk!"

"Manja banget. Anak siapa sih kamu? Papi Lix, ya?" Lalu, Obelix langsung tiduran di sofa sambil mengangkat-angkat Baby Coco. "Ngapain aja kamu di rumah sendirian? Pipis atau poop sembarangan nggak? Atau kamu laper? Mau makan sekarang?"

"Guk! Guk!"

Jadi, Obelix segera menggendong Baby Coco menuju dapur dan menaruhnya ke lantai. Baby Coco langsung patuh, kepalanya terdongak, dan lidah yang menjulur. Untuk makanan anjing, Obelix selalu menyimpannya di kabinet bagian kiri. Setelah makanan siap, wadah makanan anjing itu ditaruh di lantai. Baby Coco terlihat sangat ingin makan, tetapi tetap diam karena Obelix belum memberi aba-aba.

"Tetap diam di tempat, oke? Sebentar." Obelix langsung menuju kulkas, menuangkan air dingin untuk dirinya sendiri. Ada dua kali tepukan tangan sebagai tanda. Baby Coco langsung memakannya cepat. Obelix tersenyum dari kursinya. "Makan yang banyak. Biar cepet gede."

Selagi Baby Coco makan, Obelix menuju halaman belakang rumahnya yang tersedia kolam. Ada sebuah gazebo yang biasa Obelix gunakan untuk tidur-tiduran. Seperti sekarang, dengan ponsel yang sudah menyambungkan panggilan video pada Oceana.

"Na...." Obelix menawa satu lengannya ke belakang kepala sebagai bantal. "Apa kabar?"

"Jangan lebay deh. Tadi kita masih sempat chatting-an juga, kok."

Obelix terkekeh.

"Lix, baru sampai rumah?"

"Iya, kenapa? Kamu cemas?"

Terlihat putaran mata dari Oceana. "Idih ... ngapain juga?"

"Na...," panggil Obelix. "Kangen kamu."

"Najong tralala-trilili."

Bibir bawah Obelix agak dimajukan. "Sorean tadi kamu sengaja abaikan pesan aku, ya? Buat apa, sih? Padahal aku udah tahan-tahan diri aku buat nggak terobos pulang sesuai mau kamu. Tapi, kamunya malah kejam ke aku gitu."

"Ya abis kamu bakal ganggu."

"Ganggu kencan kamu bareng Norta gitu?" Obelix berdecih. "Itu anak ngapain malah nggak bales pesanku juga? Pasti suruhan kamu, ya? Mana lagi kirim foto berdua, bukan kamu doang."

"Lix, ternyata seru juga jalan bareng Norta gitu."

"Na...."

Oceana tertawa. "Inget soal Kanaya kan, Lix? Karena Norta itungannya bantu aku, jadi aku beliin dia sepatu. Anggap aja bonus. Harusnya sih tiga, tapi dia maunya satu doang."

Obelix langsung merengut. "Kok, nggak bilang ke aku?"

"Kan, ini udah?"

"Na...." Obelix meraba-raba perutnya sendiri. "Kamu nggak mau main ke rumah aku gitu? Mumpung kita deketan, lho."

"Dih, ngapain? Buang-buang waktu aku tau!"

"Ya ampun, Na ... giliran sama Norta, kamu ngebet banget sampe tega silent mode. Giliran ke aku? Kamu malah ogah-ogahan."

Obelix sudah mengubah posisinya menjadi telungkup. "Nanti aku buatin pasta lagi, deh! Kebetulan tadi aku sekalian belanja mangga. Kamu suka jus mangga, kan? Aku buatin. Kita makan bareng di belakang, terus kalau mau sekalian berenang bareng. Gimana? Mumpung masih sore, Na."

Di sana, alih-alih menjawab, Oceana malah bangun menuju kulkas. Tidak lama, Obelix melihat Oceana sudah membawa Nutella serta sendok ke meja makan. "Males, pasta buatan kamu nggak seenak YUMCIOUS."

"Namanya juga homemade," balas Obelix. "Itu kamu coklatnya nggak buat selai roti gitu, Na?"

Oceana menggeleng. "Lebih enak begini." Ketika diangkat, sendok itu sudah penuh cokelat Nutella. Oceana lalu menjilatinya pelan-pelan. "Manisnya lebih kerasa."

"Eum, Na...." Dehaman Obelix sampai di telinga Oceana. "Kayaknya enak gitu."

"Apanya?"

"Cokelatnya."

"Oh ... emang. Enak banget malah." Dicelup lagi, cokelat itu menempel di sendok. Oceana langsung membawanya ke mulut dan diputar-putar. "Udah dibilang kan kalau manisnya lebih kerasa?"

"Kamu suka jilat-jilatan gitu, ya?"

"Kayaknya semua cewek suka gitu deh."

Obelix berdeham lagi. "Jilat cokelat, jilat permen, jilat es krim kan, Na?"

"Lah? Emang begitu. Kamu mikirnya apaan?"

"Enggak!" Gelengan Obelix cepat sekali. "Enggak! Aku nggak mikir apa-apa selain kamu, Na."

Selanjutnya, terdengar bel. Keinginan Obelix untuk tetap menyambungkan panggilan video disetujui Oceana. Jadi, lelaki itu bergegas menuju ruang tengah, bertemu Baby Coco yang sekarang sedang sibuk memainkan potongan kain, lalu dia membuka pintu.

Obelix sudah menduga kalau hal ini bisa saja terjadi, entah kapan waktunya. Selama orang itu masih ada di Jakarta. Secara langsung, Obelix mematikan panggilan videonya dengan Oceana.

"Hai," sapa Obelix. "Oriana."

"Rumah kamu selalu bersih."

"Aku nggak se-apik yang kamu pikirkan kok, Oriana."

"Iya, sih, kamu aja masih suka taruh kaus kaki sembarangan. Sekarang gimana? Udah ada perubahan?"

"Lagi diusahakan," kata Obelix. "Dia orangnya freak soal kebersihan. Mau nggak aku harus samain gayanya biar dia nyaman kan?"

Obelix belum mengerti apa tujuan Oriana ke sini. Namun, dari cara mata Oriana memandang, gestur tubuh yang kaku, serta terkulainya bahu untuk sebuah tangisan, Obelix telah mendapat jawabannya. "Lix, boleh aku—"

Obelix langsung memotongnya dengan melebarkan kedua tangan. "Kadang-kadang keadaan suka banget ngecewain ekspektasi manusia. Nggak terkecuali ke kamu. Tapi, yang harus kamu tahu; kamu punya aku sebagai telinga, Oriana. Gimanapun bedanya kondisi kita sekarang. Sini."

Continue Reading

You'll Also Like

629 51 49
[ TAMAT ] Hai Sekarang kalian lagi ada di Butiran Air Mata Yang Akhirnya Berharga Seperti Berlian. •••••••••• Fabumi. "Tetapi sama kamu, aku gak bisa...
4M 149K 13
"Percaya deh. Bukan gue yang gila, tapi cowok gue."
2.3K 141 3
Kisah ini berawal dari anak yang berasal dari keluarga susah/miskin. Ia bernama Harris Caine, orang tuanya mempunyai hutang kepada mafia yang terkena...
90.3K 10.3K 58
⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika beni...