Pop the Question

By sephturnus

329K 47.5K 7.8K

R: 16+ (Terdapat beberapa umpatan kasar dan adegan ciuman) PART LENGKAP ✓ #1 BADASS LOVE SERIES *** Memiliki... More

BADASS LOVE SERIES
Prolog
Aksi 1 - Mirip Burung Puyuh
Aksi 2 - Yang Penting Ganteng
Aksi 3 - Masa Harus Begini?
Aksi 4 - Semoga Nggak Galak
Aksi 5 - Bukan Urusan Lo
Aksi 6 - Tapi Jaga Kepemilikan
Aksi 7 - Harus Sama Kamu
Aksi 8 - Nggak Penting Juga
Aksi 9 - Sekaligus Kasih Hadiah
Aksi 10 - Hukum Timbal Balik
Aksi 11 - Semesta Berkata Sebaliknya
Aksi 12 - Sukses Bikin Pusing
Aksi 13 - Kok Beda Banget?
Aksi 14 - Masih Kayak Dulu
Aksi 15 - Mimpi Kamu Apa?
Aksi 16 - Jadi Pengganggu Kamu
Aksi 17 - Nggak Cuma Kamu
Aksi 18 - Penerjemah Isi Kepala
Aksi 19 - Yang Bikin Nagih
Aksi 20 - Nggak Ada Relasinya
Aksi 21 - Tidak Bisa Mengelak
Aksi 22 - Bakal Tanggung Jawab
Aksi 24 - Bakal Membawa Perubahan
Aksi 25 - Mulai Merasa Ketololan
Aksi 26 - Kalau Berani Ngelanggar
Aksi 27 - Kondisi Kita Sekarang
Aksi 27.2 - Kondisi Kita Sekarang
Aksi 28 - Asal Tahu Batasan
Aksi 28.2 - Asal Tahu Batasan
Aksi 29 - Buat Selalu Ada
Aksi 30 - Pop The Question

Aksi 23 - Artinya Kamu Manusia

6K 1.1K 244
By sephturnus

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Oceana bisa dikenal lebih banyak orang💛

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

Oceana terlalu ambil risiko dengan meminta Obelix datang kembali. Ini sama saja menggantung harapan pada orang. Yang artinya, dia siap dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri. Dan terbukti, tingkat terkabul yang dimiliki Oceana hanyalah 25%. Sedangkan 75% tersebut Oceana gunakan untuk menerima bahwa Obelix tidak bisa datang.

Panggilan band yang memaksa Obelix untuk pergi.

Meski agak kecewa, tetapi Oceana bisa apa selain menerima? Oceana bukan perempuan manja. Dia bisa menjalani hidup yang keras tanpa perlu menggantung lebih banyak harapan pada tangan seseorang. Termasuk Obelix.

Jadi, setelah meyakinkan bahwa Obelix tidak perlu merasa bersalah, Oceana menutup telepon. Tasnya terjatuh sampai isinya berserakan. Beruntungnya saat memungut satu persatu, tidak ada yang pecah. Buku yang sebelumnya dilempar oleh Milky masih ada di meja.

Tanpa sadar jemari Oceana menekan keras permukaan meja. Dentuman dadanya masih sekeras tadi, sehingga berulang kali dia menarik napas dalam dengan mata terpejam. Tenang ... tenang. Hidup masih terus berjalan meski persahabatannya agak retak....

Karena bekerja di bawah perasaan yang buruk hanya bikin kacau, Oceana memutuskan buat keluar. Dia berbelok menuju toilet dasar untuk mengecek penampilannya. Sewaktu berdebat dengan Casya serta Milky, Oceana merasa tangannya berkeringat banyak, sentakan dalam dadanya yang bertubi-tubi— yang terasa menyakitkan—makin membuatnya ingin menangis.

Dan sebelum semuanya terlambat, Oceana memutuskan segera menyalakan wastafel untuk mencuci wajahnya. Sampai entakan sepatu dari samping kirinya bikin dia menoleh.

"Bu Oceana," panggil Kanaya, menatap Oceana dari pantulan kaca. "Apa Anda baik-baik saja?"

Apa semuanya terlihat buruk? Oceana bahkan tidak tahu. Setelah mencangklongkan tasnya lagi, Oceana memutar badan ke kiri. Tidak ada sepatah kata yang keluar untuk beberapa detik ke depan. Yang bekerja hanyalah mata Oceana; memindai Kanaya dari atas hingga bawah.

"Oke," kata Oceana. "Dunia nggak perlu tahu seberapa nggak okenya dalam diri saya."

"Bu, tapi—"

"Kanaya, saya jujur," potong Oceana. "Karena saya paling nggak suka sama kebohongan."

Lalu, Oceana keluar begitu saja dan memutuskan buat pulang. Dia menemukan Mbok Minah di rumah. "Non, tumben banget nggak macem anak sekolah era 2018-an yang pergi pagi, pulangnya sore?"

Sambil melepas kedua sepatunya, Oceana membalas, "Udah kaya aku, Mbok. Nggak perlu kerja terlalu keras, bikin capek."

"Capek ngabisin uangnya, ya, Non?"

"Nah, itu tau," kata Oceana, terkekeh. "Mbok, bisa bantu aku nggak?"

"Aih ..., Non, kenapa mesti ngomong dulu?" Mbok Minah cemberut. "Mbok pasti bisa bantu Non apa aja. Termasuk bikin Mas Lix makin tergila-gila sama Non."

"Idih."

Mbok Minah hanya cengengesan. "Eh, Non, tadi pagi berangkat bareng Mas Lix?"

"Iya, dia kebetulan nawarin."

"Uwu! Makin hari, makin romantis aja! Gemes!"

Oceana mengecimus.

"Terus yang bikinin—"

Ucapan Mbok Minah lebih dulu disanggah Oceana. "Sebelum tanya gitu, aku mau nyalahin Mbok. Kenapa musti nginep, sih? Alasannya bantu-bantu rumah utama? Kan bisa besok paginya."

"Iya maap, Non, itu perintah Nyonya besar tau...," ringis Mbok Minah. "Terus, Mas Lix lagi yang nyiapin?"

"Inget, bukan aku yang minta, tapi dia yang nawarin." Tahu bakal ada godaan lain dari Mbok Minah, Oceana memberi pelototan. Ekspresi Mbok Minah berubah normal lagi. "Mbok, jangan bikin berita lain kayak aku sakit kepala atau gimana ke Mami Papi, ya?"

"Emang kenapa, Non?"

"Pokonya janji dulu, deh."

Mbok Minah memberi anggukan.

"Bisa pijitin kepala aku, Mbok?"

"Owalah, bisa dong. Mau kapan, Non?"

"Nunggu Zayn sampe ngelamar Mbok! Ya sekarang, dong, Mbok." Oceana maju duluan untuk duduk di sofa ruang tamu. Tidak lama, Mbok Minah menyusul sambil pasang posisi agar kepala Oceana bisa tiduran di paha. Oceana itu kadang suka berpikir, kenapa tangan Mbok Minah enak banget buat memijat? Padahal kalau boleh jujur, tangan Mbok Minah jauh dari kata halus. Banyak guratan kasar yang disebabkan usia serta kebanyakan kerja. "Mbok, pernah mikir nggak buat jadi wortel walau satu menit?"

"Eh? Siapanya itu, Non? Mboknya?"

"Ho'oh."

"Nggak, sih. Enak jadi manusia," balas Mbok Minah. "Kalau jadi wortel, bisa aja dijual ke pasar. Atau kalau enggak, jadi santapan kelinci buat dimakan. Ih, Mbok mana mau!"

"Tapi, jadi manusia kadang ribet dan bikin pusing."

"Non, yang namanya hidup pasti ribet. Lah, bikin pepes ayam aja prosesnya bisa berjam-jam, kan? Walau pas dimakan, nggak nyampe 10 menit." Tangan Mbok Minah masih aktif memijat pelan kepala Oceana. "Ini Non tanya begini, karena apa, deh?"

"Aku? Ah ... nggak ada apa-apa. Cuma selintas pikiran aja. Kayak mendadak bayangin, gimana jadinya manusia punya kesempatan bisa berubah jadi apa aja, tapi cuma satu menit. Kayaknya enak, Mbok."

"Wah ... kalau kayak gitu, Mbok nggak bakal milih jadi wortel. Mending jadi Mbak Gigi. Biar bisa jadi pasangannya Mas Zayn sama Ibunya Bebigul. Walau semenit."

"Itu mah halu!"

"Manusia tanpa halu, macem sambel nggak pake cabe, Non. Aneh."

***

"Na, kamu nggak marah, kan? Bener?" Pertanyaan Obelix terlontar nyaris pukul tiga ketika Oceana menerima ajakan untuk pergi bersama. "Aku masih ngerasa nggak enak karena nggak bisa dateng."

"Kalau aku marah, lantas kenapa aku ada di sini?"

"Na, bukan gitu...," kata Obelix yang buru-buru menengok setelah memasang sabuk pengaman. "Dari yang aku tahu, marahnya versi perempuan itu serba disembunyikan. Maksudnya, dia bilang terserah, padahal di dalam hatinya dongkol abis. Kamu gitu nggak?"

"Kamu ini kayak berpengalaman banget soal hati perempuan, ya?"

"Dalam artian?"

Oceana menarik sisi bahunya ke atas.

"Jangan anggap aku womanizer atau apa nih, Na." Obelix sudah menginjak bagian pedal gas sehingga mobil mulai berjalan. "Karena aku nggak gitu. Pengalamanku di sana masih cetek banget."

"Terus ada niatan memperdalam pengalaman? Gitu?"

"Iya bukan gitu juga, Na...."

Menyaksikan kaca jendela menjadi pilihan Oceana sekarang. "Pantes aja mantan masih suka mepet-mepet. Lah kamu modelannya aja begini," gumamnya, dibalas "apa" oleh Obelix. "Nggak, tadi aku lagi nyanyi."

"Kamu nggak apa-apa aku ajak pergi agak jauh?"

"Selagi keamananku terjamin, sih, oke."

"Na, yang berkaitan tentang kamu pasti aku prioritasin, kok," balas Obelix. "Kecuali dalam beberapa hal, contohnya kerjaan tadi. Kalau aku nggak dateng ke sana, aku nggak enak juga ke mereka. Aku—"

"Lix, sekali lagi ngomong gitu, aku bakal tendang kamu. Sumpah!"

"Sampe mana emang?"

"Mau kamunya?"

"Sampe hati kamu?"

Oceana memilih menatap jendela lagi.
Dari kecil, Oceana tidak terbiasa memakan jajanan pinggir jalan. Hanya Obelix yang berani mengajaknya untuk makan cimol bersama—dengan konsep 15 : 85—dan dia ketagihan. Tidak cuma itu, Obelix juga pernah memberi Oceana telur gulung yang biasanya memakai bihun. 

Dan ketika melihat gerobak bertuliskan 'Telur Gulung' di pinggir jalan, Oceana minta Obelix berhenti. "Kenapa, Na?"

"Dagangannya kelewatan, mundur sedikit lagi." Obelix menuruti Oceana. "Aku tiba-tiba keinget jajanan kecil kita. Harusnya cimol sih."

"Kamu mau, Na? Aku yang turun nanti."

"Boleh, aku juga males turunnya. Masih agak panas."

Satu cubitan pelan di ujung hidung, diterima Oceana. "Kebiasaan. Ya udah, tunggu sebentar. Aku beli dulu."

Belum sampai pintu, Oceana sudah menahan Obelix dengan ucapannya. "Lix, pake uang aku aja."

"Na...."

"Nggak, ya, kamu udah cukup pasang badan buat beli. Aku yang keluarin dananya," ujar Oceana. "Lix, kita udah hidup di era kesetaraan gender. Laki-laki atau perempuan punya posisi yang sama. Jangan takut kehilangan maskulinitas cuma karena perempuan yang bayar. Nggak ada relasinya."

Setelah itu, Oceana merogoh dompet untuk mengambil seratus ribuan. "Satu lembar cukup nggak, sih?"

"Na, asli, aku pengen gigit kamu banget," kata Obelix. "Kamu gemesin."

Oceana mendengkus. "Buru ambil duitnya, deh!"

"Ingetin ke aku buat ajak kamu makan banyak, dan aku yang bayarin."

Menerima uang dari Oceana, Obelix keluar lalu menutup pintu. Dari bagian jendelanya, terlihat bahwa gerobak pedagang itu sedang tidak ramai. Hanya dikunjungi tiga orang pembeli—dengan satunya adalah Obelix. Saat jendela tiba-tiba diketuk, Oceana menurunkan bagian kacanya. "Aku kaget banget sama harganya."

"Emang kenapa?"

"Beliau jual satu tusuk itu 2000-an."

"Eh? Kok murah banget?" Oceana terperangah sendiri. Dia pikir, makanan di Jakarta paling murah itu sepuluh ribu rupiah. "Berarti nanti bakal dapat 50 tusuk?"

"Iya. Kamu rela nunggunya agak lama?"

Satu anggukan, lalu Obelix balik lagi menuju gerobak. Oceana menaikan bagian kacanya lagi lalu menunggu. Butuh waktu nyaris lima belas menitan sampai Obelix masuk serta menyerahkan sebuah plastik putih. Di dalamnya ada beberapa cup plastik yang digunakan sebagai wadah telur gulung serta bumbu kacang.

"Aku keluar lagi bentar. Di depan ada supermaket. Aku beli minumnya dulu," kata Obelix, memberi satu usapan di puncak kepala Oceana. "Jangan kangen."

"Dih, pede."

Obelix tertawa lalu keluar. Dari kursinya, Oceana dapat melihat Obelix menyebrang sejenak sebelum berlari menuju supermarket. Sedangkan Oceana, dia hanya mampu mengintip jajanan yang baru dibeli tanpa dimakan. Sampai Obelix kembali lagi dengan dua botol air mineral di tangan.

"Na, itu kamu belum dimakan?" Oceana memberi gelengan. "Kenapa deh? Kan tadi kamu yang mau."

"Aku bingung."

"Makanan juga harus kamu bingungin?"

"Ya, bukan apa-apa, Lix," kata Oceana, tepat Obelix sudah memasang sabuk pengaman dan kembali menjalankan mobil. "Ini belinya kan di pinggir jalan. Rawan banget tercemar debu sana-sini. Gimana kalau bisa berefek samping ke pembelinya? Misal, sakit perut?"

"Kalau nanti kamu sakit perut, aku bakal tanggung jawab pake napas buatan deh."

"Hah? Dari mana nyambungnya?"

"Nggak ada sih," kata Obelix, menoleh sesaat ke Oceana. "Biar bisa cium kamu aja."

"Lix!"

Setelah plastiknya dibuka, Oceana mengangkat satu cup. Tiap cup berisi sepuluh tusuk. Oceana mengambilnya satu sambil menggigitnya perlahan. "Lumayan buat jadi temen cemilan, sih." Ketika dicoba, bumbu kacangnya ternyata agak pedas, tetapi Oceana masih mampu memakannya. "Mau, Lix?"

"Suapin."

Oceana langsung mendengkus. "Dih, makan sendiri. Jangan manja."

"Manja ke calon masa depan sendiri emang salah?"

"Au ah! Makan sendiri sana!"

"Na, mata aku kepake buat lihat jalan sedangkan kedua tangan aku lagi sibuk nyetir. Gimana caranya aku bisa makan?" Selanjutnya, Oceana mengambil satu tusuk telur gulung yang dimakan Obelix secara cepat. "Lagi kali, Na, yang banyak. Satu mana cukup."

"Dasar, masih aja rakus kamu."

Selanjutnya, mobil Obelix memasuki kawasan Tol Jagorawi. Tujuan Obelix sekarang itu menuju Desa Wisata Malasari yang letaknya di Kecamatan Nangung, Kabupaten Bogor.

Nyaris satu setengah jam, mobil Obelix memasuki tugu besar Desa Wisata Malasari. Telur gulung, habis. Minuman milik Oceana, habis. Sedangkan milik Obelix, masih ada walaupun tinggal sedikit. Dari kaca, Oceana bisa menyadari perbedaan siginifikan dari tempat ini dengan Jakarta.

Tidak ada gedung-gedung bertingkat super sesak, yang ada hanyalah jalanan setapak dengan rerimbunan pohon di sisi kanan-kiri. Langit pun sudah tidak sepanas sebelumnya. Oceana yakin ketika nanti mereka keluar, udara sejuk langsung menyambutnya.

Tidak lama, mobil Obelix berhenti. Mata Oceana menangkap seluruh visual yang ada di sekitar matanya. Indah dan bersih.

"Na, kamu oke aku bawa ke sini?"

"Aku kelihatan nggak oke, emang?"

Ketika berputar arah, tatapan Obelix sudah memenjarakan Oceana. Selanjutnya, muncul lesung dari kedua pipi Obelix ketika lelaki itu tersenyum. "Aku udah nemu jawabannya."

"Emang apa?"

"Pertanyaan lagi?"

"Bukannya dunia itu gudangnya pertanyaan?"

"Kenapa nggak langsung turun? Ayo." Dengan itu, Oceana segera mencangklongkan tasnya kemudian turun setelah membuka pintu. Satu anggukan dari Obelix, lalu mereka berjalan bersisian. Oceana merasa kebenaran tengah memihaknya. Udara serta tiupan angin di sini menimbulkan kesegaran. "Na, menurut kamu enaknya tinggal di kota besar kayak Jakarta itu apa?"

"Fasilitas yang lebih memadai?"

"Bisa. Lalu?"

"Nggak takut ada keluhan sinyal jelek, atau gimana-gimana?"

Obelix mendadak berhenti. Ketika menoleh, sudah ada satu juluran tangan yang didapati Oceana. "Kalau aku, bisa ketemu kamu."

"Padahal aku nggak lagi tanya kamu, lho."

"Na, nggak ada yang minta kamu buat kasih aku pertanyaan, kok." Obelix menggoyangkan tangannya sendiri. "Ini tangan aku dianggurin? Ayo pegangan."

"Harus banget, ya?"

"Nggak boleh?"

"Terpaksa." Dengan itu, Oceana menyatukan tangannya dengan Obelix. "Apa? Nggak usah nyengir gitu, deh. Kamu mirip kuda."

"Kamu mirip kambing."

"Ih ... kok ngeselin?"

"Orang yang ngeselin biasanya lebih masuk di otak manusia. Hati-hati."

"Apaan? Kamu aja nggak masuk di otak aku."

"Ya udah, Na, kalau gitu masukin aja aku di hati kamu."

"Apa? Nggak denger."

"Ini ngode biar cara bicaranya bisik-bisik dekat telinga, ya?" Namun, belum sampai dilakukan, Oceana sudah lebih cepat melepaskan genggaman mereka, lalu berjalan duluan. "Na, kok aku ditinggalin?"

Lalu Obelix memberi Oceana banyak cerita soal tempat ini. Salah satunya, pelarian ketika ide-ide di kepala THE ARCHIMEDES buntu. Dari sini, Oceana pun paham satu hal lain. Penat di kepala tidak selamanya bisa disembuhkan melalui bising-bising musik di sebuah kelab malam dengan gelas cairan di gelas kaca super kecil.

Ketika Obelix menawarkan untuk turun dan menikmati lanskap, Oceana menyetujui. Dia berpegangan pada Obelix agar tidak jatuh.

"Duduk sini, Na. Jangan takut kotor. Ayo."

"Siapa juga?" Oceana langsung duduk di sebelah Obelix. "Di rumahku ada mesin cuci. Kalau kotor, tinggal masukin aja di sana. Kalau nggak, gampang beli yang baru. Aku ini orang kaya, Lix."

"Aneh, sombongnya versi kamu itu malah nggak bikin jengkel," kata Obelix. "Tapi gemesin. Ah, jadi pengen makan kamu rasanya."

"Lix?"

"Dalem, Na?"

"Kamu pernah deket sama Milky?"

"Na, serius kamu mau bahas ini?"

"Emang kenapa? Kamu keberatan?" Oceana langsung meluruskan matanya seperti semula. "Oh, kamu pernah ada cerita lama sama dia, terus karena kondisinya udah beda, terus kamu mutusin buat nggak ganggu gugat lagi? Kamu laki-laki gagal move on, Lix?"

"Serius kamu mikirnya sejauh ini?"

"Who knows?"

"Na, kamu perlu diremedial karena dugaan kamu tadi salah semua." Balasan Obelix bikin Oceana menoleh. "Sumpah. Pertama, yang harus kamu tahu, aku nggak pernah punya hubungan sama temen kamu."

"Terus kenapa kamu enggan gitu?"

"Bukan enggan, Na. Aku cuma nggak mau kamu nggak nyaman," balas Obelix. "Ya ... kamu tahu sendiri kan alasannya apa?" Ada satu petani lokal daerah sini yang menyapa mereka ketika lewat. "Oke, aku kasih tahu ke kamu kenapa aku bisa tahu teman kamu. Dia itu mantan FWB-nya teman aku; Bernard. Familiar sama nama itu?"

"Kakaknya Ramon?"

"Iya, Vokalis Archimedes itu," kata Obelix. "Aku tahu teman kamu sebatas nama doang. Terus inget soal Kakaknya Norta nggak? Si Norman. Dia temen aku, Pianist-nya Archimedes. Norman pernah jadian sama temen kamu kan?"

"Lix, serius? Aku pikir, Norman ini laki-laki modal tampang, tapi nggak ada kerjaan. Makanya aku kurang sreg pas Casya masih sama Norman."

"Na, kayaknya lama-lama kepala kamu ini kudu dibedah. Kebanyakan mikir buruk." Obelix tertawa. "Dunia itu sempit banget ternyata. Jesslyn, adik kamu, ternyata satu agensi sama aku. Terus kedua temen kamu, pernah punya hubungan bareng dua temen aku. Tapi, kenapa kamu nggak tahu aku? Ah, atau kamu masih seapatis dulu, ya, Na?"

"Aku nggak perlu konfirmasi ulang kan?"

"Dasar." Mereka tertawa. "Na?"

"Hm?"

"Kamu ... okey?"

"Dalam kondisi?"

"Ya, tadi," ujar Obelix, meski agak canggung. "Aku paham kalau perdebatan tadi bikin kamu ngerasa gimana-gimana. Tapi—"

Oceana segera memotongnya, "Lix, boleh aku jujur ke kamu?"

"Boleh."

"Aku nggak oke. Rasanya dalam diri aku campur aduk banget. Dalam konotasi buruk," terang Oceana. "Sedih, kesal, sesak, stres—pokoknya aku mikir; kenapa sih harus begini? Kami berteman nggak cuma setahun. Lama. Dari SMA. Harusnya perdebatan kayak gini bisa ditangani pake kepala dingin, kan? Tapi, kenapa berujung kepala kami yang panas semua?"

"Na...."

"Lix, sekali aja aku pengin jadi manusia lemah apa dunia kasih izin aku?"

Getaran tangan Oceana ditangkap Obelix. Dia menggenggam tangan Oceana erat. "Nggak ada yang salah buat nggak baik-baik aja, Na," katanya. "Itu artinya kamu manusia yang berperasaan dan dinamis."

"Lix...."

Dalam satu rengkuhan, kepala Oceana ditarik untuk bersandar di bahu Obelix. "Kalau kamu malu, anggap aku tembok. Kamu bebas nangis selama apa pun."

Luruh. Semuanya luruh. Oceana menumpahkan seluruh sesak dalam dadanya yang dia tahan sedari tadi. "Lix, sumpah, aku nggak suka banget kondisi yang begini. Aku nggak bisa lihat kondisi yang berubah gitu aja dalam sekejap. Apalagi soal mereka, sahabat aku," racaunya.

"Ini nggak bisa aku bayangin sama sekali. Dari SMA kami deket. Isi kepala kami nggak jauh beda. Kami anti orang-orang perisak, parasit, pembohong, dan cengeng. Tapi, apa yang terjadi? Aku cengeng, Lix. Mereka bakal musuhin aku setelah ini, kan? Mereka nggak sayang aku lagi, kan? Dunia pasti malu lihat aku yang lemah gini, Lix."

"Na...." Obelix mengusap bahu Oceana pelan-pelan. "Ketika Tuhan takdirin kamu buat ke dunia, artinya kamu siap dalam hal apa pun. Kamu kuat dan mampu. Nggak ada manusia yang lemah, Na."

"Tapi, aku nggak suka nangis, Lix."

"Kamu nggak pernah larang aku buat nangis kan, Na?"

"Itu kamu."

"Artinya berlaku juga buat kamu," kata Obelix. "Hal lain yang harus kamu tahu, yang sayang sama kamu itu banyak, Na."

"Aku tahu."

Saat menoleh, Obelix memberi usapan di sisi kiri kepala Oceana. "Termasuk aku. Dalam artian, aku sayang kamu sebagai seorang laki-laki yang sayang ke perempuan. Bukan seorang sahabat yang sayang ke sahabatnya. Paham kamu, Na?"

Continue Reading

You'll Also Like

102K 16.8K 58
Dia adalah sepasang sepatu High Heels. Dia perpaduan antara arogansi, harga diri, dan keindahan. Dia adalah stiletto terbaik dan louboutin termahal. ...
5.6M 297K 57
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
246K 27.1K 43
Mencari Gifty itu mudah. Datangi saja ke kelasnya, toilet, perpustakaan, atau belakang sekolah. Atau temui saja di rumahnya. Mudah, kan? Mencari Vigo...
2.2M 164K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...