Gadis Lukisan Andi

由 YunW17

300 0 0

Pertemuan yang tak disengaja. Sebentuk wajah yang dikenal Olivia. Salah satu model lukisan Andi. Perkenalan O... 更多

1. Olivia
2. Andi
3. Rumah Petak
4. Rumah Putri
5. Bertemu
6. Perubahan
7. Melangitkan Harapan
8. Bingung
9. Ibunda Ratu
10. Ultimatum
11. Dipersiapkan
12. Hilang Kendali
13. Bimbang
14. Pisah
17. Godaan
17. Kata Hati
18. Rahasia
19. Defensif
plus +++ Plus
21. Jurus Pamungkas
23. D' Power of Emak- Emak
24. D'Power of Emak-Emak (part 2)

15. Sangkeran

7 0 0
由 YunW17

.

Sambutan seru!

Nggak kira-kira, nih! Mas Sena langsung menyerangnya. Tanpa aba-aba. Olivia sempat goyah ketika membela diri dan serta-merta membangun pertahanan diri.

Begitu Olivia mulai berhasil menguasai keadaan, Mas Sena mengambil galah lumayan panjang entah dapat dari mana. Olivia menghindar dengan memanfaatkan celah-celah tembok dan tiang rumah. Ia ragu kalo menahan dengan tangan. Kekuatan pria kan lebih besar. Mbak Galuh, adiknya Mas Sena yang menjemputnya dari terminal hanya mengawasi saja tanpa ingin melerai.

"Ayo serang balik, Liv!" Mbak Galuh bersorak kegirangan "Jangan cuman bertahan, dong!" jadi gemas juga.

"Enggak, ah Mbak!" Olivia fokus pada serangan Mas Sena yang makin bertubi-tubi. Sekilas menyadari ada yang berbeda dari rumah Budhe-nya. Kok, malah jadi inget rumah kakeknya Andi, sih? "Kan bukan musuh..." diikuti ringisan Olivia.

"Dasar Bocah! Apa yang sedang kau pikirkan, Ha...?" Mas Sena melempar galah yang digunakannya. Berkacak pinggang "Gimana kalo bukan aku yang nyerang? Sembrono!"

"Dia bukan bocah lagi, inget! Dia lari dari lanangan bucin..." Mbak Galuh ngeledek sok tahu. Syukurlah tadi ia sempat menahan tongkat masnya dengan caping koklok kesayangan Simbah. Duh! Bisa kuwalat kalo Simbah tau nanti capingnya ambyar. Padahal sudah rusak, sih! Tapi saking sayangnya masih juga dipakai. Persis papanya Olivia.

Eh?

Para sesepuh biasanya gitu kan?

Olivia mengusap lengannya. Mbak Galuh yang panik lari ke dalam entah mau apa.

"Mbok kapakke' anakku wedok?"

Weleh!

Budhe dari dalam langsung ngampleng ethok-ethok tapi gemes sama anak Lanang sing bagus dhewe. Iya lah! Tiga bersaudara, yang dua cantik. Jelas yang satu bagus.

Padahal putra kandung Budhe-nya itu dua. Sepasang! Ya, Mas Sena dan Mbak Galuh itu. Lhah? Kok tiga?

Korban?

Olivia tidak ingin bilang gitu, sih!

Lha, cerita dari Simbah sewaktu Olivia lahir tuh 'dibuang'. Karena Olivia dan papanya punya Weton lahir yang sama. Ahad Wage. Olivia bayi diletakkan begitu saja di halaman. Terus diambil sama budhe. Diakui sebagai anaknya. Pakdhe yang masih hidup saat itu malah menginginkan Olivia dibawa pulang. Sama mamanya kalo perlu. Papanya yang mencak-mencak. Toh semua hanya tradisi.

Kenyataannya, papanya tidak bisa membersamai keluarga karena tuntutan pekerjaan dan tidak bisa pulang-pergi dari kampung ke ibukota. Akhirnya keluarga kecilnya terpaksa dititipkan pada keluarga besarnya.

Mamanya sempat sakit hingga tidak bisa menyusui Olivia. Dan Budhe-nya meminta agar Olivia jadi anak susunya.

Cerita dari Budhe-nya waktu itu penuh drama. Jadi jangan salahin Olivia kalo punya bakat akting.

Kok, nggak jadi artis? Karena Olivia memilih berkarier. Tidak nyaman bila privasi terusik. Olivia merasa perlu belajar penghayatan lagi dari seorang Najwa Shihab yang bermonolog dengan bangku kosong. Sebagai ungkapan rasa kecewa pada narasumber yang tidak pernah datang memenuhi undangan. Banyak pertanyaan dan hal yang perlu jawaban dari narasumber dalam menghadapi pandemi ini. Yang harusnya bisa dihadapi bersama.

Pemerintah tidak main-main, lho dalam penanganan Covid ini. Berusaha selalu update. Diantaranya larangan pemakaian masker scuba dan buff karena hanya selapis hingga efektivitas melindungi dari virus kurang dari 50%. Lalu ada saran pemakaian masker kain ber-SNI. Pokoknya yang sedikitnya dua lapis lah.

Yah! Berbaik sangka aja beliau perlu waktu untuk duduk bareng karena tersita oleh kesibukan penanganan kesehatan. Berharap Semoga ujian pandemi ini segera berlalu.

"Tidak diapa-apain, Mbok!"

Lucu nggak, sih? Orang ganteng berwajah bule manggil wanita yang telah melahirkannya dengan sebutan 'Mbok'?

"Lha, katanya disuruh ngetes?!" Mas Sena menoleh ke arah Olivia yang masih mengusap-usap lengannya.

Mbak Galuh tergopoh-gopoh mbawain minyak kelapa dicampur brambang bakar. Langsung diborehkan ke lengannya. Budhe memeluknya erat. Mana tidak menghiraukan protokol kesehatan di masa pandemi ini. Harusnya Olivia dikarantina. Tapi karena Mas Sena dan mbak Galuh relawan. Olivia harus melewati berbagai rangkaian tes dari ibukota sampai ke kampung sini. Mulai dari rapid test, CT Scan thorax, begitu sampai langsung SWAB.

Mas Sena dan Mbak Galuh ngasih info kalo rapid test itu tingkat keakuratannya kurang dari 50%. Mangkanya Pemerintah menetapkan kasus konfirmasi positif Covid menggunakan hasil data PCR-real time. Kadang dengan tes SWAB belum terdeteksi padahal gejala klinis yang terlihat Covid maka ada tingkat akurasi yang lebih tinggi dengan CT scan thorax. Sampai tahap itu biaya pemeriksaan sangat mahal untuk rakyat. Berprasangka baik aja mengapa Pemerintah mensyaratkan rapid test sebagai screening awal kesehatan mendapatkan akses fasilitas umum. Jika reaktif hasil rapid maka mendapat fasilitas SWAB cuma-cuma. Karena hasil rapid dari antibodi maka sakit flu biasa aja bisa reaktif.

Wah! Olivia perlu mencermati info tentang Covid inih.

Bahkan alat tes yang biasanya untuk TBC dialihfungsikan yakni Tes Molekuler Cepat dengan catridge.

Belum ketahuan hasil SWAB Olivia terus disodorin jamu. Untuk Olivia dipilihin yang manis jadi tidak akan nolak. Termasuk air putih hangat diberi potongan lemon. Karena sudah terbiasa. Dibiasain sama...

"Cobain dulu! Kayak air soda!"

Olivia mencoba sedikit waktu itu. Andi mengarahkan cermin tepat ke arah wajahnya.

"Ada manis-manisnya, kan?"

Ya Allah! Di sini pun, Olivia malah makin terbayang-bayang sama si dia.

"Aduuh!"

"Gusti Allah, anakku wadon ketula-tula wae kat mau!" Budhe sambat memelas. Sambil mengelus-elus kaki Olivia.

Ada tlundak di pintu kamar yang Olivia tempati. Padahal selama ia tinggal sebagai keluarga besar budhenya sampai ia ke ibukota disusul papa belum ada tuh? Persis seperti yang di rumah kakeknya Andi?

"Cah nggong! Bengong melulu! Kamu mikirin apa sih? Kangen sama seseorang, ya? Aku telponin gimana?" Duh! Pastinya mereka juga tau tentang dia dari Papa.

Mbak Galuh sambil menjaga berdirinya Olivia. Sengaja tidak menariknya agar bisa bangun sendiri. Menurut nasihat orang tua kalau ada orang yang jatuh itu ditakutkan ada salah urat ataupun syaraf. Yang bisa merasakan sakit itu dirinya sendiri. Jadi secara mandiri bisa mencari cara agar pergerakannya tidak semakin membuat otot dan syarafnya mengalami trauma lebih parah.

Yang ditanya tidak menjawab. Mukanya cemberut. Perlahan bangun. Tapi meringis saat melangkahkan kakinya.

"Sik! Sik! Nduk Cah Ayu!" Budhe menahan kaki Olivia dan mengurutnya sedang Mbak Galuh pasang badan untuk sandaran Olivia. Bukan! Berjaga-jaga kalo Olivia berontak.

"Ampun, Budhe..! Sampuun..!" Olivia sampai menangis. Sebenarnya bukan sakit di tubuhnya, sih tapi rasa hatinya yang bikin dia nelangsa. Nginget dia bikin dia ketiban pulung, tau nggak?

Sssstt! Padahal makna dari ketiban pulung itu mendapat berkah! Aamiin.. doa yang baik harus di-Aamiin-kan...

"Udah, Mbok! Biar dia istirahat saja, ya!" Mas Sena yang tadinya tidak ikut mengantarnya ke dalam akhirnya masuk dan membopong Olivia ke kamarnya.

"Mbok cuma mblonyohi yang sakit biar ndak abuh! .. Piye, Nduk? Masih sakit digerakin?" Budhe ngikutin ke kamar. Olivia cuma menggeleng tapi gerakannya hati-hati banget.

"Ni Luh! Ambilin slendang yang ituh!" Mas Sena menunjuk ke rak bufet yang terbuka. Berisi kain batik termasuk slendang yang biasanya untuk sampiran. Olivia suka sekali mengoleksi selendang dengan motif batik dan warnanya bermacam-macam. Mereka tetap menyimpannya bahkan tidak memperbolehkan orang lain menempati kamarnya.

Mbak Galuh manut mengambilkan dan diberikan pada masnya.

"Lebih baik jangan dibawa gerak dulu kakimu yang ini! Biar lebih mendingan!"

Mas Sena membebat kaki Olivia agar bisa sedikit menghambat gerakannya.

Olivia hanya pasrah. Apa yang mereka lakukan demi kebaikannya. Bahkan ketika harus makan malam di kamar. Meski ia dengan sadar meminta makan di kursi. Mas Sena lah yang menyediakan satu set kursi makan di kamarnya. Dan semua akhirnya menemaninya.

Belum lagi camilan manis-manis kesukaannya. Aneka jajanan pasar yang ia namai dengan bentuk dan warnanya. Misalnya geplak yang ia sebut ' kelapa parut manis'. Mbak Galuh sering menggodanya kalau doorslagh warna-warni pembungkus geplak dan dibentuk segitiga itu biasanya dipakai untuk penanda adanya kematian di jalan-jalan kampung.

"Kertasnya, kan Mbakyu bukan geplak yang dikibarkan.." tetap kekeuh lahap Olivia makan geplaknya. Ngambil krasik'an juga yang ia namai 'pasir manis'. Katanya sih karena ada butiran ketan yang ngletis-ngletis gitu. Mirip makan pasir rasanya. Tau rasa pasir berarti pernah makan pasir dia?

Keperluan mandi maupun ke kamar kecil sudah jadi satu sama kamarnya. Privat! Kata Mbak Galuh setiap kamar tidur anggota keluarga dan kamar tamu sudah dilengkapi toilet juga.

Budhe menyarankannya ngginyer yang sakit dengan sabun mandi batangan. Mbak Galuh menyediakan sabun herbal hijau. Tapi Olivia pernah mencoba dan alergi. Syukurlah, ia sendiri membawa sabun kecantikan kesukaannya. Lebih empuk.

Pagi harinya, kaki Olivia terlihat memar akibat benturan semalam. Tapi nyerinya sudah reda setelah mengikuti saran budhe. Mas Sena telaten membebat kakinya lagi begitu Olivia selesai mandi.

Tapi bukan Olivia kalo betah di kamarnya. Meski semua perhatian memenuhi segala keperluannya. Tetep aja langkahnya diseret, Olivia membantu mbak Galuh menjemur pakaian dan memanen jamur.

"Olivia! Pakailah ini!" Mas Sena menginterupsi kesenangannya membantu Budhe masak.

"Mas Sena kalo mau pakai itu, Silahkan! Nggak usah maksa orang!" Jawab Olivia ketus. Sudah yang ketiga kalinya Olivia menolak. Bukan apa-apa! Olivia hanya curiga dengan aroma yang menguar dari kursi roda.

"Duduk disini atau aku menguncimu di kamar?" Wah! Mas Sena tak bisa dibantah kalo sudah mengeluarkan ancaman.

"Kali lain bukan kakiku aja yang sakit, Mas! Tapi sakit karena bosen.." Olivia melewati gitu aja kursi roda yang didorong Mas Sena untuknya. "Mas Sena ngunci pintu kamar, aku kabur lewat jendela atau naik atap sekalian!"

Kompak mbak Galuh dan Mas Sena menahan dan mendudukkan Olivia di kursi roda.

"Aku tuh mau ngajak kamu jalan-jalan! Jangan mbantah mulu kenapa sih? Ngeyel banget!"

"Mumpung disini.. dolan liat pemandangan, Nduk! Nyenengke ati! Kan kamu ndak bakalan lama disini?! Cuman nyelesein skripsi kan? Kelar kuliah kamu harus pulang ke ibukota!"

"Budhe nggak suka aku disini?" sebenarnya Olivia mau mengadu atas perlakuan kedua kakaknya malah Budhe mengingatkan keberadaannya disini.

"Ragilku sing ayu kie sudah jadi wanodya! Udah pantes diwengku Priya!"

"Mbakyu aja belum, kok!"

"Aku sih mau aja kalo udah ketemu jodoh, Cah Kemplu!" Gemes Mbak Galuh njitak yang sudah dianggap adek itu. Kesayangan malah. Secara usia, Olivia memang enam bulan lebih tua. Tapi dalam hubungan kekerabatan Olivia lebih muda.

"Ketemu jodoh bukan perlombaan karena jodoh itu karunia, Cah Ayu! Doain aja jodoh Mbakyumu disegerakan! Wong tuamu sama Budhe ndak ngajarin lari dari masalah! Disini kamu bisa ngenam pemikiran biar bisa medar reruwet!"

Budhe mengusap sayang kepala Olivia dan mengisyaratkan kedua kakaknya guna membawa Olivia pergi. Olivia hanya diam tidak tau mau berkata apa. Budhe-nya mbawain sewadah besar berisi arem-arem isi sambel goreng ati sesuai keinginannya dan camilan pangsit goreng, martabak, dan ongol-ongol.

Melewati gerbang, Mas Seno bersuit. Hanya sekali sudah terdengar anjing menyalak dan mendekat ke arah mereka.

Olivia terlihat antusias. Tangannya terangkat seolah ingin mengelus kepala anjing jenis Samoyed. Si putih besar tapi cantik ini ramah sekali. Cantik! Tapi Mas Sena bilang Samoyed yang diberi nama 'unyu' ini ternyata pejantan, Loh! Olivia begitu dekat dengan unyu. Waktu masih unyu-unyu. Sekarang unyu udah besar banget. Hampir sebesar kambing yang udah poel. Kenapa diberi nama unyu? Biar pada tau kalo unyu itu anjing dalam bahasa Sansekerta, katanya Mas Sena waktu itu. Ternyata Mas Sena percaya banget sama salah satu artikel di Twitter tentang arti kata 'unyu' tersebut.

Melihat unyu yang hanya memandanginya dengan penuh makna. Olivia jadi ragu apalagi teringat kalo dia sekarang seorang mualaf. Soal tersebut pasti kerabat disini juga sudah tau.

"Yang najis itu air liurnya, Nimas! Tapi tabiat aslinya memang suka membersihkan dirinya dengan menjilat!"

Kenapa, sih semua orang?

Kok, seperti ada jarak yang mereka bangun?

Memang Budhe mengajari kedua kakaknya dengan panggilan Nimas. Di depan Budhe saja mereka manggil gituh. Kalo tidak ada Budhe mereka kompakan memanggilnya 'Merta' kadang jadi 'Merto Kartono'. Biar punya asma' sepuh kata mereka. Kebiasaan bagi piyayi Jawa yang punya nama sepuh. Nama laki-laki? Mengingatkan Olivia yang tomboi sewaktu masih bocah.

Olivia sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi sekarang?

Asal tau aja, nama lengkap Olivia :

'Amerta Olivia Laksana'

Am'rita menurut papanya dimaknai air kehidupan dalam bahasa Sansekerta. Biar mudah pengucapannya jadi 'Amerta'. Bisa juga Amerta seperti yang diucap kedua kakak sepupunya. Negeri Pandawa. Negeri yang dibangun dari hutan belantara ketika Pandawa diusir karena kalah taruhan. Filosofi negeri ini yang dimaknai papanya untuk putrinya sebagai harapan agar terbangun jiwanya hingga menjadi tempat pulang yang nyaman.

Terus, nama Olivia adalah pilihan mamanya yang jatuh hati pada nama Eropa dari pohon zaitun yang disebut dalam Al-Qur'an. Tumbuhnya tidak di timur tidak pula dari barat. Dia ada karena karunia Yang Maha Kuasa. Yang mampu memberi cahaya ke sekelilingnya. Sebenarnya lah Olivia sudah kenal dekat dengan Al Qur'an sedari lahir.

Sedangkan Laksana adalah nama keluarga dari papanya.

"Unyu! Anak baik?" Olivia akhirnya mengusap sayang kepala Unyu. Tidak seperti dulu, si unyu hanya menggoyang-goyangkan kepalanya dengan gembira. Tidak melonjak dan tidak menjilati.

"Kita akan antar dia pada teman-temanmu yang lain, Unyu! Kita kesana sekarang, Ok's?!" Mas Sena mengalihkan perhatian unyu dengan menunjuk ke suatu tempat yang dikenal baik oleh si unyu itu.

Mbak Galuh membersihkan tangan Olivia tujuh kali dengan sabun dan air ditambah tanah sekali. Dengan cekatan.

"Mbak! Kan aku lagi nggak sholat?"

"Biar aku bersihin lagi kalo mo pegang lagi! Kan masa pandemi juga biar sering-sering cuci tangan pakai sabun!" Mbak Galuh nglulu. Loss doll!

Mas Sena mendorong kursi rodanya mengikuti langkah unyu. Sesekali unyu menoleh ke belakang sambil menyalak riang. Kadang berlari kembali ke belakang menjajari gerak kursi roda yang membawa Olivia. Mereka bertiga gantian bertepuk-tepuk menyahuti tingkah si unyu.

Agak jauh lokasinya kalo jalan ginih. Dekat dengan alun-alun kidul sana. Olivia sudah mengenal tempatnya dengan baik. Meski ada perubahan disana-sini. Persawahan yang luas dulunya, kini sudah berganti jajaran perumahan. Tapi sepanjang perjalanan masih banyak yang menyapanya. Kadang sampai pakewuh tiap ada yang menanyakan keadaannya. Mas Sena dan Mbak Galuh mewakilinya menjawab dengan sabar. Bikin Olivia menunduk. Hal yang dirindukannya saat tinggal di ibukota. Akankah tetap sedemikian? Sapaan dengan senyum hangat...

Perhatian bukan sekedar kepo?

Tiba di satu pekarangan. Di sisi selatan area pemakaman umum. Unyu berhenti. Berdiri dengan dua kaki belakangnya. Dua kaki depannya merangkak naik. Menggapai pegangan pintu gerbang. Tak lama, unyu membuka gerbang itu. Dia masuk lalu menoleh ke belakang sambil menyalak-nyalak. Kalo dia bisa ngomong mungkin ingin menyambut ketiganya dan mempersilahkan masuk. Pinter!

Ada tiga bangunan rumah yang dipisahkan oleh kebun yang memanjang ke belakang. Wow! Asri banget pemandangan di sini.

"Wuah! Sejuknya disini..?!"

Olivia tidak tau Mas Sena dan Mbak Galuh saling mencep menunjuknya.

"Kamu suka tempat ini? Inget nggak dulu tuh ada apa disini?" Mas Sena memasang rem belakang kursi roda dengan standar. Jalannya menurun dan sedikit curam.

"Eh..? Ini bangunan baru kan? Kayak pernah lihat... tapi.. ?" Olivia berusaha mengingat tak percaya.

"Ini bukannya sungai dengan air terjun yang cekungannya mirip batok kelapa..?" Mulai tolah-toleh mencari sesuatu.

Terdengar gemericik air di belakang sana. Terasa jauh tapi dekat. Seperti yang ia rasakan pada seseorang. Duh!

Suasana disini?

Saat argumen itu terjadi. Masing-masing ngotot kalo suasana asri itu dekat pegunungan. Dekat sungai. Terpisah dari rumah lain tetapi merupakan bagian mereka. Meskipun ada pembatas namun menyatu dengan alam. Bersebrangan pendapat mereka berdua justru bersinggungan dalam memutuskan sesuatu. Dan kenyataan itu terwujud pada bangunan di hadapannya.

Rumah hewan untuk anjing, kucing, dan peliharaan lain. Yang dibuang sayang!

Yang disini adalah para ahli. Dari dokter hewan sampai penyayang binatang. Konservator sejati!

Olivia ingin sekali menyapa semua hewan yang ada. Tapi Mas Sena dan Mbak Galuh tidak memberinya kesempatan malah menyanderanya di bangunan utama. Temu wicara dengan para sukarelawan di sini. Berbagi sekaligus menuntut ilmu. Dimana lagi mendapat tempat praktek gratis dengan fasilitas plus plus.

Konsep yang pernah digagas... Sultan Muda itu?

Apa iya?

Sayangnya, Olivia tidak ingin memastikan kebenarannya.

Yang ia temui tidak membicarakannya, kok!

Mungkin bukan dia?

Embuh lah...?

Perawatan anjing disini mengingatkan pada Andi. Kata-katanya tentang kasih sayang terhadap anjing. Ujian bagi umat Islam.

Jelas! Air liur anjing najis. Bahkan untuk menyucikannya harus membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali. Satu diantaranya dengan tanah.

Pasti ada hikmah dari semua aturan itu. Tinggal manusianya sendiri bagaimana menyikapi aturan itu. Nilai sepenuhnya kuasa Allah, Sang Pembuat Aturan.

Malam harinya, Olivia mulai membuka-buka file berisi bahasan skripsinya. Tinggal menyusun. Olivia menutup lepinya. Bertopang dagu.

Budhe minta ijin menemuinya.

"Sumangga, Budhe..! Kayak sama siapa, sih? Budhe dan yang lain jadi berubah sama aku..." Olivia curhat. Uneg-uneg yang pingin segera dikeluarkan.

"Kamu juga berubah! Sebentar lagi Budhe punya mantu dari anak Ragil ini!" Budhe memeluk sayang Olivia "Budhe tidak bisa menggantikan posisi mamamu! Tapi akan melakukan apa yang ingin mamamu lakukan bila ada di dekatmu sekarang! Bahwa papamu telah nampa rembug!" Olivia mendongak menatap budhe-nya. Sedikit kaget dan banyak was-was.

"Ada pinangan dari tiga lelaki yang ditujukan kepadamu!"

Olivia duduk tegak mendengarkan sembari tertunduk. Budhe-nya menyebut nama Malik dan nama Rafa, pemuda kampung tetangga sebelah. Dan tercekat penuh harap

"Lamaran ketiga ini sepertinya sudah tertolak, ya? Karena dia kan kamu menghindarinya lalu memilih kesini?"

Olivia tak mampu membendung air matanya yang menganak sungai. Sebenarnya ia tabu mengeluarkannya di hadapan orang lain.

Sebenarnya bukan seperti itu yang ia maksud.

"Yang namanya cinta itu perlu pengorbanan, Nduk!" Budhe menggenggam tangan Olivia serasa ingin menguatkan pertahanannya yang rapuh.

"Yang namanya sayang itu mau memaafkan!"

Olivia menyeka air matanya. Budhe-nya benar! Seolah ada penguatan di hati untuk mempertahankan.

"Ikuti kata hatimu! Mohon pada Allah Sing Kuasa! Biar kecenderungan hatimu dikuatkan...!"

Senyum telah terukir kembali di wajah Olivia.

******

继续阅读

You'll Also Like

45.5K 10.1K 116
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
778K 79.5K 55
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
76.9K 3.5K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
260K 27.2K 29
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...