Pop the Question

By sephturnus

329K 47.5K 7.8K

R: 16+ (Terdapat beberapa umpatan kasar dan adegan ciuman) PART LENGKAP ✓ #1 BADASS LOVE SERIES *** Memiliki... More

BADASS LOVE SERIES
Prolog
Aksi 1 - Mirip Burung Puyuh
Aksi 2 - Yang Penting Ganteng
Aksi 3 - Masa Harus Begini?
Aksi 4 - Semoga Nggak Galak
Aksi 5 - Bukan Urusan Lo
Aksi 6 - Tapi Jaga Kepemilikan
Aksi 7 - Harus Sama Kamu
Aksi 8 - Nggak Penting Juga
Aksi 9 - Sekaligus Kasih Hadiah
Aksi 10 - Hukum Timbal Balik
Aksi 11 - Semesta Berkata Sebaliknya
Aksi 12 - Sukses Bikin Pusing
Aksi 13 - Kok Beda Banget?
Aksi 14 - Masih Kayak Dulu
Aksi 15 - Mimpi Kamu Apa?
Aksi 17 - Nggak Cuma Kamu
Aksi 18 - Penerjemah Isi Kepala
Aksi 19 - Yang Bikin Nagih
Aksi 20 - Nggak Ada Relasinya
Aksi 21 - Tidak Bisa Mengelak
Aksi 22 - Bakal Tanggung Jawab
Aksi 23 - Artinya Kamu Manusia
Aksi 24 - Bakal Membawa Perubahan
Aksi 25 - Mulai Merasa Ketololan
Aksi 26 - Kalau Berani Ngelanggar
Aksi 27 - Kondisi Kita Sekarang
Aksi 27.2 - Kondisi Kita Sekarang
Aksi 28 - Asal Tahu Batasan
Aksi 28.2 - Asal Tahu Batasan
Aksi 29 - Buat Selalu Ada
Aksi 30 - Pop The Question

Aksi 16 - Jadi Pengganggu Kamu

5.2K 1.1K 246
By sephturnus

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Oceana bisa dikenal lebih banyak orang💛

A/N: Sesuai jadwal. Kamis. YUHUUU! Jangan lupa vote komen dan share-nya ya💞💞💞

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

MERASA SUDAH jarang berkumpul karena kesibukan, Oceana menyetujui ajakan Casya untuk makan siang bersama Milky. Jadi, mereka memutuskan buat turun tangan ke lantai empat yang mana ruangan Milky berada.

Namun, belum ada lima menit, pintu lift di hadapan mereka terbuka. Casya dan Milky syok. Bedanya, Casya mendukung adegan tersebut, sedangkan Oceana? Amit-amit jabang bayi! Jangankan nyaris ciuman di lift, menyaksikan mami papinya saling peluk-peluk padahal angin malam tidak dingin, Ocena pun jengkel.

"Wow! Live nih?" goda Casya.

Oceana mendengkus. "Najis tralala-trilili deh!"

Karena merasa dibohongi, Oceana setuju usulan Casya yang meminta Milky dan Sunday klarifikasi. Jadi, selama makan siang yang harusnya santai-santai, Oceana dan Casya mendadak berubah tukang interogasi. Tidak ada santapan, Oceana cuma memesan kopi sebagai pembasah tenggorokan selagi dia mencecar Sunday soal kelayakan dia berpacaran dengan Milky.

Mereka terbiasa hidup dengan gaya mewah. Uang di dompet, minimal harus merah dan biru. Jika hijau, ungu, atau warna-warna lain yang ada, mereka memutuskan buat menaruhnya di kotak amal yang tersedia di kantor. Namun, apa yang terjadi? Sunday ternyata mampu mengimbangi gaya hidup Milky dua tahunan ini. Catat, dua tahun! Dan selama itu pula Oceana selalu menganggap Milky satu kalangan dengannya. Jomlo.

Wah!

Apa Oceana kesal? Inginnya begitu. Namun, menyaksikan betapa seriusnya Sunday dari jawaban-jawaban yang diberi serta ekspresi semringah Milky, Oceana mengharapkan kebaikan pada mereka berdua.

Semoga mereka emang berjodoh, deh.

Bodohnya, Oceana ikut terkena imbas karena pemikiran soal jodoh. Seperti, kapan jodohnya—dari tangan Tuhan—datang? Bukan hanya itu, Oceana pun suka menerka-nerka bagaimana rupa jodohnya nanti.

Apakah tinggi besar?

Atau punya tahi lalat di bawah mata—seperti obsesi aneh Milky selama ini?

Bagaimana jika jodohnya nanti ternyata lebih pendek darinya? Mau ciuman juga kayaknya aneh banget, masa harus dia yang menunduk? Bukannya semakin intens, yang ada Oceana mengeluh karena lehernya sakit. Astaga!

Terlepas dari semua itu, Oceana harus segera bersiap-siap karena janjinya malam ini.

***

Aston, teman kencannya kali ini mengajak dia bertemu sekaligus dinner. Jadi, Oceana segera memilih dress paling pas dari koleksi dress yang dimilikinya. Pilihannya jatuh ke dress selutut dengan warna putih tulang yang memiliki akses sejenis brokat di ujung bawah. Oceana memilih rambutnya terikat agar kalung yang dipilihnya malam ini bisa jadi titik fokus.

Butuh sekitar tiga puluh menit untuk sampai di restoran yang dituju. Oceana berjalan menuju pintu utama dan langsung masuk dengan gaya seanggun mungkin. Sebab Aston sudah memberitahu padanya soal nomor meja, Oceana tidak perlu lagi drama-drama mencari.

"Aston?"

Yang dipanggil langsung bangkit sambil mengulas senyum tipis. Sesuai dengan foto—tidak seperti kasus Rixie. "Princess Ana," panggilnya. Oceana memberi anggukan. "Sesuai namanya, kamu terlihat seperti seorang Princess."

Saat Aston berinisiatif bantu memundurkan kursi, Oceana pasrah. "Pilihan yang bagus," ucap Oceana sambil memandangi dekorasi ruangan. "Terkesan santai, tapi glammy-nya dapet banget."

"As you wish, Princess," balas Aston.

Oceana pun terkekeh.

Tidak lama, dua pelayan berseragam hitam putih itu datang membawa mangkuk besar bertudung perak.

"Tolong jangan rangkaian bunga besar," kelakar Oceana. "Aku kurang suka."

"Karena kamu lebih suka ke bunga bank, kan?"

"Rupanya kamu masih ingat, ya?"

"Gimana aku bisa lupa soal kamu, sih?" Aston ini tipikal bermulut licin dan Oceana sudah siap dengan kemungkinan yang ada. Namun, selicin apa pun mulut Aston, Oceana tidak akan tergelincir yang membuatnya terperangkap rayuan lelaki itu. Serius. Laki-laki modelan begini nyaris menginjak angka 85% dari sekian banyaknya laki-laki yang ditemui Oceana ketika melakukan kencan buta. "Terlalu menarik buat dilupain gitu aja."

"Gimana soal warna?"

"Biru kesukaanmu?"

"Makanan?"

"Yang penting jangan nasi putih?"

Oceana mengangguk. "Buah?"

"Apa saja."

"Hal dibenci?"

"Sesuatu yang berisik," balas Aston. "Tapi, aku bukan tergolong yang berisik, kan?"

Saat piring sudah tersaji di atas meja dan tudungnya dibuka, Oceana melihat Aston merogoh saku jas untuk mengambil ponsel. Tidak lama, terdengar Aston yang memanggil ulang pelayan untuk sesuatu yang tidak terduga. Oceana sampai harus berkedip.

"Princess, karena aku influencer, sayang banget kalau dinner ini nggak aku capture," tutur Aston lalu menyuruh pelayan lelaki itu berpindah ke sisi kiri. "Nah, Princess, kamu bisa ikut satu frame sama aku juga. Nanti aku posting ke Instagram terus tagging kamu. Eh iya, username-mu apa? Biar aku follow duluan. Kamu mau ikuti aku balik atau nggak, terserah. Tapi ef-way-ai, kamu ini golongannya beruntung lho. Soalnya aku jarang follow back orang."

Oceana sudah ingin banget menyemburkan kalimatnya: apa gue peduli? Sayangnya, dia lebih memilih menahannya dengan senyuman.

"Kamu pinter cari angle yang bagus, kan?" tanya Aston pada pelayan lelaki itu. "Jangan sampe asal-asalan atau parahnya blur. Jelek. Soalnya foto ini bakal aku posting ke Instagram. Biar followers aku nggak khawatir karena aku jarang nge-post."

Jadi, Oceana hanya memasang senyum—sampai entah berapa kali bidikan—dan dua tidak peduli. Selagi Aston sedang sibuk mengecek foto di ponselnya, Oceana memilih ambil garpu serta pisau untuk menyantap duluan.

"Princess, gimana dengan ini?" Aston tiba-tiba sudah di sebelah Oceana, menyodorkan ponselnya. "Di sini bahuku terlihat tegas. Angle-nya juga nggak bikin aku keliatan lebar. Kamu gimana? Ada keluhan soal ini?"

Oceana menggeleng. "Aku serahin ke kamu aja."

"Kamu mau simpen fotonya juga nggak?"

"A—"

"Kebetulan aku bawa printer portable-nya nih," pungkas Aston. Oceana semakin gregetan. Lelaki itu sudah duduk dengan tangan kanan yang tiba-tiba sudah memegang printer portable. "Ini nggak akan makan waktu lama, kok. Habis itu kamu bebas nyimpan fotonya di manapun. Eum, kayaknya ini terlalu polos. Aku tambahin stiker love aja, ya?"

Mau stiker hati atau babi sekalipun, Oceana hanya ingin menyudahi sesi dinner aneh ini.

"Nah, satu love besar yang satunya kecil. Checked."

Setelah printer tersebut mengeluarkan foto berbentuk polaroid, Aston menyerahkannya ke Oceana. "Buat kamu."

Cukup.

Oceana mendengkus sambil berdiri. "Enough is enough!"

***

Keesokan harinya, Oceana dibuat takjub oleh tingkah Sunday. Bagaimana tidak? Lelaki itu mengirimkan 9 tas dengan masing-masing 3 dari branded ternama yang berbeda—Chanel, Gucci, Hermes—dalam waktu bersamaan. Akibatnya, Oceana pasrah saja saat tas-tas dengan bungkusan besar itu diletakkan di ruangannya.

"Kalau gini gue nggak jauh beda sama dagang, deh!" decak Oceana, tetapi tidak lama dia menyeringai. "Oke juga si Milky, bisa dapetin brondong anti kere. Pake pelet apa ya dia?"

Namun, jangan berpikiran bahwa Oceana jadi iri hingga segera cari brondong juga. Sama sekali tidak. Sampai sekarang, Oceana masih menjunjung tinggi kebebasannya dalam hidup: tidak memikirkan cinta, pacaran, sampai parahnya pernikahan. Gunjingan sana-sini? Terserah. Ini hidup Oceana dan artinya; segala aturan dan hak ada di tangannya.

Oceana bangun dari kursinya lalu duduk di sofa yang sekarang sudah penuh dengan barang pemberian Sunday. Dua disingkirkan ke lantai agar di bisa duduk di sofa.

"Mbok," katanya begitu panggilan teleponnya tersambung. "Tau tas Chanel kan? Nah, iya, yang mehong itu. Mbok mau nggak? Iya beneran dong! Berapa, Mbok? Dua? Ih, jangan satu dooong! Dikira aku miskin apa? Dua ya? Nggak apa-apa kali. Oke deh!"

Setelah terputus, Oceana menelepon maminya. Ada jeda lima menit buat menunggu, tidak lama wajah Mami Windha terlihat di layar. Oceana menjelaskan tentang Milky yang sudah punya pacar.

"Ih, Na, itu si Milky udah punya gandengan. Mana udah jalan dua tahun lagi. Kamunya kapan?" tanya maminya dengan nada agak merengek. "Kamu kenapa sih ogah pacaran? Nggak laku ya kamu? Atau kurang semok?"

"Mami, plis deh," balas Oceana malas. "Ana cuma pengen bahagia terus belanja yang banyak. Bukan pacar-pacaran."

"Heh, kamu pikir pas pacaran nggak bisa belanja-belanja?"

"Ya bukan gitu, Mami...."

"Fiks, kamu kurang semok! Coba agak jauhin kamera hape kamunya. Mami pengen lihat dada kamu tepos atau nggak!" Ketika Oceana hanya diam saja, Mami Windha menjerit sehingga Oceana terpaksa menuruti. Ada jeda yang digunakan Mami Windha sebagai pengamatan. Bahkan mukanya serius banget. "Kamu mah kayak punya anak ABG, segitu-gitu mulu. Pantesan cowok-cowok jarang notice kamu."

"Mami, apaan deh!"

"Na, buat itu, kamu bisa pake—"

Oceana segera memotongnya, "Mam, aku tutup sekarang ya? Mendadak ada kerjaan gitu. Balik kantor aku bakalan kasih Mami tiga tas, gimana? Setuju kan ya? All my love, Mami. Mwah!"

Belum dijawab Mami Windha, Oceana sudah menutup lalu mematikan ponselnya. Tidak lama, Oceana bangun dari kursinya menuju lantai dasar guna memesan ice coffee. Ini jauh lebih baik. Oceana bisa atau tidak harus menjaga mood ketika bekerja. Dan dia berhasil untuk itu sampai menjelang malam.

Setelah memasuki mobilnya, Oceana langsung mengaktifkan bagian mesin. Namun, rupanya setelah ini semesta ingin mengujinya oleh beberapa hal.

Pertama, saat ingin menuju rumah kediaman orang tuanya, Oceana harus merelakan diri terhanyut dalam suasana macet. Tidak lama, tetapi cukup bikin Oceana jengkel.

Kedua, lagi-lagi Mami Windha bahas soal cari pacar ketika Oceana tiba di rumah utama. Meskipun Oceana sudah menyogok berupa tas pemberian Sunday ini.

Ketiga, menuju rumahnya dan sampai, Oceana dikejutkan oleh kehadiran Obelix yang duduk di kursi luar.

"Ngapain deh?" tanya Oceana berusaha sabar. "Ada keperluan apa?"

"Sama kamu."

"Astaga, gue tahu."

"Ya udah, kamunya duduk dulu."

"Lix, kalau emang nggak penting banget, mending pulang deh. Gue pegel, asli," terang Oceana. "Lo bisa main ke sini lagi, kapan pun deh. Terserah. Tapi—"

Obelix memotongnya dengan gelengan cepat. Mirip bocah yang mati-matian menolak untuk menelan obat cacing. "Na, tapi aku maunya sekarang."

"Guenya nggak mau."

"Akunya yang mau."

"Hah, terserah!"

"Eh, Na!" Obelix mendadak bangun sambil memutar badan Oceana. Berakhir mendapat satu tinjuan di pipi. "Aduh, ngapain sampe pukul? Sakit, Ana...."

"Nggak usah pegang-pegang!"

"Ya abis kamunya main nyelonong aja."

"Oke," putus Oceana akhirnya. "Apa mau lo?"

Bukannya menjawab, Obelix tersenyum selama sepuluh detik. Beragam pertanyaan berawal apa dan kenapa mulai bersarang di kepala Oceana. Namun, tarikan dadakan dari Obelix pada kedua tangannya bikin dia gelagapan. Oceana tidak dihadapkan pilihan lain kecuali menerima.

"Na, aku nggak perlu minta maaf karena udah ganggu kamu, kan? Soalnya dari awal juga aku udah jadi pengganggu kamu."

Selanjutnya, Obelix menaruh dagunya di kedua telapak tangan Oceana. "Makan malem sama aku ya, Na? Aku lagi pengin ikan bakar, tapi makannya harus sama kamu. Janji deh, nggak akan lama."

Bibirnya sedikit diturunkan dengan mata seperti orang memohon. "Plis. Plis."

Continue Reading

You'll Also Like

246K 27.1K 43
Mencari Gifty itu mudah. Datangi saja ke kelasnya, toilet, perpustakaan, atau belakang sekolah. Atau temui saja di rumahnya. Mudah, kan? Mencari Vigo...
102K 16.8K 58
Dia adalah sepasang sepatu High Heels. Dia perpaduan antara arogansi, harga diri, dan keindahan. Dia adalah stiletto terbaik dan louboutin termahal. ...
442K 12.5K 12
Revanda sudah merasa nyaman dengan hidup 'tidak terlihat' selama dua tahun lebih di sekolah. Tapi mendadak namanya jadi trending topic pasca ketahuan...
251K 40.7K 45
Katrin sebel banget sama Pak Anjar, guru matematikanya yang doyan diskriminasi itu. Gara-gara nilai ujian matematikanya yang di bawah standar, dia ha...