Long Way Home

By cloudiens

9.9K 1.1K 377

"I wanna get lose and drive forever with you." *** Erlangga Jevander adalah penghuni yang kehilangan rumahnya... More

Let's meet them
01 - Don't (Love Me)
02 - Feeling Fades
03 - Hate to See Your Heart Break
04 - Stay Close, Don't Go
05 - Naked
06 - Don't Watch Me Cry
07 - Thru These Tears
08 - How Can I Say?
09 - I Like You
10 - I'm Serious
11 - Leave Your Lover
12 - Falling for You
14 - Eyes Locked, Hands Locked
15 - Fools
16 - Popo
17 - What Am I To You
18 - Cliché
19 - Heart Out
20 - Love Me Like That (END)
Extra Chapter - Cry Baby

13 - Trying My Best

369 48 34
By cloudiens

I hope you know that it's not always happy in my head
'Cause I don't know
The perfect road to go down
But I know
I'm trying my best

Trying My Best – Anson Seabra

❇❇❇



Gladys

Melihat sosok Alden Seandra Bastara berdiri di depan unit apartemen gue saat ini, membuat otak gue sibuk menerka-nerka apa maksud tujuannya datang ke sini. Terlebih lagi, penampilannya kali ini jauh dari kata rapih. Kemejanya lusuh, rambutnya yang biasanya tertata rapih sekarang justru terlihat acak-acakan. Dia kelihatan ... lelah.

“Dys,” bahkan suaranya pun terdengar begitu lemah di telinga gue.

“Kenapa?” perasaan gue mendadak gak enak, saat melihat caranya menatap gue saat ini.

“Bunda meninggal.”

Dan pada saat itu juga, gue merasa lutut gue melemas. Dia mengucapkan itu tanpa ada air mata yang mengalir di pipinya. Ketiadaan air mata itu menandakan kalau dia masih gak percaya dengan apa yang dia alami sekarang. Atau mungkin ... dia percaya, tapi dia udah terlalu sedih sampai air mata pun rasanya gak ada gunanya.

Gue bener-bener bingung harus mengatakan apa lagi. Melihat sosoknya yang sekarang terduduk lemas di lorong apartemen gue sambil menenggelamkan kepalanya pada lekukan kakinya, dada gue mendadak sesak.

Gue melangkah mendekatinya, ikut duduk di spot kosong yang ada di sampingnya. Gue cuma mau meluk dia sekarang. Gue cuma mau jadi sandarannya untuk saat ini.

Karena lagi-lagi ... dia gak punya tempat sandaran lain selain gue. Kalaupun punya, dia gak mungkin mendatangi gue saat ini.

Dan lagi-lagi, gue gak tau harus merasa bersyukur atau justru merasa bersalah. Merasa bersalah karena suatu saat gue gak bisa jadi sandaran itu lagi. Suatu saat gue gak bisa ada di sisinya lagi.

Memikirkan hal itu, gue merasa jadi orang paling jahat sedunia.

Saat merasakan hoodie yang gue kenakan basah—lucunya hoodie ini adalah milik orang lain—, gue makin mempererat dekapan gue.

Alden yang sekarang nangis di dekapan gue benar-benar berbeda dengan Alden yang selalu bicara ketus pada gue. Siapapun yang melihatnya ada di titik terlemahnya seperti saat ini, pasti gak akan percaya kalau dia adalah Alden Seandra Bastara, cowok angkuh yang kata-katanya selalu bisa membuat orang lain terintimidasi.

Saat keadaannya mulai tenang, gue membawanya masuk ke dalam unit gue. Sion yang lagi makan kacang sambil nonton TV di ruang tamu kelihatan kaget waktu melihat keadaan Alden. Tanpa ngucapin apa-apa, dia langsung pergi ke kamarnya.

“Aku ganti baju dulu.”

Gue melangkah menuju kamar gue untuk berganti pakaian. Sejujurnya gue lelah, tapi rasanya gak pantes gue mengeluh di saat kayak gini. Di saat ada orang lain yang membutuhkan gue. Orang lain yang jauh lebih lelah dari gue.

Sepanjang perjalanan menuju runah sakit, baik gue maupun dia gak ada yang membuka suara. Gue segan bertanya, meskipun sejujurnya gue penasaran gimana kronologi jelasnya.

Sesampainya di rumah sakit, ternyata Om Fredy udah berdiri di depan pintu ruang rawat Tante Nia. Gak ada ekspresi yang berarti dari wajahnya. Masih datar dan dingin.

Tanpa gue duga, Raiden bahkan ada di sana. Dia memberi kode pada gue untuk menepi sewaktu Om Fredy mulai berjalan mendekati Alden. Namun, sayangnya gue gak menghiraukannya. Gue tetap berdiri di samping Alden sampai pria paruh baya itu udah berada tepat di hadapan kami berdua.

“Puas Ayah sekarang?”

Refleks, tangan gue mecengkram kuat pergelangan tangan Alden. Gue bener-bener takut dia bakalan lepas kendali.

“Alden...”

“Ini yang Ayah mau 'kan?”

“Alden, jaga ucapan kamu.”

“Aku rasa Ayah gak pantes ada di sini. Kenapa Ayah gak ngerayain party aja buat ngerayain kematiaan Bunda?”

Plak

Mendengar suara tamparan  yang jelas begitu menyakitkan itu, membuat gue harus memejamkan mata karena sangking takutnya. Genggaman tangan Alden pada tangan gue kian mengerat. Gue juga bisa merasakan kalau tangan itu mulai berkeringat.

“Saya gak membesarkan kamu untuk jadi anak yang kurang ajar seperti ini.”

Gue memberanikan diri untuk membuka mata. Tepat di hadapan gue, Om Fredy kelihatan jelas menahan amarah. Tatapan matanya menghunus tajam, mukanya sedikit memerah.

Alden membalas ucapan ayahnya dengan kekehan kecil. Kekehan yang justru terdengar sangat frustasi di telinga gue.

“Saya bahkan gak pernah merasa pernah dibesarkan oleh Anda.“

Tepat setelah dia mengatakan itu, dia menarik tangan gue untuk meninggalkan lorong yang mencekam ini. Dia menarik gue menuju kamar jenazah, tempat di mana almarhum Tante Nia berada. Kami berdua berdiri tepat di depan pintu yang terlihat menyeramkan itu. Gue pikir Alden mau masuk, tapi ternyata dia justru berjongkok di depan pintu tersebut. Tangisannya pecah begitu aja. Kali ini terdengar jauh lebih frustasi dan menyakitkan.

Gue meremas ujung blouse yang gue kenakan. Tanpa bisa dicegah, air mata gue akhirnya ikut jatuh. Gue mendudukkan diri di sampingnya. Memeluk erat tubuhnya yang bergetar hebat.

Pada akhirnya, gue kembali ke titik ini. Ke titik di mana gue menjadi satu-satunya orang yang selalu ada untuk Alden Seandra Bastara. Sosok yang banyak orang kira gak membutuhkan orang lain karena dia terlihat mampu mengatasi masalahnya seorang diri. Sosok yang jarang menunjukkan emosinya di depan orang banyak.

Bahkan sebagian orang mengenalnya sebagai sosok yang gak memiliki emosi karena pembawaannya selalu datar dan dingin. Seolah gak ada seorang pun yang bisa menyentuhnya.

Namun, kenyataannya dia adalah sosok paling emosional yang pernah gue temui. Sosok yang entah gimana bisa seolah punya dua kepribadian yang berbeda—yang kadang gue sulit memahaminya.

Alden hanyalah sosok yang menyimpan banyak luka di setiap sudut hatinya. Luka yang dia coba tutupi dengan bongkahan es agar orang lain gak bisa menemukannya.

Gak ada siapapun yang mengetahuinya.

Gak ada siapapun selain gue.

Dan mengingat fakta itu, gue merasa makin sulit untuk terlepas darinya.

❇❇❇


Elang


Karena kelamaan ngurus skripsi, gue sampai lupa kalau hari ini ternyata tanggal merah. Begitu gue bangun, gue mendapati pemandangan yang berhasil bikin mata gue melotot. Sepupu-sepupu gue, mereka semua lagi asik nonton TV di ruang tamu apartemen gue sambil makan cemilan yang tentunya punya gue.

“Ngapain anjir lo pada?!”

“Oy, A'! Udah bangun?”

Gue yang masih setengah sadar, mengucek mata gue sebentar takut salah lihat, tapi enggak kok, yang ada di depan sana emang bener sepupu-sepupu laknat gue.

Jeff lagi duduk sambil asik sama handphonenya. Jovita sibuk make up sambil kipasan pakai kipas mini yang dari zaman dia sekolah gak pernah ganti. Jema, Ecan, Rinjani asik nonton Toys Story yang terpampang di layar TV gue.

“Widih, udah bangun lo? Mandi sana buruan, abis itu jalan deh!”

Gue nyaris lompat waktu seseorang menepuk pundak gue. Begitu gue menoleh, gue mendapati Windy yang udah rapih dengan kemeja baby blue dan ripped jeansnya.

“Mau kemana?”

“Dufan! Sana, A', mandi geura!”

“Hah?!”

Anjir lah? Apa-apaan? Kok gue gak dikasih tau dari kemarin-kemarin?

Lagian juga random banget anjir tiba-tiba ngajak ke Dufan?

“Dih ogahhh! Mending lanjut tidur gue!”

Gue baru mau berbalik buat masuk ke kamar lagi, tapi dengan biadabnya kaus gue ditarik sampai gue merasa hampir robek kalau ditarik lebih kenceng lagi sama nenek lampir berinisial Windy Agresta.

“Mandi. Sekarang.”

“Ogah! Lagian lo pada ngapain deh anjir gabut banget? Jauh-jauh dari Bandung ke sini cuma buat ngajak ke Dufan? Kayak di Bandung gak ada tempat wisata aja.”

“Ya justru karena kita udah ngasih effort sebesar ini jauh-jauh dari Bandung buat nyamperin lo doang, A'!” dengan masih sibuk sama perintilan make upnya, Jovita mulai menceramahi gue.

“Betul! Mana ada sepupu kayak kita-kita begini. Limited edition!” bisa-bisanya anak baru lulus SMA juga ikut ngomporin.

“Udah kek gak usah banyak bacot, sana mandi buruan! Nanti keburu siang terus macet,” dengan sekonyong-konyongnya, badan gue langsung di dorong ke kamar mandi sama Windy yang gue heran punya tenaga yang gak sesuai sama ukuran badannya.

Dia juga langsung ngelemparin gue handuk yang sialnya mengenai tepat wajah gue. Kurang ajar banget, gak ada sopan-sopannya sama yang lebih tua.

“Yang wangi A', nanti Teh Gladys ikut.”

“HAH?!”

Beneran ini mah mata gue sampai nyaris keluar kali gara-gara denger kalimat yang keluar dari mulut Jema. Mana yang ngomong mukanya santai banget, sambil makan renbee pula.

“Jangan ngadi-ngadi lo?”

“Dih, gak percaya ya udah.”

Gue langsung melempar pandangan ke arah Windy yang sialannya cuma dibalas sama gerdikan bahu. Setelah itu dia langsung gabung sama anak-anak di depan TV.

Sialan. Punya sepupu kelakuannya kurang ajar semua.

❇❇❇

Gue membenarkan posisi topi gue, menghela napas sebelum akhirnya memberanikan diri buat keluar dari mobil. Padahal ini bukan pertama kalinya gue datengin apartemennya, tapi kenapa kali ini gue ngerasa sedikit cemas?

Entah karena faktor gue ke sini diintilin sepupu-sepupu gue yang lain, entah karena emang nyali gue yang lagi menciut.

Masalahnya, ternyata dari mereka belum ada yang ngabarin Gladys sama sekali. Kepinteran banget 'kan? Gimana kalau ternyata dia gak ada di apartnya? Atau .... gimana kalau dia gak mau?

Masih dengan kecemasan yang memenuhi dada gue, gue melangkah menelusuri koridor apartemennya. Begitu pintu unitnya udah terlihat oleh pengelihatan gue, degupan jantung gue makin gak karuan.

Terlebih lagi, pintu itu tiba-tiba terbuka. Refleks, gue langsung memberhentikan langkah. Pandangan gue tertuju pada sosok yang baru keluar dari unit apartemen itu. Sosok yang selalu bikin gue emosi setiap melihatnya.

Padahal gak ada yang salah.

Padahal wajar dia keluar dari apartemen ceweknya sendiri.

Begitu sosok yang mau gue temui juga ikut keluar, tanpa sadar gue langsung melangkah mundur dan menurunkan topi gue. Meskipun begitu, gue masih bisa lihat dengan jelas apa yang mereka berdua lakuin di depan sana.

Gue masih bisa lihat dengan jelas segimana eratnya cowoknya meluk dia, dan segimana tulusnya senyum yang terpatri di bibirnya saat membalas dekapan cowoknya itu.

Tanpa sadar gue terkekeh. Entah apa yang patut gue tertawakan di sini. Mungkin menertawakan diri gue yang makin lama makin kelihatan mengenaskan.

Gue memutuskan untuk berbalik dan kembali ke basement tanpa bertemu dia terlebih dahulu. Bukannya gue takut, tapi gue rasa percuma. Gak tau lah, gue merasa selama ini apa yang gue lakuin sia-sia.

Dan tiba-tiba aja gue merasa kesal. Tiba-tiba aja gue mau marah.

Tapi atas dasar apa?

“Lah, mana Teh Gladysnya?”

Bahkan dengan mendengar namanya aja gue kesal. Dan gue sadar gak seharusnya gue kayak gini.

“Gak ada. Lo sih pada sok ngide ngajak dia.”

Bahkan siapapun pasti menyadari segimana ketusnya nada bicara gue. Gue langsung masuk ke dalam mobil. Gak memedulikan tatapan penuh tanda tanya Windy yang duduk di kursi sebelah gue, atau Jema yang sekarang narik-narik baju Windy buat bertanya.

Gue langsung menarik gas mobil gue dan meninggalkan tempat ini. Tempat yang tanpa sadar gue janjikan pada diri gue sendiri untuk gak mengunjunginnya lagi dalam waktu dekat.

Ya... Semoga.

Semoga gue bisa nepatin janji itu sama diri gue sendiri.

❇❇❇


Mood gue hari ini bener-bener jelek. Gue bahkan cuma naik beberapa wahana itu juga ditarik sama anak-anak dan gue gak menikmatinya sama sekali. Harusnya hari ini jadi hari yang panjang dan menyenangkan, tapi gue malah pengen hari ini cepat berlalu.

Jema, Ecan, Rinjani lagi naik Histeria, sedangkan Windy dan Jovita masih sibuk foto-foto buat feeds Instagram mereka katanya. Gue cuma duduk di bangku kayu yang ada di smoking area sambil menghisap rokok gue yang entah ini batang ke berapa. Jeff tiba-tiba hilang gak tau kemana, bilangnya beli makanan, tapi gak balik-balik.

Matahari lagi bener-bener terik, dan itu bikin gue makin kesel karena kepala gua rasanya panas banget padahal udah gue tutupin. Ah enggak, tepatnya hari ini, gue kesel sama banyak hal. Gue kesel ngeliat kipasnya Jovita yang selalu dia bawa kemana-mana. Gue kesel liat Jeff yang dari tadi gak henti-hentinya dapet ajakan foto dari stranger. Gue juga kesel waktu liat Windy masih ngeladenin fansnya padahal lagi makan. Bahkan, gue kesel sama sendal bulu-bulunya Ecan yang tadi dia beli di toko souvenir.

Udah gila gue kayaknya.

“Nih,” tiba-tiba aja gue disodorin sekaleng rootbeer. Gue menengadah buat liat siapa pelakunya, dan ternyata sepupu gue yang tadi gue kira nyasar di Dufan karena gak balik-balik.

Tanpa mengucapkan apa-apa gue meraih kaleng itu. Dia ikut duduk di spot kosong yang ada di samping gue kemudian ikut ngeluarin rokoknya.

“Gak asik banget lo hari ini.”

Emang iya.

“Dia ada 'kan di apartnya?”

Mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya, gue langsung menoleh dengan kening berkerut. Ekspresi mukanya keliatan yakin banget. Dari mana nih bocah tau?

“Liat tadi gue.”

“Lo ngikutin gue?”

“Dih, enggak. Tadi gue liat cowoknya masuk mobil pas di basement. Ketemu dia 'kan lo pasti?”

Gue gak menjawab karena tanpa gue jawab pun dia pasti udah tau jawabannya. Ngeliat respon gue yang cuma diem, dia malah ketawa.

“Cemen lo.”

Anjir? Enteng banget itu rahang?

“Nyokap cowoknya baru meninggal kemarin, mungkin Gladys cuma mau ngehibur dia.”

“Tau dari mana lo?”

“Barusan gue ngechat Sion sebelum jalan.”

Gimana ya... Gue sebenernya gak marah karena Alden masih nyamperin Gladys. Gue gak tau hubungan mereka udah berakhir atau belum, dan rasanya gak pantes aja gue nanyain itu. Gue cuma... Kesel. Setiap inget gimana dia minta gue untuk menunggunya, gue selalu dihantui kata 'kapan'?

Iya, kapan...

Gue harus menunggu sampai kapan?

Gue nyoba buat menyibukkan diri supaya gak kepikiran itu terus, tapi tiba-tiba aja kejadian tadi pagi berhasil tertangkap pengelihatan gue, dan kata kapan itu seolah semakin jauh dari jawabannya.

Jawaban dari kata kapan itu makin abu-abu dan mungkin bisa aja gak akan pernah terlihat.

Gue gak pernah merasa secomplicated ini sayang sama orang.

“Harusnya lo jangan langsung balik. Biasanya juga lo berani. Tumben amat cemen begini?”

Iya, ya... Biasanya gue gak peduli tuh dia mergokin gue ketemuan sama Gladys.

“Tau ga lo? Pagi-pagi buta gue ditelepon Teh Windy. Dia ngajakin ke Dufan rame-rame, katanya ngeliat lo stres bikin dia jadi ikut stres, makanya dia inisiatif ngajak liburan. Untung aja hari ini pada gak ada agenda apa-apa, kecuali Aji sih, lagi sakit gigi dia kasihan.”

Mendengar penjelasannya, berhasil membuat gue tertegun. Gue gak nyangka Windy si tukang ngomel bisa punya inisiatif kayak gini. Gue gak nyangka dia ternyata peduli juga sama gue, walaupun setiap liat apartemen berantakan gara-gara ulah gue yang males beres-beres karena udah capek, dia selalu ngomel-ngomel sampe gue takut mulutnya berbusa.

Tapi kalau diingat-ingat, dia emang selalu kayak gitu sih. Walaupun gue sering banget bilang sebel sama dia, walaupun waktu kecil gue selalu berantem sama dia sampe main timpuk-timpukan, walaupun kerjaan dia ngerecokin gue mulu dari dulu, cuma dia diantara saudara-saudara gue yang lain yang paling mengerti gue

Dia udah kayak adik gue sendiri. Meskipun kelakuannya kadang kurang ajar. Gue gak bisa marah lama sama dia, sekesel apapun gue. Makanya dia suka seenaknya sama gue, tapi anehnya gue gak masalah sama hal itu. Tapi kalau ada orang yang seenaknya sama dia, gue bakalan maju paling depan buat nonjok muka orang itu, sekalipun itu cowoknya.

Teh Windy juga tuh yang punya inisiatif ngajak Teh Gladys, katanya biar lo seneng gak marah-marah mulu.”

Gue hanya tertawa meresponnya sambil terus menghisap batang rokok gue. Kenyataannya dia malah gak ada di sini sekarang.

“A', lo masih ragu 'kan sama perasaan dia?”

Iya. Karena gue yakin dia juga masih ragu sama perasannya sendiri.

“Menurut gue lo cuma kurang percaya aja. Lo kurang percaya sama dia, makanya lo jadi sering negative thinking. Ah, atau mungkin... Lo takut buat percaya.”

Takut buat percaya. Iya, mungkin bener.

Gue pernah percaya banget sama seseorang, tapi akhirnya orang itu mengkhianati gue. Dia ninggalin gue, orang yang udah bikin gue naruh keperyaan penuh terhadapnya. Makanya mungkin... Karena itu gue takut buat terlalu percaya sama orang lain.

“Coba deh lo percaya sama dia dikit aja. Gak usah yang percaya banget, tapi cukup percaya aja karena yang berlebihan gak pernah bagus.”

Bener, salahnya gue kemarin adalah terlalu percaya.

Teh Gladys tuh orangnya... Gimana ya... Dia selalu hati-hati. Dia gak mau terburu-buru ngelakuin sesuatu, dia mau pertimbangin banyak hal sebelum dia ambil keputusan. Karena menurutnya, keputusan yang dia ambil gak berdampak buat dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Dan dia selalu menomorsatukan orang lain daripada dirinya sendiri.”

“Dia gak pernah mau ngecewain orang lain. Kalaupun harus, dia pasti bakal ngerasa bersalah dan berujung minta maaf terus-terusan.”

“Tau banget soal Gladys ya lo?” gue meresponnya dengan kekehan kecil, padahal di dalam hati, gue risau. Tiba-tiba aja gue kepikiran Gladys. Gue khawatir, entah apa yang gue khawatirkan.

“Hahaha, gak juga sih. Dia keliatannya aja terbuka, mudah dipahami, padahal dia nyimpen banyak sisi yang gak bisa dibaca siapapun selain dirinya sendiri.”

Iya, gue akui. Waktu awal gue kenal dia juga gue berpikiran hal yang sama. Dia supel—walaupun mukanya jutek—, dia gampang tertawa sama hal-hal kecil, dia juga lumayan banyak bicara. Dia gak pernah ragu buat menyampaikan apa yang ada di otaknya seperti yang udah pernah gue bilang. Dia juga gak pernah malu nunjukkin kepeduliannya meskipun sama orang yang baru kenal.

Tapi gue tau, dia gak sesederhana itu.

“Gimana caranya lo ngapus perasaan lo buat dia?” tiba-tiba aja kalimat itu terlontar dari mulut gue. Gak tau ya, gue ngerasa perlu aja nanyain itu, siapa tau suatu saat gue memerlukannya. Siapa tau suatu saat gue juga harus menghapus perasaan gue buat dia.

“Gak ada. Perasaan gue sama dia sejujurnya masih sama, kagum. Dia bener-bener masih jadi sosok yang bikin gue kagum. Yang berubah cuma cara gue ngeliat kagum ini sebagai apa. Gue gak lagi ngeliat dia sebagai sesuatu yang gue kagumi dan berusaha gue miliki, tapi cukup jadi sosok yang gue kagumi aja.”

“Bahkan sekarang gue bersyukur dia nganggap gue sebagai adiknya, karena kalau gue punya kakak kayak dia, gue bener-bener ngerasa bangga banget.”

“Selagi lo masih punya kesempatan jangan disia-disiain A'.”

Masalahnya gue bener-bener gak tau gue masih punya kesempatan itu atau enggak.

Atau malah gue gak pernah punya?

“Lo punya. Karena kalo nggak dia gak mungkin ada di sini sekarang.”

Hah? Gimana maksudnya?

Melihat ekspresi keheranan gue, Jeff langsung menunjuk ke arah belakang gue dengan dagunya. Lantas gue langsung menolehkan kepala ke arah yang dia tunjuk.

Dan seketika gue kaget bukan main melihat siapa yang sekarang berdiri di belakang gue dengan setelan sweater hitam, jeans biru dan sepatu converse yang senada dengan sweaternya.

Seolah gak memedulikan muka syok gue, dia dengan santainya melambaikan tangan sambil mamerin cengiran khasnya.

Demi Tuhan, gue mau marah, tapi bukannya justru seharusnya gue harus bersyukur ketimbang marah?

“Naik apa, Teh?” tanya Jeff yang sekarang udah bangun dari posisi duduknya.

“Dianter Raiden. Sampe ngomel-ngomel dia gue geret ke Jakut hahaha,” dia mau melangkah mendekati gue, tapi gue menahannya.

“Lagi ngerokok,” gue langsung menginjak rokok gue yang masih panjang itu sampai apinya mati, lalu melemparnya ke tempat sampah.

Gue tau Jeff lagi ngetawain gue di belakang, bodo amat deh, gak peduli gue.

“Eh, Teteh udah sampe?” tiba-tiba aja Jovita sama Windy dateng. Mereka berdua langsung pelukan khas cewek-cewek pada umumnya. Lucu juga, liatnya.

“Yuk ice age yuk! Anak-anak yang lain udah pada selesai tuh,” dengan antusiasnya Jovita narik tangan Gladys sampai gue bisa liat raut terkejut dari mukanya.

Namun, raut terkejut itu langsung berubah dengan senyum antusias. Windy yang jalan di belakang mereka berhenti buat nengok ke arah gue.

Mulutnya bergerak tanpa suara, tapi gue paham betul apa yang dia ucapin.

Hanamasa, jangan lupa.

Emang nomor satu kalau urusan morotin sepupu sendiri dia tuh.

Hahaha, gak apa-apa. Jasa dia gede juga sih buat gue kalau dipikir-pikir.

❇❇❇

Gladys

Kapan ya terakhir kali gue dateng ke tempat wisata begini? Empat tahun lalu? Atau mungkin lima tahun lalu? Gak inget gue.

Setiap kali diajak ke sini, gue selalu gak bisa. Sekalinya bisa gak ada yang ngajak hahaha. Padahal gue suka banget taman hiburan kayak gini. Jangankan Dufan, Trans Studio atau tempat liburan yang banyak wahana seru lainnya, diajak ke pasar malem aja gue udah seneng banget.

Waktu gue ditelepon Windy tadi, gue kaget bukan main. Dia mohon-mohon sama gue supaya gue nyusul ke sini. Dengan isi kepala yang kosong karena gue masih gak mengerti maksud dari permintaannya, gue bertanya, dan keterkejutan gue bertambah saat mendengar penjelasannya. Terlebih saat dia bilang tadi mereka sempat ke apartemen gue, tapi katanya gue gak ada.

Dia emang gak bilang begitu spesifik, tapi pikiran gue langsung tertuju pada satu orang. Orang yang gue yakin lagi salah paham sekarang. Orang yang mungkin sempat mengunjungi apartemen gue dan ngeliat sesuatu yang membuatnya salah paham.

Tiba-tiba aja gue ngerasa takut. Takut ngecewain dia. Takut dia marah sama gue.

Makanya tanpa pikir panjang, gue langsung menelepon Raiden untuk mengantar gue ke sini. Jelas dia marah-marah karena dia lagi main sama ponakannya, dia bahkan sampai ngajak Fio—ponakannya— buat nganter gue. Sepanjang perjalanan pun dia gak berhenti nanya kenapa gue tiba-tiba mau ke sini.

Dan begitu melihat sosoknya duduk di samping sepupunya sambil merokok, tanpa sadar gue langsung menghela napas lega. Elang gak pernah bisa nyembunyiin ekspresi mukanya. Semua emosinya akan terlihat dari ekspresi wajahnya. Dan saat ini ekspresinya wajahnya bener-bener nunjukkin dia lagi di dalam mood yang gak baik.

“Hai?” gue mencoba untuk melempar senyum terbaik gue sambil melambaikan tangan, walaupun jujur gue sebenernya deg-degkan.

Keadaan sempat awkward karena dia yang lebih banyak diam dan gue yang sedikit segan buat mengajaknya bicara. Untungnya sepupu-sepunya yang kelewat supel itu bisa mencairkan suasana, jadi gak terlalu berasa canggungnya.

Sekarang udah jam lima sore. Herannya, mereka semua kelihatan masih fresh padahal mereka sampai di sini lebih dulu dari gue. Kami semua memutuskan untuk memilih Bianglala sebagai wahana terakhir yang kita naiki hari ini.

“Teh, sama Ecan ya naiknya? Kita berempat aja. Ecan, Rinjani, Jema, Teh Gladys,” Gue cuma menanggapi ajakan itu dengan kekehan sambil mengacungkan kedua ibu jari gue.

Namun, tangan gue udah terlebih dahulu ditarik oleh seseorang untuk memasuki salah satu kabin yang pintunya langsung dia tutup.

“Dih, A' Elang! Main nyerobot aja! Tadi aja dianggurin mulu.”

Gue meneliti ekspresinya yang perlahan mulai berubah. Dia meladeni ocehan sepupunya itu dengan menjulurkan lidah kemudian tertawa. Tanpa sadar, gue ikut tersenyum melihatnya.

Saat kincir angin raksasa itu mulai bergerak naik, hembusan angin yang lumayan kencang menyambut kulit gue yang hanya terlapis kaus lengan pendek berwarna kuning. Sweater gue basah karena main wahana air tadi.

“Dingin?”

“Hm, dikit. Tapi enak kok, adem.”

Gue memandangi pemandangan di bawah sana dengan tatapan takjub. Gue suka banget naik Bianglala. Gue suka liat gimana semua objek terlihat kecil dari atas sini. Gue selalu pengen naik ini sama seseorang yang punya arti besar di hidup gue, tapi sayangnya hal tersebut gak pernah terealisasikan.

Ah, pernah deh, satu kali. Udah cukup lama. Gue bahkan hampir melupakannya.

Waktu gue ulang tahun yang kesembilan, gue pernah naik ini sama ayah.

Waktu keadannya masih baik-baik aja.

Waktu kondisi fisik dan mentalnya juga masih baik-baik aja.

Tiba-tiba aja gue teringat kalimatnya saat kita naik kincir angin raksasa yang ada di pasar malam dekat kompleks belasan tahun silam.

“Sasa, tau gak ada loh pelajaran yang bisa diambil dari kincir angin raksasa. Tebak apa?”

Saat itu gue cuma bisa menjawab, “Harus pakai sabuk pengaman supaya gak jatuh.“

Ayah cuma ketawa sambil mengusak kepala gue.

“Bener, tapi ada satu lagi pelajaran yang bisa kita ambil dari naik ini.”

“Kincir angin ini, ibarat hidup kita, hidup manusia. Warna-warni, berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Semuanya pasti bakalan dapat posisi itu. Gak ada yang selamanya di atas, dan gak ada yang selamanya di bawah. Hidup bakalan terus berputar, kita gak punya kuasa untuk memaksanya berhenti.”

“Kalau suatu saat Sasa ngerasa hidup Sasa lagi berada di bawah, kalau suatu saat Sasa ngerasa semuanya terasa berat buat dijalani, entah belajar, main, atau bahkan sekedar tersenyum, Sasa harus ingat kalau gak selamanya kamu ada di posisi itu.”

“Kenapa kita bisa ngerasa berat buat menjalani sesuatu?”

“Karena semakin bertambah usia, masalah juga makin bertambah. Masalah Sasa nanti gak cuma sekedar gak bisa nemu jawaban matematika, lupa gerakan ballet, atau rebutan mainan sama Sion. Kalau nanti Sasa udah besar, Sasa pasti ngerti.”

Dari kecil, gue memang udah diajarkan untuk berpikir realistis. Orang tua gue gak pernah mengiming-ngiming hidup bakalan baik-baik aja tanpa hambatan, mereka juga gak pernah ragu untuk mendiskusikan topik yang cukup berat untuk anak seumuran gue pada masa itu, karena menurut mereka gue harus tau sejak dini. Supaya gue gak kaget saat menghadapinya di masa depan.

Karena gue anak pertama. Kata mereka, anak pertama adalah sandaran untuk adik-adiknya. Kata mereka, anak pertama adalah orang yang paling diandalkan setelah orang tua. Kalau gue lemah, lantas siapa yang akan jadi tumpuan adik gue?

Perbincangan mengenai hidup bagaikan kincir angin raksasa itu bener-bener menjadi perbincangan serius terakhir gue dengan ayah.

Karena beberapa hari setelahnya, gue mendapati kamar beliau penuh dengan pecahan beling dan botol alkohol. Ruangan yang biasanya selalu wangi dengan aroma lavender karena bunda gue sangat menyukainya, seketika berubah menjadi bau rokok yang tajam.

Gue hanya bisa memandangi figur ayah yang duduk di sudut ruangan sambil menjambak rambutnya. Gak ada bunda di sana, bahkan adik gue pun juga gak ada di rumah saat itu.

Cuma gue. Cuma gue yang menyaksikan tangisan frustasi ayah hari itu. Cuma gue yang melihat gimana dia membanting semua barang sambil terus berteriak.

Begitu dia menyadari kehadiran gue, tatapan matanya sarat akan kemarahan dan kekecewaan. Dia berjalan menghampiri gue, lantas membuat gue melangkah mundur karena takut. Gue terus melangkah mundur sampai tanpa gue sadari, gue udah berada di ujung tangga.

Gue hendak berlari, tapi tangannya mencengkram pergelangan tangan gue. Tangan itu perlahan naik ke bahu gue, kedua pipi gue, lalu terakhir ke leher gue.

Dan setelahnya gue merasa kesulitan bernapas. Leher gue dicekik dengan begitu kuat sampai gue harus memejamkan mata. Gue bener-bener berharap ada keajaiban saat itu, karena gue udah gak bisa melakukan apa-apa.

Namun, sayangnya keajaiban itu gak pernah dateng. Sayangnya gue harus menerima fakta kalau gue gak bisa mengikuti kompetisi ballet nasional yang diselenggarakan hari itu, karena tulang di kaki gue patah.

Iya, pada akhirnya gue memutuskan untuk menjatuhkan diri di tangga. Gue membiarkan tubuh gue kesakitan sampai mencium bau amis yang berasal dari kepala gue. Gue gak menangis sama sekali. Bahkan saat bunda dan Sion dateng, gue justru menyambut ekspresti terkejut dan teriakan histerisnya dengan senyum yang mati-matian gue usahakan.

Gue gak akan pernah melupakan hari itu. Meskipun gue sangat ingin melupakannya. Meskipun gue mencoba untuk melupakannya. Hari itu gak pernah bisa hilang dari ingatan gue.

“Dys.”

“Gladys, kenapa nangis?”

Gue gak pernah nangis setiap mengingat kejadian itu, tapi kali ini... Tanpa bisa gue cegah, gue menumpahkan semuanya. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun berlalu, gue menangis dengan histeris sampai membuat orang yang tadinya duduk di hadapan gue langsung menggeser tubuhnya.

Entah untuk yang keberapa kalinya gue nangis di dalam dekapannya kayak gini. Entah untuk keberapa kalinya dia melihat gue berada di titik terlemah gue kayak gini.

“It's okay. I'm here,” usapan tangannya pada punggung gue justru membuat tangisan gue semakin kencang.

Sejujurnya gue malu. Gue malu karena terlihat lemah kayak gini di depan dia. Gue malu karena selalu dia yang ada di saat gue ada di titik ini. Bahkan di hadapan Raiden pun gue jarang atau hampir gak pernah menunjukkannya.

Karena selama ini gue mencoba untuk terlihat kuat supaya gue bisa menjadi sandaran orang lain. Adik gue, temen-temen gue, Alden, orang-orang yang gue gak mau melihatnya menghadapi kesedihan sendirian.

Sampai gue sadar, gue lupa sama diri gue sendiri. Gue lupa kalau gue juga punya luka gue sendiri. Gue lupa kalau gak selamanya gue mampu menopang semuanya sendiri.

Mungkin saat ini, gue udah sampai pada masa itu. Masa dimana gue gak sanggup menahan luka gue seorang diri. Masa di mana gue menjadi orang yang membutuhkan sandaran, bukan tempat untuk bersandar.

Dan gue gak pernah memprediksikan sebelumnya, kalau orang yang justru menjadi tempat sandaran gue saat ini adalah dia.

Erlangga Jevander.

❇❇❇

Bonus Elang Instagram update:

elangjevander

❤    💬

Liked by jeffreym, windyagresta, graiden and 17,965 others

elaangjevander cute overload

View all 568 comments...


❇❇❇

Berdoa aja semoga pacar mbaknya galiat postingan Elang ya, kalau liat bisa perang soalnya🙏

Ayo bilang makasih banyak sama windy!!


dee

Continue Reading

You'll Also Like

449K 38.4K 59
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
131K 401 41
Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21+
15.1K 3.1K 52
"SOO YOUNGAAHH, PARK SOO YOUNG" teriak Yook Sung Jae terengah-engah setelah berlari. Hal itu membuat seisi kelas menoleh kearahnya, tidak terkecuali...
713K 2.7K 8
Kocok terus sampe muncrat!!..